26 C
Semarang
Saturday, 21 December 2024

50 Kampung Tematik Kurang Berkembang

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Pemberdayaan masyarakat di tingkat rukun warga (RW) di kelurahan dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang.  Salah satunya adalah membuat kampung tematik dengan harapan bisa meningkatkan perkonomian masyarakat.

Sayangnya, dari 209 kampung tematik yang dibentuk sejak 2016 hingga 2019, hanya ada 28 kampung tematik yang berkembang dan naik kelas. Sisanya, 131 kampung tematik ketegori sedang atau biasa saja, serta 50 kampung tematik kurang berkembang.

Kabid Perencanaan Pemerintahan Sosial, dan Budaya, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang Slamet Budi Utomo mengatakan, monitoring dan evaluasi kampung tematik yang dibentuk selalu dilakukan Pemkot Semarang setiap tahunnya. Hal ini dilakukan untuk melihat perkembangan kampung tematik yang sudah terbentuk.

“Hasil monitoring kemarin, ada 28 kampung tematik yang naik kelas atau kategorinya baik, 100-an kampung tematik biasa saja, dan 50-an kampung tematik kurang,” katanya.

Ia menjelaskan, untuk kampung tematik yang kategorinya baik, pemberdayaan masyarakat, dari sisi sosial ekonomi ini bisa berkembang dengan baik. Karena itu, akan terus didorong oleh pemkot agar bisa naik kelas melalui CSR atau dana APBD. “Ada yang sangat layak, misalnya jadi tempat wisata baru, atau menjadi sentra UMKM,” tambahya.

Sementara untuk kampung tematik yang kurang, menurutnya, terjadi karena beberapa kendala. Misalnya, pemberdayaan masyarakat yang tidak maksimal, dan tidak mudah untuk mengembangkan kampung tematik tersebut dari segi infrastruktur. Misalnya, pelebaran jalan, lahan parkir, dan lainnya.

“Mereka butuh pemasaran, perawatan secara komunal, dan nyatanya menggerakkan masyarakat ini memang tidak mudah,” tuturnya.

Ia mencotohkan, kampung tematik yang tidak berkembang misalnya Kampung Agroponik dan Hidroponik di Semarang Barat, Kampung Jambu Kristal di Wates, dan Kampung Keripik Sukun di Peterongan. “Balik lagi ke pemberdayaan masyarakat, kalau hanya lima orang saja yang bekerja, tentu susah berkembang,” ujarnya.

Maksud pembuatan kampung tematik sendiri adalah menggerakkan perkonomian di lapisan bawah yang bisa merangsang pertumbuhan ekonomi dan mengentaskan kemiskinan di Kota Semarang. Meskipun ada 50 kampung tematik yang kurang, Bappeda, lanjut dia, tetap akan menggali potensi di wilayah lainnya, dan fokus mengembangkan kampung tematik yang sudah berjalan dengan baik.

Ketentuannya adalah kelurahan dan kecamatan bersama masyarakat bisa menggali potensi yang ada. Biasanya kampung yang sudah memiliki bibit potensi tertentu, misalnya kampung jajanan pasar yang ada di Kelurahan Karanganyar, Tugu, di mana mayoritas warga di sana adalah pembuat makanan ringan.

“Kalau dari segi bahasa, yang 50 ini bisa dikembangkan, namun tidak bisa naik kelas lagi. Kampung jajanan ini menjadi salah satunya yang berkembang, mereka bisa masuk ke pemerintahan, BUMN, bahkan perbangkan,” katanya.

Setiap kampung, lanjut dia, diberikan gelontoran dana segar sebesar Rp 200 juta. Meski ada 50-an kampung yang kurang tadi, Bappeda menilai dana tersebut tetap digunakan untuk memberdayakan masyarakat. “Kalau yang sudah berkembang, nanti kita keroyok bareng agar naik kelas. Melibatkan lintas OPD, stakeholder dan lainnya, termasuk mencarikan dana CSR,” ujar dia.

Pada tahun ini, sejatinya Bappeda telah berencana membentuk 26 kampung tematik. Namun karena terhantam pandemi Covid-19 dan diharuskan melakukan recofusing anggaran, kampung tematik ini baru akan direalisakan pada 2021 mendatang. “Anggaran yang diberikan per kampung masih sama, yakni Rp 200 jutaan,” ujarnya. (den/aro/bas)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya