RADARSEMARANG.COM – Sejumlah pasar tradisional di Kota Semarang setelah direvitalisasi justru sepi pengunjung. Bahkan, tak sedikit yang mengalami mati suri. Apalagi saat pandemi Covid-19, di mana kondisi perekonomian semakin lesu.
Pasar Rejomulyo baru dan Pasar Ikan Higienis (PIH) Mina Rejomulyo lokasinya berdekatan. Bangunan pasar sangat megah. Sayang, dua pasar ini seperti kehilangan nyawa. Sepi dan tak terawat. Sejumlah pedagang yang masih bertahan mengeluh sepi pembeli. Akibatnya, banyak pedagang yang memilih hengkang dari kiosnya, ketimbang terus-terusan merugi.
“Kalau sekarang sepi, Mas. Dulu pas di bawah (pasar lama) ramai. Paling sekarang cuma beberapa pelanggan saja yang datang,” keluh Sri Purwanti, 60, pedagang Pasar Rejomulyo.
Diakui Sri, sejak dipindah ke pasar baru, omzetnya langsung drop. Sebab, pembeli malas kalau harus naik ke lantai atas. Apalagi di pasar lama (Pasar Kobong), masih banyak pedagang yang dibiarkan berjualan
“Pedagang ikan yang tidak mau pindah ke pasar baru, tetap memilih menempati pasar lama. Ini yang membuat pasar baru sepi, karena pembelinya masih ke pasar lama,” katanya.
Dikatakan, seharusnya para pedagang ikan itu menempati lantai 1 di pasar baru. Namun hingga kini lantai 1 masih kosong. Padahal sebenarnya di lantai 1 sudah dipetak-petak oleh petugas Dinas Perdagangan. “Para pedagang ikan menolak pindah, jadi lantai 1 yang dikhususkan untuk jualan ikan masih kosong,” ujar Sri.
Praktis, suasana Pasar Rejomulyo baru tampak lengang. Apalagi banyak ruko di lantai 2 yang kosong ditinggalkan pemiliknya.
Pedagang lain, Sulastri, 80, mengaku, hanya bisa pasah atas kondisi tersebut. “Kula mung tiang cilik nggih manut mawon, Mas (saya orang kecil cuma bisa nurut saja, Mas),” ujarnya sambil menatap lapaknya yang sepi pembeli.
Pasar tidak tampak seperti pasar tradisional pada umumnya. Tidak terlihat adanya transaksi pedagang dan pembeli. Bangunan yang tinggi menjadi alasan pembeli enggan untuk naik.
“Dulu pas masih di bawah ramai, Mas. Langganan banyak, lha sekarang pasar tidak tampak seperti pasar. Para orang tua juga malas kalo harus naik ke tangga yang segini tingginya,” kata Sri Purwanti.
Para pedagang berharap semua pedagang Pasar Rejomulyo lama segera dipindah ke pasar baru. Sehingga pasar menjadi lebih ramai. “Kalau kondisinya seperti ini terus, saya dan teman-teman penginnya bisa pindah ke bawah lagi biar nggak rugi terus,” harapnya.
Tak hanya di Pasar Rejomulyo, keluhan serupa diungkapkan pedagang Pasar Ikan Higienis (PIH) Mina Rejomulyo. Pedagang PIH juga mengeluhkan lapak mereka sepi pengunjung, dan pasar tidak terurus.
Saat koran ini datang ke PIH, tidak ada satupun motor pengunjung yang terparkir di bagian depan. Pintu kaca pasar pun terlihat hanya dibuka sebelah, sedangkan pintu satunya digembok.
Saat memasuki pasar tampak seperti tak berpenghuni. Hanya ada stan kosong, dan dua orang penjual ikan hias di dalamnya. Tak hanya itu, akses ke lantai 2 juga ditutup. Bagian tangganya diikat menggunakan tali yang dililitkan.

Fajar, 36, pedagang yang masih bertahan mengungkapkan kondisi seperti itu sudah berlangsung lama. Ia mengungkapkan, teman-temannya mulai meninggalkan lapaknya sejak beberapa tahun yang lalu, karena sepi pengunjung.
“Sudah setengah tahun ini pedagangnya tinggal dua orang. Dulunya sih lumayan banyak, d ipojok-pojok itu juga ada yang jualan. Tapi, akibat sepi akhirnya memilih pergi,” katanya.
Ia menyayangkan pihak dinas terkait yang kurang memublikasikan keberadaan pasar tersebut. Sebab, dia yakin keberadaan PIH Mina Rejomulyo ini belum banyak diketahui oleh masyarakat.
“Dinas bantulah promosi atau memasarkan di koran dan di TV, atau di mana pokoknya. Supaya orang tahu keberadaan pasar ini. Kan masih banyak yang tidak tahu. Yang paham, paling-paling hanya 30 persen,” kata Fajar saat ditemui RADARSEMARANG.COM di lapaknya.
Pedagang lain menambahkan, jumlah pengunjung PIH setiap hari bisa dihitung dengan jari tangan. Kiosnya yang buka mulai pukul 09.00 sampai 16.00, paling-paling hanya didatangi satu atau dua orang. Selama ini orang-orang hanya mengetahui Pasar Johar untuk pembelian ikan.
Fajar menegaskan, pemerintah harus benar-benar memperhatikan kondisi PIH. Baik memindahkan ruko-rukonya agar bisa dilihat dari jalan raya ataupun ada alternatif lain untuk membuat PIH memiliki daya tarik bagi pengunjung.
“Harapannya sih supaya masyarakat itu tahu, kemudian banyak yang berkunjung ke sini, meramaikan pasar ini. Dengan begitu, pedagang yang sudah pindah saya yakin akan kembali ke pasar ini,” ungkap Fajar.
Selain kurangnya promosi, ia menilai perawatan gedung PIH sangat minim. Banyak fasilitas pasar yang tidak terawat. Termasuk penyediaan air bersih yang masih minim.
“Dulunya fasilitas air boleh digunakan 24 jam nonstop, lalu diturunkan 10 sampai delapan jam. Setelah ganti kepala pasar, kini ngalirnya hanya dua jam. Sekarang ganti kepala lagi hanya diberi waktu setengah jam untuk pengisian dua tong penampungan yang ada di atas. Padahal itu untuk keperluan banyak orang. Mengisi bak mandi dan tong-tong yang ada di depan itu, menurut saya masih kurang lah,’ keluhnya
Pasar Srondol, Banyumanik setelah direvitalisasi juga sepi pengunjung. Pasar tradisional yang dicanangkan sebagai pusat produk unggulan UMKM ini juga mulai ditinggalkan pedagang. Untuk bertahan, para pedagang pun berinisiatif untuk merambah ke jual beli secara online. Salah satu pedagang di Klaster Craft, Nur Aini, mengakui justru lebih banyak pelanggan yang membeli lewat online ketimbang datang ke kiosnya di Pasar Srondol.
“Kalau hanya ngandalin penjualan di toko ini sangat kecil, solusinya ya merambah ke online. Di online, saya jadi adminnya. Barangnya ndak di sini, saya hanya jualan foto. Setelah ada yang order, nanti yang kirim barangnya produsen langsung,” jelasnya saat ditemui Jumat (18/6/2021) lalu di kiosnya.
“Alhamdulillah, dalam sehari, ada barang yang laku, terutama yang pesan secara online,” sambungnya.
Menurut pengalaman Aini, produk fashion yang dijualnya biasanya pembeli perlu melihat langsung barangnya. Namun karena sekarang zamannya sudah semakin canggih dan serbadigital, para pembeli hanya mengecek barang secara online saja. Nah, kalau ada yang penasaran, biasanya akan mendatangi kiosnya.
Diakui, Pasar Srondol dibuka kembali sejak awal 2021. Sebelumnya, pasar dua lantai ini sempat ditutup selama satu tahun dikarenakan pandemic Covid-19. Aini sendiri baru mulai berjualan awal tahun ini. Ia mendapatkan cerita dari rekan-rekannya bahwa Pasar Srondol sebelum pandemi juga sudah sepi pengunjung. Tapi tidak sesepi setelah dibuka kembali awal tahun ini.
Ia menceritakan, Pasar Srondol hanya ramai ketika ada acara yang diadakan di lobi pasar. “Pernah ramai waktu ada acara, seperti kemarin ada rapat di sini, atau ada acara pengundian doorprize atau apa itu di sini sempat ramai. Tapi untuk sehari-harinya sepi. Biasanya acara ada di tengah pasar sini, jadi bisa langsung melihat dagangan yang dijual di toko,” ujarnya.
Aini menceritakan, pemerintah pernah datang ke pasar ini untuk melakukan survei. Namun sampai sejauh ini, belum ada upaya untuk mendongkrak jumlah pengunjung pasar yang bisa dipakai gratis tanpa biaya sewa ini.
“Harus ada dorongan dari pemerintah. Juga dorongan dari warga. Kalau boleh jujur, lokasi pasar kurang menguntungkan. Idealnya pasar itu ada di dekat jalan besar. Karena lokasi pasar agak masuk ke dalam, jadi warga pun akan bertanya-tanya, ah masak ada pasar di dalam?” keluhnya.
Menurutnya, bangunan pasar ini sebenarnya sudah bagus. Pasar dua lantai ini terdapat total 48 kios. Rinciannya, di lantai atas 32 kios, dan lantai bawah 16 kios.
Gianto, petugas keamanan mengakui, Pasar Srondol memang sepi pengunjung. “Sebetulnya sebelum pandemi lalu sempat ramai. Tapi selama pandemi pasar kembali sepi,”katanya.
Di pasar ini, dulu pernah ada Hans Cafe. Tapi sudah tutup. Kini, yang tersisa warung bakso, gerai kopi, klaster craft, klaster tas, klaster logam, dan batik.
“Harapan saya tidak cuma ada plang (papan nama) saja, di depan situ kan ada petunjuk arah Pasar Srondol. Saya juga berharap adanya kerja sama dengan Dinas Pariwisata. Misalnya, ada rombongan dari mana, lalu pasar ini direkomendasikan. Untuk di sini sih, kerja sama seperti itu belum ada. Kalau aspeknya untuk pariwisata, kok tidak ada yang ke sini buat pariwisata, ini kan aneh sekali,” keluh Aini.

Revitalisasi, Pedagang Asli Kerap Dikalahkan
revitalisasi sejumlah pasar tradisional sudah dilakukan Pemkot Semarang melalui Dinas Perdagangan. Sayangnya, pasar tradisional yang sudah dibangun ulang menjadi dua lantai atau lebih itu malah sepi pengunjung, dan ditinggalkan pedagang.
Ketua Persatuan Pedagang dan Jasa Pasar (PPJP) Kota Semarang Ngadino SH menilai sepinya pasar tradisional yang sudah dilakukan revitalisasi ini lantaran perencanaan yang kurang matang, serta banyak faktor lain yang mempengaruhi sepinya pasar.
“Menurut saya, perencanaannya kurang matang. Kenapa? Harusnya saat studi banding, kearifan lokal yang ada harus digandeng, bukan malah ditinggal,” katanya saat dihubungi RADARSEMARANG.COM, Minggu (20/6/2021).
Ngadino mencontohkan, kearifan lokal yang selama ini ditinggal adalah sumber daya manusia. Artinya, kalau dalam konteks pasar adalah pedagang asli dari pasar tersebut. Sehingga meskipun dibangun dua lantai atau menjadi lebih megah, pedagang asli ini tetap eksis, dan tidak hilang.
“Selama ini tidak, bahkan bisa dibilang pedagang asli kalah sama pendatang. Kearifan lokalnya hilang. Bisa disebut juga kalah sama pedagang baru atau spekulan,” ujarnya.
Contoh kasusnya, lanjut dia, adalah Pasar Bulu. Meski letaknya tepat di jantung Kota Semarang, pasar seakan mati suri. Bahkan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi akhirnya meminta dinas terkait untuk menjadikan pasar di kawasan Tugu Muda ini sebagai sentra UMKM. Kasus lainnya adalah Pasar Dargo dan Pasar Rejomulyo yang tak kalah megah, belum lagi pasar lainnya yang ada di Ibu Kota Jateng ini.
“Ini karena pedagang asli nggak kebagian tempat. Artinya, pedagang yang benar-benar berdagang yang mana? Nah ini bisa dibilang kalau dinas tidak punya data base yang pasti,” keluhnya.
