RADARSEMARANG.COM – Kepedulian seseorang atau komunitas dalam menyelamatkan hewan yang terlantar di tengah jalan, patut diapresiasi. Mereka yang tanpa pamrih, telah menyisihkan waktu, tenaga, dan biaya.
Beberapa spesies ular di Indonesia, khususnya di Kota Semarang sekarang ini mengalami kepunahan. Kendati begitu, ada beberapa ular yang hidup di sekitar permukiman warga dan hotel-hotel, menimbulkan ketakutan banyak orang. Adalah Budoyo Santoso, 33, seseorang yang berusaha menangkap ular semacam itu, agar tidak menyerang warga dan tidak dibunuh.
“Misi sebenarnya penangkapan. Terutama kalau ada panggilan dari hotel-hotel, harapannya ular tersebut tidak menyerang warga. Kami tangkap, lalu kami lepas di hutan,” ujarnya saat ditemui RADARSEMARANG.COM.
Ia mengaku untuk misi penyelamatan hewan di Indonesia, dirinya merasa belum mampu. Sebab namanya penyelamatan, harus ada tempat penangkaran ular yang sesuai dengan habitat yang seharusnya, agar ular-ular merasa nyaman dan tidak stres. Selain itu, penyelamatan ular juga membutuhkan orang-orang yang paham dengan ular. Tapi selama ini dirinya melakukan penyelamatan, selanjutnya diserahkan ke kebun binatang ular. Sayangnya, beberapa kali ular dibawa ke kebun binatang, malah mengalami cacat, bahkan mati.
“Kalo sekarang saya tidak menyimpan ular di rumah. Kalau dulu iya, mulai yang berbisa dan yang tidak. Mengingat lingkungan sering digunakan untuk berinteraksi, sekarang tidak memungkinkan. Pasti ada protes dari warga. Jadi amat sangat susah,” ujar pria berambut panjang ini.
Saat ditemui wartawan RADARSEMARANG.COM, ia mengaku kesal terhadap pemerintah yang abai terhadap kehidupan hewan melata ini. Pemerintah harusnya membuat tempat konservasi sendiri bagi ular-ular. Tidak hanya ditaruh di kandang di kebun binatang, jika akhirnya mati sia-sia.
“Kebun binatang di Semarang tidak bisa merawat ular dengan benar. Jadi tidak ada gunanya, kami mengirimkan ular kesana, jika akhirnya mati seperti itu. Petugas kebun binatang yang penting sudah kerja, dapet gaji gitu saja,” keluh Budoyo.
Selama menjadi penangkap ular bersama timnya yang terdiri atas 3 orang, Budoyo mengaku kerap digigit ular yang akan dia tangkap. Sebab dia dan timnya hanya menggunakan tangan kosong dalam melakukan penangkapan. Tujuannya agar tidak melukai ularnya. Mereka hanya membaca arah angin dan membaca jejak untuk mendeteksi keberadaan ular. Namun gigitan ular tidak membuat hobinya hilang begitu saja. “Awalnya jadi penangkap ular itu karena terbiasa, belajar dari alam dan hewan. Bukan belajar dari manusia, tapi belajar dari rasa,” ucapnya
Tiga orang yang kerap disebut pemburu spesialis piton ini mengaku keahliannya mengandalkan indra perasa. Baik hidung, mata, dan lainnya. Ular yang berjarak kurang lebih 150 meter saja dapat dirasakan olehnya. Ia juga mengungkapkan soal ciri khas bau dari tiap-tiap ular, ada yang berbau tajam, ada yang lebih rendah baunya. “Piton baunya hampir seperti kotoran burung blekok. Lebih khas. Misal ular bawangan atau ular pelangi keluar aroma bawang merah yang kena minyak tanah,” ujarnya.
Pria yang tinggal di Area Perumahan Patra Jasa ini mendeteksi banyak ular jenis sanca di Kota Semarang. Seperti sanca bodo yang sekarang langka dan Sanca Kembang yang sebenarnya masih banyak. Di salah satu gua di Semarang mencapai ribuan.
Minimnya keberadaan sanca bodo karena jenis reptil ini bertelurnya disemak-semak. “Namanya saja sanca bodo, ya bodoh. Berkeliaran tidak mengenal waktu, jadi sasaran empuk burung. Biasanya sanca bodo menetaskan telur 16 sampai 22, yang hidup tinggal 2, 3, atau 5 paling banyak. Kerap dimakan hewan lain, seperti musang, biawak, dan elang,” ungkapnya.
Terkait perbedaan siklus bertelur piton di Semarang, diperkirakan antara Juni sampai Juli, dan akan menetas pada September sampai Desember. Kalau di Boja siklusnya November-Desember. Di Srondol, Manyaran, dan sekitarnya, September-Oktober. Di Meteseh, Agustus-September sudah ada. “Itu soal siklus menetas,” ucap pria yang hobi menanam bonsai dan fotografi ini.
Sedangkan untuk menangani korban gigitan ular, cukup menghentikan sementara aliran darah di lokasi gigitan. Terpenting juga, harus meminimalisasi kepanikan agar detak jantung stabil. Jika detak jantung semakin kencang, reaksi racun akan cepat menyebar. Jadi orang yang digigit ular, harus tetap rileks, santai, agar racun berjalan pelan. Sehingga kesempatan tertolongnya masih panjang.
“Biasanya durasi pas tegang saat digigit ular ya satu menitan. Memang semua orang akan mengalami detak jantung kencang, tapi berusahalah santai. Itu kunci selamat dari sengatan hewan berbisa. Jangan stres, buat sesantai mungkin,” ucapnya.
Untuk membuang racunnya, bekas gigitan ular itu disobek silang, terus diplirit. Kalo digigit sanca, tunggu sampai lepas sendiri. “Jangan ditarik, nanti sobek kulitnya. Kalau yang digigit santai, cepat lepas sendiri,” imbuhnya. (cr5/ida)