RADARSEMARANG.COM – Pagi itu, dari luar gedung Panti Sosial Among Jiwo di Beringin, Ngaliyan, Kota Semarang, suasana tampak sepi. Tapi begitu masuk ke dalam, sedikitnya 100-an orang yang kebanyakan berusia paruh baya sedang bersenam ria. Usai senam, langsung mandi, lanjut berjemur bersama agar terhindaR dari Covid-19.
Begitu siang menjelang, sebagian duduk-duduk di depan kantor yang telah diberi pembatas seperti sel tahanan. Orang luar atau pendatang dilarang masuk. Sebagian berlari mondar-mandir sambil teriak tanpa tujuan. Sebagian asyik bermain sendiri dan lainnya ngelamun dan garuk-garuk kepala.
Panti ini memang memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi penyandang masalah sosial khususnya gelandangan, pengemis, orang terlantar dan penderita sakit jiwa (psikotik) yang terlantar.
Perilaku yang tak biasa para penghuninya tersebut, mencoba diobati dengan terapi medis maupun terapi rohani. Mulai dari mendengarkan rekaman pengajian maupun dengan mengonsumsi obat-obatan.
“Di masa pandemi Covid-19 ini, banyak orang mengalami PHK. Tapi masih kategori gangguan jiwa ringan. Bahkan, yang bersangkutan tak merasa mengalami gangguan jiwa. Tentu tidak dibawa ke Among Jiwo,” kata Kepala Panti Among Jiwo, Sudiyono.
Sudiyono berharap di masa pandemi ini masyarakat dapat mengikuti dan menaati protokol kesehatan, disiplin serta jangan sungkan-sungkan untuk selalu mengingatkan masyarakat yang melanggar protokol kesehatan.
Sementara itu, Psikolog Probowatie Tjondronegoro mengatakan justru persoalan yang krusial di masa pandemi adalah menenangkan kondisi psikologis masyarakat. “Ini situasi orang banyak tertekan dan taraf kejenuhan yang luar biasa dengan keadaan,” ujar Probo –sapaan akrab Probowatie Tjondronegoro, kemarin.
Namun, kondisi psikologis masyarakat masih terabaikan oleh pemerintah. Salah satunya, muncul kebijakan-kebijakan yang bisa menyulut emosi massa. Seharusnya, tidak hanya sisi medis yang menjadi fokus perhatian. Namun psikologis masyarakat. “Jika kondisi tertekan, maka orang cenderung melakukan dua hal. Pertama, nekat melakukan apapun tanpa melihat dampaknya.Bahkan, acuh atau tak patuh terhadap imbauan pemerintah tentang protokol kesehatan. Kedua, masyarakat semakin ketakutan, sehingga berdampak dalam kehidupan keseharian. Bahkan ada yang sampai tidak berani keluar rumah karena saking takutnya. “Ini yang memang harus diantisipasi. Karena pandemi ini lebih ke pengaruh psikologis,” tuturnya.
Sejauh ini, lanjutnya, pemerintah lebih fokus bagaimana memperoleh vaksin atau bagaimana mengurangi jumlah orang terpapar Covid–19. Namun melupakan faktor yang meningkatkan imun masyarakat menjadi baik. Diperparah dengan kondisi perekonomian masyarakat banyak yang morat-marit. “Kalau hati senang, imun tubuh akan meningkat. Pemerintah harusnya memperkaya pengelolaan batin masyarakat, dengan tanpa mengeluarkan kebijakan yang menyulut emosi masyarakat,” katanya. (cr1/cr2/ewb/ida/bas)