Idealnya, sebelum melakukan revitalisasi, harus ada konsultan publik yang mempelajari kearifan lokal yang ada. Misalnya, dari segi pedagang, karakter pembeli, dan lingkungan di sekitar pasar ini apa kebutuhannya. Yang jelas, lanjut Ngadino, dibangun ataupun dilakukan revitalisasi tidak masalah asalkan kearifan lokal yang ada tetap dipertahankan
“Bisa dibilang, 70 persen (pedagang di Pasar Bulu) itu bukan pedagang asli, atau pedagang titipan. Sementara pedagang aslinya malah kalah,” tuturnya.
Selain itu, adanya studi kelayakan dan komitmen dari dinas untuk mengembalikan pedagang asli harus dilakukan. Penambahan pedagang, menurut dia, tidak masalah. Namun jangan sampai pedagang asli malah tergusur, dan kesulitan mendapatkan tempat berdagang.
“Setelah dibangun, dikembalikan, jangan diorak-arik ataupun diganti. Penambahan nggak apa-apa. Kita lihat di Bulu, Johar, dan lainnya. Jumlah pedagangnya berapa, jadi berapa kios. Sekarang malah banyak yang tidak digunakan, di sini sayang banget, karena pasar sepi, dan tidak ada retribusi yang masuk,” katanya.
Untuk pasar yang saat ini sudah telanjur dibangun, dan kondisinya masih sepi atau mangkrak, Ngadino meminta dinas untuk tegas melakukan penyegelan kios yang tinggalkan pedagang. Kemudian diganti dengan pedagang lain yang benar-benar niat berdagang dan tidak coba-coba.
“Bisa juga mencari pedagang yang asli dulu ada di situ. Yang jelas harus ada filter pedagang yang benar-benar mau berjualan, dan yang hanya coba-coba. Jika terus begini, pasar tradisional malah akan mati,” tegasnya.
Anggota Komisi B DPRD Kota Semarang Juan Rama Soemarmo juga menyayangkan banyaknya pasar tradisional yang sepi, dan tidak optimal. “Misalnya di Rejomulyo, ini sangat memperihatinkan,” katanya.
Padahal dari segi bangunan, pasar ini sangat megah, dan lebih bersih, serta modern. Namun pedagang di Pasar Kobong enggan masuk ke pasar baru tersebut dengan berbagai alasan. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini meminta dinas untuk segera mencari solusi agar pedagang mau pindah.
“Dinas harus mencari solusi agar pedagang bisa pindah, dan tidak berlarut-larut. Kasihan pedagang yang sudah mau pindah ke Pasar Rejomulyo Baru,” tambahnya.
Juan –sapaan akrabnya– juga menyoroti Pasar Dargo yang kondisinya cukup memprihatinkan. Ia menjelaskan konsep awal dari Pasar Dargo lantai satu untuk sentra UMKM. Namun karena dulu sedang naik daun batu akik, kemudian Pemerintah Kota Semarang memfasilitasi pedagang untuk menempati lantai satu dan disulap menjadi sentra akik. Namun kini meredup seiring tidak trennya lagi batu akik. “Lama-lama pedagang akik di sana habis, namun kalau dijadikan pusat UMKM tidak cocok dari segi tempat,” ucapnya.
Idealnya, kata dia, Pasar Dargo lebih baik dijadikan pasar tradisional. Dari segi bangunan, pasar ini memiliki dua lantai, di mana lantai dua saat ini masih ditempati pedagang sayur. “Kalau bawah tidak dipakai, bagusnya yang di atas ini dipindahkan ke bawah, dan dijadikan pasar tradisional,”ujarnya.
Menurut dia, pedagang sayur di lantai dua juga meminta agar bisa pindah ke bawah. Apalagi dari segi ekonomi, lebih menguntungkan jika menempati lantai dasar. Pembeli pun tidak perlu susah-susah naik ke lantai atas.”Kasihan pedagang juga, kalau mau menaikkan dagangan harus bayar orang. Rata-rata mereka sudah sepuh semua, dari segi pembeli juga sama,”tambahnya.
Juan menjelaskan, jika memang kembali difungsikan menjadi pasar tradisional, dinilai lebih tepat. Apalagi pedagang Pasar Dargo di lantai dua ini juga masih membayar retribusi yang menjadi pemasukan bagi Pemkot Semarang. “Dari segi infrastruktur masih bagus, penataan ulang perlu dilakukan agar tidak terkesan kumuh,”katanya. (cr5/cr3/den/aro)