26 C
Semarang
Saturday, 14 June 2025

Kampung Tematik Semarang, Hidup Segan Mati Tak Mau

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Kota Semarang gencar menciptakan kampung tematik. Sejak 2016 hingga 2019, setidaknya sudah ada 209 kampung tematik yang tersebar di 177 kelurahan di Kota Semarang. Sayangnya, tidak semua kampung tematik berjalan maksimal. Tak sedikit yang hidup segan mati tak mau.

Lahan untuk menanam jahe di Kelurahan Pleburan RT 04 RW 02 Kecamatan Semarang Selatan itu kini telah berubah menjadi lapangan bulu tangkis. Padahal dulu, lapangan itu dipenuhi tanaman jahe merah. Tak heran jika kampung ini ditunjuk oleh kelurahan sebagai kampung tematik. Namanya Kampung Jahe Pleburan Makaryo. Namun kini tinggal papan nama yang terpasang di gapura masuk kampung. Sudah tidak ada lagi kebun jahe di kampung ini.

Koordinator Kampung Jahe Pleburan Makaryo Dewi Widoretno mengaku kaget ketika lahan tersebut tanpa koordinasi telah dialihfungsikan.

Dewi –sapaan akrabnya- mengungkapkan, ia sangat menyayangkan hal tersebut. Pada awalnya ia berharap dapat menjadi mata pencaharian warga setempat, seperti menjual wedang jahe merah.

“Awalnya warga di sini semangat. Lama-lama menurun semangatnya, apalagi sejak tanah untuk lahan tanam jahe sudah dibangun menjadi lapangan,” katanya kepada RADARSEMARANG.COM.

Program kampung tematik jahe tersebut, sambungnya, hanya berjalan tiga bulan sejak launching tiga tahun silam. Kemudian, mangkrak sampai hari ini. Padahal tanaman jahe belum sampai usia panen.

“Saat sosialisasi dari dinas, dikatakan bahwa jahe dapat dipanen saat sudah berusia 8 bulan. Belum sampai 8 bulan, lahan sudah alihfungsi,” papar Dewi, yang juga Ketua Tim Penggerak PKK RT 04 RW 02 ini.

Dewi menerangkan, bibit  jahe yang telah ditanam kini dipindahkan ke pot, dan diletakkan di depan rumah-rumah warga. Sebagian tanaman jahe mati. Jaring-jaring paranet yang dulu difungsikan untuk melindungi tanaman dari terik matahari pun akhirnya terbuang.

Menurutnya, lampu-lampu yang dulu menghias gapura kampung tersebut sekarang sudah tidak ada. Kemudian, cat yang menghias jalan dan tembok kampung telah pudar karena tidak lagi dirawat.  “Kalau kesadaran masyarakatnya menurun ya mau bagaimana lagi,” keluhnya.

Padahal persiapan pembangunan kampung tematik tersebut memakan waktu hampir setengah tahun. Lalu proses pembangunan, dari membuat gapura, pembebasan lahan, hingga menghias kampung dilaksanakan selama satu bulan.

Dana yang telah digelontorkan Pemkot Semarang untuk pembangunan kampung tematik tersebut sebesar kurang lebih Rp 200 juta. Sebanyak 80 persennya digunakan untuk pembangunan infrastruktur di wilayah tiga RT, yaitu RT 04, 06, dan 07 RW 02. Sisanya digunakan untuk pembelian bibit jahe. Sedangkan untuk perawatan dan biaya tambahan pembelian bibit, di luar dana tersebut.

Dewi mengakui, kampung tersebut pernah mendapat teguran atas berhentinya program kampung tematik. Akan tetapi Lurah Pleburan dan Camat Semarang Selatan yang kala itu bertanggjung jawab atas penggerakan program itu sudah tidak lagi menjabat.

Kondisi yang sama terjadi di Kampung Tematik Susu Sapi Perah, Kelurahan Gedawang, Kecamatan Banyumanik. Gapura penanda kampung tematik sudah mulai usang. Beberapa huruf terlepas, menyisakan rangkaian kata tak lengkap. Begitu masuk jauh ke dalam, bau kotoran sapi sesekali menusuk penciuman.

