RADARSEMARANG.COM – Pohon asam di Jalan Menoreh Utara XII Sampangan, Kota Semarang, tumbuh subur. Batangnya sebesar cakupan 7 orang dewasa mengelilinginya. Pohon yang berdiri kokoh itu, sudah ada sejak zaman penjajahan.
“Waktu saya kecil, mainnya di bawah pohon asam dan makan asamnya juga. Kata ayah saya, pohon itu sudah ada sejak jaman perang melawan Jepang,“ kata Ketua RT 6 RW 1 Sampangan, Salman, 47.
Namun Salman tidak tahu pasti umur pohon asam tersebut. Untuk mengetahuinya, perlu mendaftarkan pohon tersebut sebagai cagar budaya. “Tapi kami belum mendaftarkannya, belum tahu prosedurnya bagaimana,” katanya.
Kendati begitu, di bawah pohon tersebut kerap dijadikan tempat acara tirakatan menyambut hari Kemerdekaan RI. Memang tempatnya agak luas dan bisa menampung warga se-RT 6. Karena rindang, kerap dijadikan tempat pengajian.
Salman yang berprofesi sebagai ojek online mengaku pohon asam itu sudah menghasilkan banyak manfaatkan dan finansial bagi warga sekitarnya. Warga yang butuh dan mau mengambil untuk dijual, diperbolehkan. Namun tidak diperjualbelikan bagi pemborong buah asam. Buah asam ini kerap dimanfaatkan warga digunakan seniri. Ada juga warga yang sengaja mengumpulkan buah asam untuk dikeringkan dan dijual. “Kalaupun orang luar mau minta, ya boleh. Tapi bolehnya untuk dikonsumsi sendiri atau untuk keperluan sebagai obat,” katanya
Demikian halnya dengan pohon asam di depan Pasar Peterongan yang tak kalah besar. Apalagi sekitar pohon asam itu sudah dipondasi sangat rapi dan terawat. Dilengkapi pula prasasti bertuliskan Bangunan Cagar Budaya Pasar Peterongan yang diresmikan tahun 2017 oleh Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi.
Pohon yang terkenal sakral dan berumuran ratusan tahun ini memiliki ukuran besar dengan batang bercabang dan ranting yang menyebar. Sedangkan Pasar Peterongan itu sendiri dibangun pada tahun 1916 pada saat zaman kolonial Belanda. “Makanya bentuk bangunan pasarnya letter U mengelilingi pohon asam,” katanya.
Saat ada pemugaran pasar tahun 1962, pohon asam ini tetap dibiarkan. Tidak ada yang berani menebangnya. Di Pasar Peterongan itu ditemukan punden yang diduga milik Mbah Gosang. Punden itu dulu diziarahi masyarakat, tapi sejak ada pemugaran berkurang banyak, tak seramai dulu. “Mbah Gosang merupakan tokoh yang dihormati masyarakat waktu itu,” ujar Widodo, 61, pedagang pasar Peterongan.
Tak kalah tua, pohon asam di depan Masjid Jami As Sholihin, Tambakaji, Kelurahan Beringin, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Pohon asam tumbuh besar dan kokoh berdampingan dengan masjid yang sedang mengalami pemugaran dan perluasan bangunan.
Khudori, warga setempat menyebutkan bahwa pohon tersebut sudah berdiri sejak zaman penjajahan Belanda. Pohon tersebut ditemukan bersamaan dengan berdirinya masjid. “Pohon asam ini sudah berumur sekitar 400 tahun. Tapi ada juga yang memperkirakan sudah 500 tahun,“ ujar Khudori, 65.
Menurut cerita turun-temurun dari kakeknya, sejak ditemukan pohon tersebut, ukurannya sudah besar. Seiring dimakan usia pohon yang dulunya berdiri tegak menjulang, kini miring ke samping dan bercabang.
“Kami tak melakukan perawatan istimewa. Hanya merapikan ranting yang sudah menjalar kesana-kemari. Buah asamnya dimanfaatkan semua warga bahkan orang yang sedang berkunjung boleh memetiknya,” jelasnya. (mg09/mg10/mg11/mg12/ida/bas)
