RADARSEMARANG.COM – Meski Covid-19 merajalela dan menurunkan perekonomian, ternyata usaha Distro (distribution outlet) tetap eksis dan ramai pembeli. Bahkan tetap menjadi langganan kaum muda yang ingin tampil beda.
Kegagalan dalam usaha bukan hambatan untuk maju. Justru menjadi pijakan untuk membangun bisnis yang lebih kuat. Adalah Lintang Naresworo, 36, yang terus optimistis dalam mengembangkan usaha distro Buck miliknya.
Tahun 2009 menjadi awal Lintang memiliki bisnis distro. Saat itu, ia belum punya toko fisik, lantas menjual produknya melalui media sosial (medsos) Facebook. Ia terinspirasi dari hobinya bermain skateboard, musik, dan seni. “Kemudian memutuskan membuka toko fisik di tahun 2010,” katanya kepada RADARSEMARANG.COM.
Diakuinya, secara umum mengembangkan bisnis tidak mudah. Namun karena sudah menjadi passion, ia memiliki tekad untuk membuat sesuatu yang kuat. Hal ini dibuktikan dari beberapa kebangkitan atas kegagalan yang sudah ia alami. “Tapi beberapa kegagalan membuat brand ini menjadi lebih dewasa dan tahu dimana harus berdiri,” tambahnya.
Kegagalan yang ia alami di antaranya saat kondisi tidak sesuai dengan rencana bisnis, landscape produk yang tidak sesuai dengan keinginan pasar, dan hasil yang tidak sesuai target. Akhirnya ia memiliki cara mengatasinya dengan membuat brand yang lebih fashionable.
Dirinya juga melakukan perencanaan bisnis, produksi, dan lebih fleksibel melakukan pengamanan untuk menopang kelangsungan bisnis. Tentunya dengan efforts yang tidak terlalu besar dan tidak mengurangi value brand.
Seperti dalam menghadapi masa pandemi, semua sektor terdampak termasuk usahanya. Kondisi ini menghantam bisnis cukup berat, terutama ritel. Lintang pun mengalami kesulitan seperti pengusaha lainnya. Beruntung, ia sudah mempersiapkan lebih awal dengan menginvestasikan ke beberapa hal yang fokusnya ke skema produksi.
“Sekarang bisa mengerjakan hampir segala sesuatu sendiri, jadi lebih sustainable dalam segi jumlah dan bentuk, sehingga secara eksistensi dalam perilisan, kami bisa lebih cepat,” paparnya.
Tak hanya itu, caranya mengatasi situasi ini yaitu dengan mengubah misi brand menjadi survival mode. Ia lebih memilih konsep stabil secara bisnis dan brand, dengan catatan tanpa mengurangi value brand itu sendiri. “Kami juga menyesuaikan kondisi masyarakat yang misinya masih sama untuk survive juga,” imbuhnya.
Pemilik brand distro Buck di Jalan Ngesrep Barat I Kota Semarang ini menambahkan, kunci mengembangkan bisnis adalah konsistensi. Baik pada rilisan, image, produksi, value brand yang terus dijaga dengan visi misinya dari awal. Dengan begitu, dapat memperkuat komunitas jika fokus brand kesana, atau memperkuat produksi jika fokusnya ke fashion ritel.
Sementara perkembangan bisnis ke depan, masih belum ada perubahan drastis. Semua masih menyesuaikan dengan pemulihan ekonomi yang belum bisa diprediksi lamanya. “Kalau saran saya, pengamanan ke rencana bisnis yang lebih sustainable mungkin lebih kuat untuk menghadapi kondisi ke depan,” pesannya.
Terkait tren produk, Lintang melihat, pasar mengarah ke produk lokal dengan kolaborasi dan diproduksi secara masal. Namun, bagi Lintang ada beberapa brand lokal yang memiliki konsep dan ide luar biasa, namun tidak menjadi kesukaan masal.
Adapun produk distro Buck sendiri yang paling diminati adalah rilisan sessional setiap tahun tiga kali. Terutama produk apparel seperti topi, hoodie, kaos, outer, celana. “Sampai sekarang yang paling diminati adalah hoodie dengan logo dan tulisan Buck. Selanjutnya kami akan mendevelop papan skit, hardware skit, dan sepatu,” lanjutnya. (ifa/ida)