31 C
Semarang
Saturday, 19 April 2025

Listrik Dipadamkan, Terpaksa Buang Hajat di Parit-Parit

Semalam Menginap di Rumah Korban Banjir di Desa Mulyorejo, Kabupaten Pekalongan

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Tuflikha, salah satu korban banjir yang menolak mengungsi di Desa Mulyorejo, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan. Sampai hari ke-28 rumahnya masih terendam. Wartawan RADARSEMARANG.COM  menginap sehari-semalam di rumahnya. Berikut ceritanya.

Tuflikha, 54, sedang melipati pakaian ketika wartawan koran ini tiba, Kamis (4/3) sore. Sekeliling tempatnya duduk dipenuhi berbagai barang. Mulai dari satu set meja-kursi sampai ranjang tempat tidur. Ada pula kulkas, televisi, almari, dan berbagai pernak-pernik yang umumnya terpasang atau diletakkan di ruang tamu.

“Maaf, ya. Tempatnya masih berantakan kayak begini,” katanya kepada wartawan koran ini.

Di beranda itulah Tuflikha bersama suami dan anaknya akhir-akhir ini menghabiskan waktu.  Beranda ini terletak di samping rumah. Ruangannya terbuka. Tidak berdinding, tapi beratap. Lantainya masih semen. “Makan di sini, tidur ya di sini,” ucap Tuflikha.

Tuflikha belum bisa beres-beres maksimal. Barang-barang itu belum bisa dikembalikan ke letak semula. Sebab, ruang-ruang utama, termasuk ruang tamu masih terendam. Di ruang tamu, genangan masih setinggi mata kaki. Di ruang tengah lebih dalam: di atas mata kaki.

Wartawan koran ini hampir terpeleset saat mencoba masuk ke ruang tamu. Lantai keramik ruang itu sudah sangat licin. “Sangking lamanya terendam, Mas. Sejak 6 Februari 2021,” kata Tuflikha sambil mengajak kembali ke beranda.

Begitulah. Maka Tuflikha bersama suami dan anaknya lebih banyak menghabiskan waktu di beranda. Di banding ruang lain, permukaan lantai beranda itu lebih tinggi. Itupun saat awal-awal banjir ikut terendam. “Saat itu kita ya tidur di sini. Ranjang kami ganjal dengan batako. Lima biji,” ceritanya

Kulkas pun demikian. Harus dinaikkan ke meja. Kaki meja diganjal batako. Semua ruangan terendam.  “Tinggi genangan di beranda ini hampir selutut. Kalau di dalam rumah seperut waktu itu,” ungkap Tuflikha sore itu.

Sore berganti malam. Rosidiq, istri Tuflikha yang baru saja pulang dari kerja ikut mengobrol. Sehari-hari ia bekerja sebagai kuli bongkok di salah satu pasar di Kota Pekalongan.

Pukul 19.00 hujan turun sangat deras. Raut wajah Tuflikha dan Rosidiq tampak cemas. Memandang ke arah luar. Bibir Tuflikha mendrimimilkan doa. “Ya Allah, mbok wis yo. Jangan hujan terus,” doanya.

Mereka cemas genangan bertambah tinggi. Sejauh ini, kata Tuflikha, jika tak hujan sehari genangan bisa berkurang kurang lebih 2 sentimeter. Tetapi bila hujan deras selama paling tidak setengah jam, genangan langsung bertambah 3-5 sentimeter.

“Mungkin ini karena psikologis korban banjir, Mas. Dengar dan lihat hujan rasanya langsung lemas. Cemas,” ucap Tuflikha.

Tuflikha tampak mondar-mandir. Ia tengah menyiapkan makan malam di dapur. Tetapi tampak tidak tenang. Ia bolak-balik ke dapur dan ke beranda. Ia mengaku, selama banjir sering merasa lupa. Ia juga sering merasa tidak tenang.

“Lupa naruh barang. Lupa macam-macam. Fokus buyar. Apalagi kalau hujan. Seperti trauma  begitu,” katanya.

Makan malam disiapkan Tuflikha. Ikan mujair bakar dan goreng. Ikan mujair itu Tuflikha dapatkan dari kerabatnya yang memancing di utara desa. Semula, utara desa adalah persawahan. Kemudian lambat laun beralih fungsi menjadi tambak. Karena sering kebanjiran.

wartawan koran ini makan malam di beranda.  Rosidiq di kasur. Wartawan koran ini di sofa. Di luar, hujan masih terus turun. Tuflikha tidak ikut makan. Entah ke mana.

Saat makan itu, Rosidiq bercerita. Saat warga lain mengungsi, ia bersama istrinya memilih bertahan di rumah. Saat itulah mereka merasakan Desa Mulyorejo seperti desa mati. Air bersih didapatkan hanya mengandalkan dari Pamsimas.

“Sepi sekali. Listrik dipadamkan. Gelap dan hanya air di mana-mana. Kami di sini,” beber Rosidiq.

Tuflikha dan Rosidiq memilih bertahan bukan karena mereka sombong. Melainkan karena Tuflikha adalah seorang perangkat desa. Ia musti memastikan kampung dan warga lain yang bertahan tetap terpantau.

“Kami tidak bisa masak. Sehari-hari makan nasi bungkus yang diantar ke sini. Tidak bisa mencuci dan lain-lain. Aktivitas lumpuh saat itu,” kenang Rosidiq.

Pukul 19.30 hujan agak mereda. Hanya gerimis kecil. Angin bertiup cukup kencang. Wartawan koran ini  memakai sarung. Nyamuk-nyamuk mulai menggigiti tangan. “Banjir begini banyak nyamuk. Pakai ini, Mas,” kata Rosidiq sambil menyodorkan sesaset lotion antinyamuk.

Tuflikhah kembali ke beranda. Ia lantas memasangi kelambu mengelilingi tempat tidur. “Kalau tidak ditutup seperti ini, nyamuk masih tetap menggigit, Mas. Nyamuknya galak-galak,” ucapnya.

Tuflikha bertanya-tanya ketika melihat wartawan koran ini menggaruk-garuk kaki. Ia tahu kaki wartawan ini gatal-gatal. Bukan karena nyamuk, melainkan karena terkena genangan banjir. “Airnya memang sudah cepat sekali menyebabkan gatal, Mas. Saya juga baru sembuh. Tadinya sampai ledes,” katanya.

Padahal, wartawan koran ini tidak lama berada di air. Kira-kira hanya 15 menit, ketika melihat-lihat genangan di rumah Tuflikha sore itu. Baru terasa ketika malam harinya.”Saya saja sekarang ke mana-mana pakai sepatu boots. Tapi risikonya lecet juga,” ucapnya.

Pukul 21.00 gerimis masih turun. Rosidiq mengecek ruang belakang. Wartawan koran ini ikut. Ruang belakang rumah itu berbatasan langsung dengan tambak.  Lantai ruang belakang itu sudah tergenang air. Setelapak kaki wartawan koran ini. Padahal, sore ruang itu masih kering.  “Lihat, Mas. Hujan sebentar sudah tergenang air. Airnya merembes dari bawah lantai,” kata Rosidiq.

Pukul 22.00, Tuflikha, Rosidiq, dan anak mereka Dimas Syaefudin, 15, sudah tertidur. Rosidiq dan Dimas tidur di satu ranjang. Sementara Tuflikha di ranjang lain. Wartawan koran ini tidur di sofa. “Nanti kalau udah malam masuk kamar saja, Mas,” pesan Tuflikha sebelum tidur.

Nyamuk semakin banyak. Udara malam makin dingin. Kampung sangat sepi. Sesekali terdengar suara sepeda motor melintas. Membuat ombak genangan menghempasi rumah Tuflikha. Pukul 02.00, wartawan koran ini masuk ke kamar yang telah disiapkan keluarga ini pukul 02.00.

Subuh, Tuflikha nampak sibuk memasak. Ia menanyai wartawan koran ini. “Air hujan tidak masuk ke kamar kan, Mas?” Tanyanya.

Tuflikha menjelaskan, kamar itu tidak dipakai karena atapnya kurang beres. Jika hujan lebat, kamar itu kena tampias. Namun Tuflikha bingung, musti menyiapkan tempat mana lagi untuk wartawan koran ini tidur.

“Saya khawatir njenengan tidak betah kalau di tidur di sofa. Makanya terpaksa di sana. Untung hujannya tidak lebat,” ucapnya.

Selama banjir, toilet di rumah Tuflikha juga tidak bisa digunakan. Ia harus pergi ke posko atau ke tempat yang tak mau ia sebutkan untuk buang hajat.  Namun ada juga warga kesulitan membuang hajat nekat pergi ke parit-parit atau ke tempat-tempat yang dirasa memungkinkan. “Maklum keadaanya memang begitu, Mas,” ucapnya. (nra/aro)

 


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya