RADARSEMARANG.COM – Distro Plangtown ternyata merasakan stunami pandemi Covid-19. Jika semula jualan di toko, sekarang lebih memanfaatkan media sosial (medsos) agar tetap eksis. Sebelum Covid-19, produk bisa tembus sampai China dan Hongkong.
Adalah Johannes Bagus, yang mendirikan Distro Plangtown sejak tahun 2012 di Wonodri Krajan, Kelurahan Wonodri, Semarang Selatan. Semua berawal dari hobi bermain skateboard saat masih mahasiswa tahun 2011 silam. Johannes kerap berkumpul dengan komunitas Ikatan Semarang Skateboard (ISS).
“Suatu ketika mereka punya acara dan tidak punya kaos buat panitianya. Kebetulan yang bisa desain dan sablon hanya saya, sama satu teman. Kemudian kami dipasrahi membuat kaos dan desainnya,” bebernya.
Kala itu berhasil membuat kaos 50 biji. Selain dibagikan ke panitia, juga dijual ke masyarakat. Ternyata, karyanya tersebut langsung habis terjual. Akhirnya dari modal pengalaman tersebut, dia memberanikan diri membuat brand.
“Waktu itu nama Plangtown belum ada. Ini jadi peluang pasar. Teman-teman juga memberikan support. Saat itu masih jarang brand yang mengarah ke skateboard. Ternyata betul, diterima masyarakat Semarang,” jelasnya.
Setelah berjalan satu tahun, Johannes memberanikan diri membuka brand Plangtown di tahun 2012. Lokasinya di ruko PSIS, Jalan Fatmawati, daerah Ketileng, Kecamatan Tembalang. Barang yang dijual mulai dari peralatan yang berhubungan dengan peralatan skateboard. “Mulai baju, celana, topi, sepatu, kaos kaki, saya jual semuanya. Termasuk alat skateboard,” katanya.
Ketika ramai-ramainya penjualan, Johannes mengalami musibah. Tempat usaha rintisannya terbakar pada 2013 pukul 03.00. Diduga akibat hubungan arus pendek, alias korsleting listrik. Saat kejadian, tidak ada yang mengetahui karena dalam keadaan tidak berpenghuni.
“Saya datang pagi hari sudah habis semua. Hanya tersisa komputer dan beberapa produk di gudang tidak terbakar. Itu baru berjalan satu tahun. Saya sempat vakum tiga bulan,” terangnya.
Meski demikian, Johannes tidak berkecil hati dan berusaha bangkit kembali membuka usahanya dengan cara online. Saat itu masih kesulitan mencari lokasi tempat. Akhirnya menemukan di Wonodri Krajan pada tahun 2013. Hanya saja, sampai sekarang tidak menjual alat-alat skateboard. “Memang dulu sempat di-support sama pemerintah untuk mendapat fasilitas tempat di dalam Taman KB (Indonesia Kaya). Tapi tidak sampai dua tahun, semennya sudah ambrol,” katanya.
Karena faktor tersebut, teman-temannya yang hobi bermain skateboard tidak lagi bergairah memainkan skill-nya. Hal ini juga berpengaruh, terhadap peminat permainan skateboard yang semakin berkurang. “Waktu itu bersamaan dengan mulai munculnya sepeda viksi. Akhirnya tersingkirkan oleh sepeda viksi,” jelasnya.
Johannes lantas memutar otak beralih menjual brand lokal. “Apalagi Pak Presiden Jokowi men-support brand lokal, sehingga semakin digemari. Akhirnya saya melebarkan saya ke brand lokal,” katanya.
Kali ini, Johannes punya merek dan menerima konsinasi. Meski demikian, tidak serta semua brand lokal masuk ke Distro Plangtown. Harus melewati prosedur yang minimal harus eksistensi selama dua tahun. “Jadi brand baru misalkan terkenal, tapi belum dua tahun ya belum bisa masuk ke toko kami. Paling tidak, anak-anak muda tahu dulu. Sehingga promosinya ke publik tidak susah. Kalau Semarang kan modelnya gitu, kalau tidak terkenal tidak ramai. Jadi harus terkenal dulu baru masuk ke toko,” terangnya.
Tahun 2013 Plangtown pelopornya. Brand-brand lokal masuk semua. Harga yang dibandrol mulai Rp 160 ribu sampai Rp 195 ribu untuk satuan kaos. Hoodie dibandrol Rp 360 ribu. Sweater Rp 300 ribu, celana Rp 300 ribu, dan topi Rp 100 ribu. “Di buat sendiri made in Semarang. Cuma kami ambil bahan dari Bandung,” bebernya.
Sekarang ini Johannes memiliki tiga karyawan. Sedangkan Distro Plangtown di dalamnya menyediakan berbagai jenis produk yang ditawarkan mulai dari kaos kaki, tas, jacket, celana, kaos, termasuk kemeja planel. Sekarang sedang fokus di produk kaos dan hoodie. “Karena peminatnya itu. Peminatnya kaum milenial, dari anak SMP sama kuliahan,” jelasnya.
Produk yang dihasilkan tidak asal-asalan. Bahannya dipilih yang berkualitas. Seperti kaos, menggunakan baha bahan combat 24S yang didatangkan langsung dari Bandung, Jawa Barat. “Jadi tidak terlalu tipis dan tidak terlalu tebal. Desain mengarah ke streetwear karena lagi musim. Kalau orang sekarang menyebutnya lebih ke cyberpunk. Kayak gambar gak jelas gitu. Gambar bagian depan kecil tapi yang belakang besar Jepang-Jepangan. Itu lagi ramai dan kami buat,” tegasnya.
Ternyata peminatnya banyak, tidak hanya dalam Kota Semarang. Bahkan sampai pelosok nusantara mulai Bontang Kalimatan, Aceh, Kalimantan Timur, Bali, termasuk Sulawesi. “Kami pernah kirim sampai Hongkong, China, dan Malaysia. Usaha ini persaingannya memang ketat, harga biasanya. Beberapa toko baju yang konsepnya mirip dengan kami sudah ada,” ujarnya.
Selama masa pandemi, diakuinya, penjualan menurun drastis. “Kalau sebelum pandemi Covid-19, penjualan sampai 500-550 item per bulan. Sekarang ya turun sampai 60 persen,” bebernya.
Terkait dengan jumlah Distro di Kota Semarang, Johannes membeberkan tidak ada komunitasnya. Hanya saja, terdapat grup whatsapp para pelaku usaha distro. “Ada sekitar 15 orang. Itu yang punya brand saja. Cuma yang punya toko, yang sekarang lagi ramai ada tiga tokoan. Kami belum kepikiran buka cabang, karena kondisinya masih seperti ini,” pungkasnya. (mha/ida)