RADARSEMARANG.COM – Banjir bandang Sampangan tak pernah dilupakan Suparti, 74, warga Jalan Simongan I RT 8 RW 2, Semarang Barat. Saat itu, banyak rumah hancur di terjang banjir. Tinggi air mencapai sekitar 2,5 meteran. Bahkan, rumahnya nyaris tenggelam. Beruntung, seluruh anggota keluarganya selamat. Ia dan keempat anaknya berhasil diselamatkan almarhum suaminya, Sunar, dengan naik ke atap rumah.
“Sekitar pukul 21.30 air mulai masuk rumah. Awalnya dipikir banjir biasa, tak tahunya banjir semakin tinggi. Bapak segera ambil tangga, dan semua anggota keluarga dinaikkan ke blandar rumah,” kenang Suparti sembari menangis teringat perjuangan suaminya yang belum lama ini meninggal.
Dari blandar, lanjut dia, suaminya menjebol kerangka atap. Lalu, mereka naik ke atas genteng. Suparti sempat melihat puluhan rumah hanyut terbawa banjir. “Jadi, bapak sampai membongkar reng rumah agar kami bisa naik ke atap. Malam sampai pagi, kami di atas atap, sempat diguyur hujan,”katanya.
Sekitar pukul 02.00 pagi, banjir mulai surut. Hanya saja, Suparti dan keluarganya belum berani turun. “Jadi semalaman berdiri di atap, semua pegangan blandar,”kenangnya.
Suroto, 43, anak Suparti, menambahkan, saat kejadian, dirinya masih berusia 12 tahun. Ia duduk di bangku kelas VI SD. Saat itu, ia memasuki ujian EBTA Praktik. Namun prakarya buatannya hanyut terbawa banjir.
“Saat kejadian, dua adik saya masih SD dan TK. Pagi harinya, kami ambil bantuan Indomie dan nasi bungkus di Kelurahan Sampangan, karena di sini (Simongan) dulu ikutnya Sampangan, Kecamatan Manyaran,” ceritanya.
Menurut Suroto, korban tewas dalam banjir bandang itu dikumpulkan di Pancatunggal, Kelurahan Bongsari, yang letaknya di depan pabrik Papros. Tetangganya juga ada yang meninggal bersama dua balita. Namun seorang anaknya, yang kebetulan teman main Suroto, berhasil selamat, setelah naik ke atas pohon kedondong.
“Jadi, awalnya mau mengambil kedondong, ndak tahunya ada banjir. Ibunya sama dua adiknya hanyut, bahkan sampai sekarang ndak ada yang tahu keberadaan jenazahnya,” katanya.
Saksi hidup lainnya adalah Heru Pracoyo, warga Pamularsih 12 RT 04 RW 8, Kelurahan Bojongsalaman, Semarang Barat. Saat kejadian, ia berusia 30 tahun, dan sudah menikah.
“Waktu kejadian, saya di rumah. Air di depan Kelurahan Bongsari sampai penuh. Rumah warga di belakang foto kopi atau ayam bakar Wong Solo ke selatan, banyak yang hilang terseret banjir,” kenangnya.
Seingatnya, kawasan Kedung Batu dan sekarang Karangsawo penuh air. Hanya saja, airnya cepat datang dan cepat hilang. “Yang paling parah banjir di kawasan pabrik Papros,” katanya.
Dikatakan, di kawasan Karangsawo, banjir sampai atap rumah. Sedangkan di kawasan Pusponjolo, banjir juga tinggi tapi tidak ada korban. Hanya perabot rumah yang rusak.
Begitu banjir surut, ia sempat jalan-jalan mengecek kondisi. Heru melihat banyak korban berjatuhan dikumpulkan di kantor Kelurahan Bongsari.
“Saya lihat banyak mayat bergelimpangan. Bangjo di depan kantor Kelurahan Bongsari tergenang banjir,” kenang Heru.
Ariyani, 42, warga Puspanjolo Timur II Kelurahan Cabean mengaku, saat kejadian masih duduk di bangku SD kelas VI. Saat itu, ia tidur lelap dibangunkan kedua orangtua dan kakaknya. Seingatnya, air sudah masuk rumah. Tak sampai hitungan menit, banjir bandang semakin tinggi. Ia bersama keluarganya, dan para tetangga bergegas naik ke kubah Masjid Nurul Islam di belakang rumahnya.
“Kami berlima. Saya, adik, kakak, dan bapak-ibu. Ada empat keluarga lain yang naik ke kubah masjid. Malam itu listrik padam, dan masih hujan gerimis,” ceritanya.
Saat azan subuh, banjir sudah surut. Warga pun turun dari kubah. Namun mereka kesulitan masuk rumah, lantaran dipenuhi lumpur. “Lumpurnya hampir sepaha. Jadi, jalannya sulit,” katanya.
Praktis, rumah tak bisa ditempati. Ariyani dan keluarganya sempat mengungsi ke Lemah Gempal, Kelurahan Bulustalan. “Tapi di sana hanya semalam. Setelah rumah dibersihkan, kami pulang,” ujarnya.
Kejadian itu selalu teringat di memori ibu tiga anak ini. Bahkan, bekas ketinggian banjir masih tampak di tembok depan rumahnya. “Tinggi banjir ya setinggi tembok SD Kanisius Cabean itu. Bisa dibayangkan sendiri betapa dahsyatnya,” ucapnya. (jks/aro)