Kampung tematik ini diisi peternak sapi yang tergorganisasi dalam kelompok bernama Puspa Hati. Kandang berjajar, ditinggali puluhan ekor sapi. Tak jauh dari kandang, terdapat gazebo yang digunakan untuk berkumpul dan menghidupkan organisasi. Tak ada yang menarik dari kampung tematik sini, selain suasana peternakan sapi seperti pada umumnya.

Ketika RADARSEMARANG.COM berkunjung pada Kamis (15/10) siang lalu, suasana tampak lengang. Sapi-sapi tengah asyik mengunyah rumput gajah. Sementara para pemiliknya tengah keluar untuk mencari pakan. Hanya ada Saifudin, 46, seorang peternak yang baru saja menurunkan rumput dari jok sepeda motornya.

Menurut Saifudin, siang hari memang menjadi rutinitas peternak untuk mencari rumput, sehingga kondisi kandang sepi. Saifudin lantas bercerita tentang kampung tematik ini.

“Dulu warga beternak sapi secara pribadi di rumah sendiri. Jadi, bau kotorannya mengganggu warga lain. Akhirnya, dibuat kandang sendiri di sini. Kami dibina Dinas Peternakan Kota Semarang, juga dari Undip,” kata Saifudin.

“Pembangunan ini ya difasilitasi pemerintah. Dulu pun belum sebagus ini, jalannya masih tanah,” ujarnya sembari menunjuk jalan paving dengan lebar sekitar 1,5 meter yang terbentang dari muka gapura.

Kini, kata Saifudin, Puspa Hati terdiri atas 12 orang dengan kepemilikan sapi sekitar 40 ekor. Tidak semua yang diternak sapi betina yang menghasilkan susu. Saifudin sendiri hanya memiliki dua ekor sapi jantan. Sapi-sapi jantan itu digunakan untuk membantu perkembangbiakan. Selain itu, juga dijual sebagai sapi pedaging, terutama ketika Idul Adha.

Ihwal aktivitas peternak, saban bakda subuh mereka akan datang ke kandang untuk memerah susu. Setelah itu, sapi dimandikan. Kebersihan kandang juga tak luput dari perhatian. Ketika siang tiba, peternak keluar mencari pakan. Sekitar pukul 15.30 atau sehabis Ashar, susu sapi kembali diperah.  “Susu yang sudah diperah segera dibawa ke koperasi unit desa (KUD),” kata Saifudin.

“Di KUD, kami juga bisa mengambil pinjaman modal. Nah, nanti bisa dibayar dengan setoran susu,” ujar pria yang menjabat sebagai Bendahara Puspa Hati tersebut.

Selain aktivitas merawat sapi, Puspa Hati juga memiliki kegiatan lanjutan. Salah satu yang pernah dilakukan adalah pengolahan kotoran menjadi biogas. Namun, proyek biogas ini kini mangkrak.

“Kalau musim kemarau kurang air, sedangkan bikin biogas butuh air. Akhirnya kotoran mengendap di tengah jalan dan bikin rusak,” kata Saifudin sembari menunjukkan endapan kotoran di sebuah lubang berbentuk tabung pengolah biogas.

Sebagai ganti, Puspa Hati mencoba mengolah kotoran menjadi pupuk. Kebetulan, mereka mendapat bantuan mesin penggiling dari Universitas Diponegoro. Proyek ini pun dilepaskan ke semua anggota. Menurut dia, semua anggota  berhak membuat dan memasarkan pupuk.

Sejauh ini, kehidupan Puspa Hati berjalan baik. Hampir tak ada kendala dalam proses perawatan sapi. Hanya saja, kata Saifudin, nasib Puspa Hati ke depan masih belum jelas. Pasalnya, tak ada anak muda yang bisa diharapkan menjadi generasi penerus. Padahal, rata-rata peternak Puspa Hati sudah berusia lanjut.  “Di sini yang paling muda saya. Kebanyakan sudah berusia 60-an tahun. Kalau sudah sepuh tenaganya kan juga terbatas,” katanya.

Menurut Saifudin, peternakan Puspa Hati memang tak menarik minat anak muda di Gedawang. Bahkan bagi anaknya sendiri. Saat itu, Saifudin sempat mengajak anak perempuannya yang berusia 20 tahun untuk membantu memasarkan pupuk. Namun, permintaannya ditolak.

“Padahal cuma saya suruh mencari konsumen. Soal mengantar pupuk, biar saya saja. Tapi yang namanya anak muda zaman sekarang, mana mungkin tertarik dengan pekerjaan kayak gini,” keluhnya.

Berbeda dengan Kampung Tematik Jambu Kristal di RW 2 Kelurahan Wates, Kecamatan Ngaliyan. Kampung tematik yang diresmikan pada 2017 ini masih aktif berjalan sampai sekarang. Bahkan menjadi sumber mata pencaharian utama bagi warga.

Sebelum menjadi kampung jambu kristal, wilayah Ngaliyan memang terkenal dengan penghasil jambu biji atau kerap dikenal jambu klutuk. Hal ini dikarenakan daerah tersebut masih memiliki lahan yang cukup luas dan subur, sehingga bisa dimanfaatkan oleh pemerintah dan masyarakat yang disepakati untuk ditanami bibit  jambu kristal.

“Jambu kristal itu dulunya dikenal jambu sukun. Kemudian diolah sama petani biar menjadi lebih bagus, buahnya lebih besar, dan punya nilai jual yang cukup tinggi,” ujar Lurah Wates Yulita Ekowati kepada RADARSEMARANG.COM.

Dari program kampung tematik tersebut, pengelola menerima dana dari pemkot sebesar Rp 200 juta. Awal pelaksanaan program dimulai dengan penanaman bibit pohon jambu dalam 200 drum yang diletakkan berjajar di sepanjang jalan. Hal tersebut mendapat antusias oleh beberapa warga, bahkan ada juga yang meminta bibit untuk ditanam di lahan miliknya.

“Untuk perawatan kita serahkan ke masyarakat langsung. Ada yang rajin merawat, tapi ada juga yang mengabaikan. Kalau yang rajin merawat, hasil dari penanaman di drum itu berbuah dan bisa dinikmati warga sekitar,” ungkapnya.

Yulita menambahkan, selain dinikmati sendiri, ada beberapa warga yang memilih memanfaatkan lahan pribadinya untuk dijadikan perkebunan jambu kristal. Lalu hasil dari perkebunan tersebut dijual ke pasar-pasar di Kota Semarang. “Kalau ada yang beli ya dilayani, kalau tidak ya dimakan sendiri. Tapi ada juga petani kalau kekurangan buah datang ke sana untuk membeli,” katanya.

Seperti yang dilakukan Saryani, salah satu warga yang terbantu dengan adanya program kampung tematik ini.  Ia mengaku, setelah adanya kampung tematik, dirinya termotivasi untuk mencoba menanam jambu kristal di lahan miliknya seluas satu hektare.

“Dari peresmian kampung tematik jambu kristal ini saya terapkan ke lahan milik sendiri. Alhamdulillah hasilnya lumayan, bahkan lebih menguntungkan daripada dulu waktu masih jadi buruh pabrik,” tuturnya.

Pria berusia 47 tahun itu menceritakan, perawatan jambu kristal ini dirasa cukup mudah. Saryani juga membuat pupuk organik guna menambah kesuburan tanaman pohon jambu kristal.

“Orang-orang pada tahu kualitas jambu kristal asli kampung sini. Menurut mereka, kualitas rasanya beda. Lebih manis dan lebih segar, karena pakai pupuk organik buatan sendiri. Kalau dikasih jambu gak dari sini, mereka pada nolak, soalnya rasanya beda,” akunya.

Dari hasil panen jambu kristal di lahan miliknya, ia bisa mengantongi omzet kurang lebih Rp 2 juta per minggunya. Mantan karyawan pabrik ini juga mengaku lebih nyaman membudidayakan jambu kristal ketimbang bekerja di pabrik. Bahkan penghasilan yang diperoleh mampu memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.

“Enaknya, kalo jualan jambu kristal tiap hari ada yang beli. Kadang laku Rp 200 ribu per hari,  kadang lebih. Lebih nyantai dan enak daripada kerja di pabrik yang selalu diatur dengan jam kerjanya. Bersyukur hasilnya bisa buat biaya sekolah anak sampai kuliah,” bebernya. (mg4/mg5/cr3/mg1/mg2/mg3/aro/bas)

 

 


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya