34 C
Semarang
Saturday, 21 June 2025

Galakkan Program ‘Jo Kawin Bocah’

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Pernikahan anak sudah marak sejak lama. Bukan hanya saat pandemi Covid-19. Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC – KJHAM) Jateng yang kerap mendampingi anak yang mengajukan permohonan dispensasi kawin mencatat, sejak 2019-2021 hampir 99 persen perempuan yang mengajukan dispensasi kawin adalah korban kekerasan seksual. Dan, rata-rata sudah hamil duluan.

Kepala Divisi Bantuan Hukum LRC– KJHAM Jateng  Nihayatul Mukaromah menyebutkan, pada 2019, pihaknya melakukan pendampingan konseling kepada 18 anak, pemohon dispensasi kawin. Sedangkan pada 2020, ada 33 pemohon, dan di Januari-Februari 2021 ada 3 pemohon yang didampingi.

Ia mengaku prihatin dengan banyaknya anak yang menikah dini. Menurut dia, seharusnya masyarakat bisa mengikuti anjuran pemerintah dengan tidak menikahkan anaknya yang masih usia belia. Ini sebagaimana program yang digaungkan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, yakni “Jo Kawin Bocah”.

“Harapan kami program ini terus digalakkan, biar bisa menekan pernikahan anak di bawah umur,”harapnya.

Sosiolog yang juga pengajar komunikasi dan gender Unika Soegijapranata Hemawan Pancasiwi mengatakan, faktor utama yang mendorong pernikahan dini adalah ekonomi. “Bukan hal baru lagi, sejak dulu pernikahan dini sudah terjadi di mana-mana, termasuk Indonesia,” katanya kepada RADARSEMARANG.COM. Hal ini terjadi lantaran sebagian besar masyarakat, khususnya orangtua masih menganggap anak perempuan sebagai beban keluarga. Belum lagi dalil agama kerap digunakan oleh sebagian orangtua untuk mendorong pernikahan dini agar terhindar dari zina.

Sebab, selagi anak perempuan belum menikah, tugas orangtua seakan belum tuntas. “Biasanya masyarakat desa menikahkan anaknya agar meringankan beban ekonomi keluarga. Tapi sekarang sudah jarang terjadi di perkotaan,” imbuhnya.

Dikatakan, pandemi Covid-19 membawa dampak buruk bagi perekonomian. Akhirnya, lahirlah masalah baru, yaitu meningkatnya angka pernikahan dini. Orangtua bermaksud membebaskan tanggung jawabnya untuk menafkahi anak dengan menikahkan pada orang lain. “Maka tanggung jawab memberi nafkah berpindah menjadi tugas suami,” katanya.

Menurut Hermawan, pernikahan dini lebih merugikan pihak perempuan. Karena mayoritas anak yang menikah dini dari pihak perempuan. Perempuan cenderung lebih sulit mengembangkan potensi dirinya setelah menikah. Fisiknya masih tergolong rentan, terlebih organ reproduksi yang digunakan untuk mengandung dan melahirkan. “Belum lagi beban mental dan psikis yang yang harus dihadapi oleh anak seusianya, apalagi bila harus menjadi ibu di usia belia,” ujarnya.

Selain tiga hal tersebut, lanjut dia, pernikahan dini juga rentan menimbulkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan perceraian. Selain karena anak belum matang secara mental, di masyarakat patriarkal, suami cenderung lebih berkuasa dalam rumah tangga.

“Sehingga istri yang masih tergolong usia anak, dan bergantung secara finansial pada suaminya rentan menjadi korban KDRT. Karena ia tak punya pilihan lain di hidupnya, dan tak berdaya,” paparnya. (jks/cr1/aro)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya