32 C
Semarang
Sunday, 13 April 2025

Remaja Tampan Penunggang Ducati Hitam Hadiah dari Ayahnya

Mengenang Jejak Pahlawan Revolusi Pierre Tendean di Semarang

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Pahlawan Revolusi Kapten (Czi) Anumerta Pierre Tendean menghabiskan masa remaja di Kota Semarang. Motor Ducati hitam hadiah dari ayahnya menjadi tunggangannya saat keliling Semarang.

Pierre Andries Tendean lahir di Batavia (Jakarta) pada 21 Februari 1939. Ia merupakan anak pasangan Aurelius Lammert (AL) Tendean dari suku Minahasa dan Maria Elizabet Cornet, perempuan berdarah Belanda-Perancis. Meski berdarah campuran, ia fasih berbahasa Jawa. Sebab, semasa kecil keluarganya hidup di Jawa. Ia memiliki kakak perempuan Mitzi Farre dan adik perempuan Rooswidiati.

AL Tendean adalah seorang dokter spesialis jiwa. Mejelang masuknya Jepang di Indonesia, ia dan keluarga menetap di Magelang. AL Tendean menjabat sebagai Wakil Kepala Rumah Sakit Jiwa Kramat Magelang (sekarang RSJ Prof dr Soerojo). Pierre Tendean menjalani masa kecil di Magelang. Ia bersekolah di Sekolah Rakyat Boton Magelang.

Pada 1951, AL Tendean dipindahkan ke Semarang. Ia dipercaya memimpin Rumah Sakit Jiwa Tawang Semarang. Pierre Tendean dan anggota keluarga lainnya ikut pindah ke Semarang. Mereka tinggal di Jalan Poncol No 172 Semarang. Saat ini, rumah tersebut sudah dihibahkan untuk Kantor Pelayanan Pastoral Keuskupan Agung Semarang. Alamatnya berubah menjadi Jalan Imam Bonjol No 172 Semarang.

Selepas SR, pada 1952, Pierre Tendean melanjutkan ke SMP Negeri 1 Semarang yang dulu berada di Jalan Pemuda No 134 Semarang. Saat ini, menjadi Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Lulus SMP, pada 1955 ia masuk SMA bagian B Semarang (sekarang SMA Negeri 1 Semarang) dan lulus pada 1958.

Mitzi Farre, seperti yang ditulis majalah Intisari edisi September 1989 menuturkan, semasa SMP dan SMA, Pierre Tendean tidak pernah tinggal kelas. Ia memperoleh nilai yang baik dalam Bahasa Inggris dan Jerman. Ketika masuk SMP, Pierre Tendean mendapat hadiah sepeda. Sedangkan saat masuk SMA, AL Tendean menghadiahkan sepeda motor Ducati. Ia sangat bangga pada Ducati tersebut.

Motor Ducati warna hitam menjadi tunggangan Pierre Tendean saat ke sekolah maupun jalan-jalan dengan sahabat-sahabatnya. Hanya Pierre Tendean yang boleh mencuci motor tersebut. Orang lain dilarang menyentuh sembarangan.

Pada 1957, Pierre Tendean muda sempat terlibat perkelahian dengan pisau. Sampai ada bekas luka di tangannya. Meski demikian, Pierre Tendean mudah diterima di pergaulan. Temannya mulai dari kalangan atas hingga tukang becak di sekitar Poncol.

Selepas SMA, orangtua Pierre Tendean berharap agar ia mendaftar di Fakultas Kedokteran atau Fakultas Teknik. Tapi Pierre Tendean bertekad menjadi tentara. Pada 1958, ia akhirnya diterima sebagai taruna Akademi Militer Nasional. Ia kemudian memilih Akademi Militer  Jurusan Teknik yang pada 1962 berubah nama menjadi Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad) di Bandung.

Ketampannya membuat Pierre Tendean dijuluki Robert Wagner dari Panorama. Robert Wagner merupakan artis Hollywood yang terkenal saat itu. Sedangkan Panorama adalah nama tempat pendidikan Atekad Bandung.

Februari 1958, pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) Meletus. Pierre Tendean yang masih menyandang pangkat Kopral Taruna ikut dikirim ke Sumatera Barat untuk menumpas pemberontakan. Ia lulus AMN pada 1961 dan berhak menyandang pangkat Letnan Dua.

Rooswidiati, adik bungsu Pierre Tendean dalam buku Kunang-Kunang Kebenaran di Langit Malam (2003) menjelaskan, saat menjadi komandan peleton batalyon zeni tempur di Kodam II Bukit Barisan Sumatera Utara pada 1963, Pierre Tendean menemukan pujaan hati. Ia bertemu Rukmini, seorang gadis asal Medan.

Baru menjalin hubungan serius, Pierre Tendean mendapatkan tugas mengikuti pendidikan intelejen di Bogor. Ia harus meninggalkan Medan dan menjalin hubungan jarak jauh dengan Rukmini. Pierre Tendean juga beberapa kali menjalankan tugas intelejen untuk menyusup ke Malaya atau Malaysia yang saat itu sedang berkonfrontasi dengan Indonesia.

Setelah diangkat menjadi ajudan Jenderal AH Nasution pada 15 April 1965, Pierre Tendean berniat serius untuk melamar Rukmini. Rencana itu dikabarkan lewat surat ke keluarganya di Semarang dan ia minta doa restu untuk menikah.

Masykuri dalam buku Pierre Tendean yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1984) menerangkan, Pierre Tendean sempat menulis surat kepada kakaknya, Mitzi, dalam bahasa Jawa. “Mitz, aku wis ketemu jodoku. Wis yo Mitz, dongakake wae, mugo-mugo kelakon.”

Pierre Tendean sempat pulang ke Semarang pada 2 Juli 1965. Ia menghadiri pernikahan adiknya, Rooswidiati dengan Jusuf Razak. Ini merupakan pertemuan terakhir Rooswidiati dengan kakaknya.

Pada 31 Juli 1965, saat mendampingi Nasution bertugas di Medan, Pierre Tendean menemui orangtua Rukmini, Chaimin. Secara resmi ia melamar Rukmini. Hari pernikahan disepakati akan dilangsungkan pada November 1965.

Pierre Tendean sungguh-sungguh ingin menikahi Rukmini. Bahkan ia sempat menjadi sopir traktor dalam pembuatan jalan di Silang Monas untuk mencari tambahan biaya untuk berumah tangga. Ia menyadari gaji perwira muda berpangkat Letnan Satu memang tak seberapa. Pekerjaan jadi sopir traktor dilakukan pada malam hari saat tidak bertugas.

Tapi rencana pernikahan tersebut kandas karena peristiwa G 30 S. Hari lamaran tersebut menjadi saat terakhir Pierre Tendean dan Rukmini bertemu.

Mitzi Farre, kakak Pierre Tendean, seperti yang ditulis majalah Intisari edisi September 1989 menuturkan, 30 September sebenarnya adalah hari ulang tahun ibu mereka, Maria Elizabeth Cornet Tendean. Beberapa hari sebelum 30 September 1965, Pierre sudah menghubungi ibunda tercinta bahwa ia tak bisa pulang tepat di hari ulang tahun. Tapi ia berjanji akan pulang ke Semarang bersama suami Rooswidiati pada 1 Oktober 1965.

Namun peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S) membuyarkan rencana kepulangan Pierre Tendean ke Semarang. Ia ikut dibawa gerombolan penculik yang ditugasi membawa Jenderal AH Nasution. Para penculik mengira Pierre Tendean adalah Nasution. Pierre Tendean ikut dibawa ke Lubang Buaya dan dibunuh. Jenazahnya lantas dimasukkan ke dalam sumur.

Berdasarkan visum et repertum resmi yang dikeluarkan tim kedokteran bentukan Pangkostrad Mayjen Soeharto, Pierre Tendean gugur dengan sejumlah luka tembak. Yakni, empat luka tembak masuk di bagian belakang, dua luka tembak keluar bagian depan. Kemudian terdapat luka-luka lecet di dahi dan tangan kiri, dan tiga luka ternganga karena kekerasan tumpul di bagian kepala.

Buku Sang Patriot : Biografi Resmi Pierre Tendean (2019) menuliskan suasana saat keluarga Pierre Tendean mendapat kabar tentang anggota keluarganya tersebut. Pada 5 Oktober 1965, pemerintah RI mengirim pesawat untuk menjemput keluarga Pierre Tendean di Semarang. Mereka akan menghadiri pemakaman para Pahlawan Revolusi di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata Jakarta.

Buku yang ditulis Iffani Saktya, Irma Rachmania Dewi, Laricya Umboh, Neysa Ramadhani, Noviriny Drivina, dan Ziey Sullastri, dengan editor Abie Besman ini menggambarkan betapa terpukulnya hati ibu Pierre Tendean. Cornet sangat menantikan ucapan selamat ulang tahun dari putra tercintanya. Tapi ia mendapati putranya tersebut sudah berada dalam peti mati. Sang ibu menangis dan meratap, “Pierre, Pierre, mijn jongen, wat is er met jou gebeurd (Pierre, Pierre, anakku, apa yang terjadi denganmu)”.

Cornet meninggal dua tahun kemudian, tepatnya 19 Agustus 1967. Ibunda Pierre Tendean ini dimakamkan di TPU Bergota Semarang. Sedangkan ayah Pierre Tendean, Aurelius Lammert Tendean meninggal 19 Juli 1974. Ia dimakamkan berdampingan dengan istri tercinta.

Sementara Rukmini, terpaksa mengubur rencana pernikahannya dengan Pierre Tendean yang tinggal dua bulan lagi. Ia baru mengikhlaskan kepergian kekasihnya lima tahun kemudian dan menikah dengan pria lain.

Diabadikan Jadi Nama Jalan

Menelusuri jejak Pierre Tendean di Kota Semarang tidak mudah. Selain minim narasumber, data dan arsip dari Pahlawan Revolusi ini sudah sulit ditemukan. Saat RADARSEMARANG.COM menelusuri ke SMA Negeri 1 Semarang, tidak ditemukan arsip dari salah satu siswa yang memiliki nama asli Pierre Adries Tendean tersebut.

Wakil Kepala Bagian Humas SMA Negeri 1 Semarang Eko Adi beliau mengaku kesulitan menemukan data siswa milik Pierre Tendean. Menurut catatan, Tendean lulus dari sekolah yang dulu bernama SMA Bagian B Semarang itu pada 1958.

“Kami sudah cari di arsip terdahulu tapi tidak ketemu. Kebanyakan data sudah mulai rusak dimakan rayap, kertasnya sudah lapuk,” katanya kepada RADARSEMARANG.COM.

Diakui, sebelumnya sudah pernah ada yang datang untuk mencari data milik Pierre Tendean. Mereka mengaku sebagai kerabat yang berasal dari Sumatera. Namun mereka juga tidak menemukan hasil. “Dulu ada juga familinya dari Sumatera yang mencari data Pak Pierre, tapi juga tidak ketemu,” ujarnya.

Tiga wartawan koran ini sempat membantu mencari data Pierre Tendean di ruang arsip sekolah di Jalan Taman Menteri Supeno ini, namun tidak juga ditemukan.

Salah satu storyteller Komunitas Bersukaria Semarang Bilqis Nabila mengatakan, pihaknya selalu mengadakan kegiatan walking tour setiap minggunya. Termasuk setiap Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober besok. Komunitas pariwisata ini mengangkat tema Pahlawan Revolusi khususnya sejarah kehidupan seorang Pierre Tendean.

“Kami mendapatkan banyak informasi mengenai biografi seorang Pierre Tendean. Cerita diawali dengan kondisi di mana Pierre, ibu, serta saudarinya harus tinggal di Semarang mengikuti tuntutan profesi sang ayah. Pada saat itu ayah Pierre, LA Tendean, merupakan dokter dan kepala rumah sakit jiwa di Magelang yang dipindah ke rumah sakit jiwa di Tawang,”jelasnya.

Qina -sapaan akrabnya- mengatakan, kala itu Pierre mulai memasuki bangku sekolah menengah pertama. Dan sekolah yang menjadi tempatnya menimba ilmu adalah SMP 1 Bodjong. Saat ini, gedung sekolah tersebut telah beralih fungsi menjadi kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jateng.

Pencarian jejak sejarah Pierre Tendean di Semarang dilanjutkan dengan mengunjungi tempat tinggalnya sewaktu di Semarang. Menurut buku Kunang-Kunang Kebenaran di Langit Malam beralamat di Jalan Imam Bonjol Nomor 172. Namun kini rumah tersebut sudah berubah menjadi Kantor Wisma KPP Keuskupan Agung Semarang. Bentuk bangunan yang terlihat baru ini memiliki tiga lantai, dan didominasi warna oranye. Sudah tidak terlihat lagi bagaimana bentuk asli dari rumah yang pernah dihuni Pierre dan keluarganya.

Meski jejak Pierre Tendean di Semarang sudah sulit ditemukan, tetapi nama Pahlawan Revolusi ini diabadikan sebagai nama jalan antara Jalan Imam Bonjol dan Jalan Pemuda. Jalan Kapten Pierre Tendean memiliki panjang sekitar 487,39 meter. (ton/akm/mg1/mg2/mg4/aro/bas)

 


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya