RADARSEMARANG.COM – Selama masa pandemi Covid-19, banyak orang kehilangan pekerjaan dan harus stay di rumah. Kondisi ini benar-benar berpengaruh terhadap kejiwaan masyarakat.
Pemahaman masyarakat tentang gangguan jiwa itu masih minim. Hingga kini, masih ada stigma negatif ketika seseorang mendatangi dokter jiwa. Masih banyak orang mempersepsikan orang yang mengalami gangguan jiwa itu sama dengan gila. Bahkan, stres itu juga dipersepsikan dengan gila. Padahal tidak demikian.
“Banyak yang harus ke dokter jiwa, tapi khawatir dibilang gila. Padahal stres itu tidak mesti gila. Stres itu kegagalan seseorang beradaptasi terhadap dirinya dan lingkungan sekitarnya, sehingga menyebabkan kegagalan dari sisi psikis dan fisik. Itu bukan gila,” kata dokter jiwa dari RSUD Tugurejo Semarang dr Ratih Widayati Sp.KJ kepada Jawa Pos Radar Semarang.
Perlu diketahui, pandemi Covid-19 ini bencana global yang tiba-tiba dan tidak dikehendaki datangnya. Yang biasanya bekerja, kini dirumahkan. Yang tadinya bisa bebas kemana saja, harus stay di rumah. Keharusan untuk stay at home, belajar dari rumah dan bekerja dari rumah, sudah membuat orang jenuh. Kondisi tersebut diperparah dengan simpang siurnya informasi Covid-19 yang berseliweran di media sosial atau dari berbagai sumber lainnya. Hal itu menjadikan banyak orang cemas, takut tertular dan takut pergi keluar rumah.
Tentu saja, jumlah penderita gangguan jiwa semacam ini meningkat. Meski di Indonesia tak separah di negara maju yang kebanyakan hidup di apartemen dengan tingkat stres tinggi. Tingkat gangguannya ringan.
Apalagi, jika ada pasien dijemput petugas medis berbalut alat pelindung diri (APD) lengkap, didampingi petugas TNI, Polri dan Satpol PP. Situasi tersebut, kerap menimbulkan kepanikan tetangganya. “Akibatnya, banyak yang ikut-ikutan panik dan cemas, takut terkena juga. Akibatnya semakin banyak yang kena gangguan psikosomatis,” ujarnya.
Banyak pasien yang semula sehat, tiba-tiba merasa dirinya lemes, mual, mengalami gangguan tidur, merasakan nyeri yang berpindah-pindah tempat, mudah emosi, sakit kepala berkepanjangan, dan ujung-ujungnya diare. Padahal sebelumnya sehat-sehat saja.
Gangguan jiwa, ada 3 kategori. Yakni, ringan, sedang dan berat. Selama pandemi ini, terbanyak gangguan jiwa ringan. “Jadi kuantitas gangguan jiwa ringan itu yang meningkat. Gangguan jiwa ini, biasanya mengarah ke gangguan fisik,” jelasnya.
Padahal seseorang mudah terinfeksi Covid-19, salah satunya karena stres atau cemas yang berlebihan. Stres itu biasanya bersumber dari imunitas tubuh yang turun. Maka hindarilah hal-hal yang memicu stres tinggi. “Covid-19 itu 1.000 wajah. Intinya jangan mudah stres dan cemas. Selalu tingkatkan prasangka baik,” tandasnya.
Selama pandemi ini, diakuinya, banyak orang mengeluh sakit, akibat stres. Tiba-tiba mudah emosi, mengalami gangguan tidur, merasa cemas atau psikosomatis. Bahkan, banyak yang berpikir, jangan-jangan terkena Covid-19. Lantas pergi memeriksakan diri ke dokter. Tapi begitu dirujuk ke dokter jiwa, banyak yang tidak terima. Karena merasa dirinya sehat-sehat saja, tidak merasa mengalami gangguan jiwa. Atas penolakan tersebut, banyak pasien yang memilih membiarkan sakitnya, ketimbang harus ke dokter jiwa.
“Baru setelah sakitnya tak kunjung sembuh, pasien ini mau mendatangi dokter jiwa. Karena obat yang berkaitan dengan gangguan kecemasan, gangguan jiwa, hanya bisa diberikan oleh dokter jiwa,” ujar dr Ratih.
Selama pandemi ini, jumlah pasien yang dirujuk ke dokter jiwa memang bertambah banyak. Jika sebelum pandemi, pasien yang baru menderita sakit, rata-rata perhari di bawah 3-5 orang. Setelah pandemi meningkat di bawah 5-10 orang. Jika dipersentase, rata-rata meningkat 20 persen pasien baru per hari. Jika dijumlahkan dengan pasien yang hanya kontrol, per hari rata-rata 20 pasien. “Ada peningkatan jumlah pasien yang lumayan banyak selama pandemi Covid-19,” tuturnya.
Kata dr Ratih, umumnya pasien yang mengalami gangguan jiwa ringan, hanya diobati dengan rawat jalan. Kalau sampai rawat inap, biasanya pasien yang mengalami keluhan fisik berat di bagian lain.
Untuk menghindari gangguan kecemasan yang berlebihan, dr Ratih mengharapkan masyarakat untuk selalu positive thinking terhadap segala sesuatu, selalu bahagia, melakukan olahraga rutin, mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin, tingkatkan ibadah, dan selalu bercengkerama dengan keluarga, maupun bersosialisasi dengan teman baik lewat medsos maupun telepon. “Kebahagiaan itu meningkatkan imunitas tubuh. Kalau memang sedang sakit, maka lakukan pengobatan dengan bijak,” tuturnya.
Perlu digarisbawahi, kata dr Ratif, datangi dokter jiwa demi kesehatan. “Mental yang sehat akan dikuti jiwa yang kuat. Sekuat apapun fisik kalau mental lemah, akan menjadi orang yang takut menghadapi tantangan, akan selalu bersikap menghindar,” tandasnya. (ida/bas)