RADARSEMARANG.COM – Pencurian tidak selalu dilatarbelakangi oleh motif ekonomi. Rasa ingin mencuri juga bisa timbul pada seseorang yang menderita kleptomania. Terdapat beberapa cara mengidentifikasi penderita kleptomania dengan memperhatikan gejala-gejala yang terjadi.
Hampir sepuluh tahun lamanya, LD, 24, mengidap gangguan serius kleptomania. Hasrat untuk memiliki barang orang lain muncul pertama kali saat ia duduk di bangku SMP.
LD berkisah, saat itu ia tertarik ingin memiliki handphone salah seorang temannya. Padahal, ia sendiri memiliki handphone dengan merek yang lebih bagus. “Tidak tahu, keinginan buat ngambil muncul gitu aja,” akunya.
Pada pengalaman pertama itu, perasaan takut yang luar biasa hinggap di benaknya. Bayangan jika ia tertangkap basah sempat membuat langkahnya maju mundur. Namun, keinginan untuk memiliki handphone itu jauh lebih besar dari takut yang dirasakan.
Setelah berhasil melancarkan aksinya, tak banyak yang ia gunakan dengan handphone tersebut. Bahkan, handphone tersebut hanya dua kali ia gunakan. Setelahnya ia simpan begitu saja.
Namun nahas, pengalaman pertama LD dalam mencuri tak berlangsung mulus. Beberapa hari setelah mencuri, ia ketahuan. Teman bersama ayah ibunya mendatangi rumah LD untuk meminta handphone tersebut. LD pun menangis terisak mengaku menyesal telah melakukan hal tersebut.”Sempat nggak mau coba lagi karena takut ketahuan kayak kejadian yang pertama itu,” katanya.
Setahun setelah kejadian tersebut, keinginan untuk memiliki barang orang lain kembali muncul. Lagi-lagi barang itu adalah handphone. Dan mereknya juga tak lebih bagus dari handphone BlackBerry miliknya saat itu.
Pada percobaan kedua ini, ia lebih mahir. Karena sama sekali tidak pernah membawa handphone tersebut ke sekolah seperti yang ia lakukan sebelumnya. Ia tak ketahuan sampai sekarang.
Keberhasilannya dalam mencuri itulah yang kemudian jadi cikal bakal kleptomania yang diidap sampai saat ini. Sudah tak terhitung lagi berapa kali ia mencuri. Kelasnya pun semakin naik. Dari mulai handphone milik teman hingga pakaian di mal besar.
Dari seluruh barang curian LD, tidak ada satu pun yang ia jual kembali. Ia mengaku bahwa niat mencuri itu seringnya muncul begitu saja secara impulsif. Misalnya saat pergi ke sebuah mal, ia melihat baju dan merasa ingin memilikinya, maka pada saat itu juga ia akan melancarkan aksinya. Meski setelahnya, barang-barang curian itu tidak selalu ia gunakan.”Sebenarnya kalau dibilang butuh ya nggak butuh-butuh banget. Tapi ya pengin aja punya barang itu,” ujar LD dengan nada tanpa bersalah.
LD menyadari bahwa kebiasaannya dalam mencuri merupakan sebuah gangguan. Ia mengaku kerap mencari tahu tentang kleptomania dan menemukan bahwa ciri-cirinya persis seperti apa yang ada di dirinya. Tapi ia masih tidak tahu harus berbuat apa untuk menghilangkan kleptomania itu.
Psikolog asal Semarang Probowati Tjondronegoro mengatakan, orang tua hendaknya tidak menggampangkan perilaku yang dilakukan anak-anaknya, termasuk anak yang suka mengambil barang milik orang lain. Sebab, dikhawatirkan akan menjadikan sifat kleptomania. “Klepto itu mengambil sesuatu tapi tanpa rasa bersalah. Yang bahaya itu klepto tapi gak ngaku klepto. Itu kan seperti penyakit,” kata Probowati Tjondronegoro kepada RADARSEMARANG.COM.
Perempuan yang akrab disapa Probo ini mengatakan, masyarakat hendaknya bisa membedakan antara klepto dan tidak. Menurutnya, sifat klepto itu senang mengambil, namun barang yang dicuri tidak dijual. “Dia suka mencuri dan sudah jadi kebiasaan. Sering ngambil tanpa ada rasa diperingatkan, jadi budaya dia,” jelasnya.
Terkait orang yang memiliki sifat klepto, Probo mencontohkan anak kecil yang sering mengambil uang orangtuanya. Karena masih usia anak-anak, perbuatan tersebut tanpa ada rasa bersalah. “Mikirnya dia ah tidak apa-apa. Tapi terus-terusan, tapi anak itu tidak menyadari kalau itu perbuatan salah. Karena dari kecil mengambil sesuatu dibiarkan, sehingga menjadi perilaku yang salah atau benar karena sudah biasa,” jelasnya.
“Anak-anak tahu norma itu sesudah umur 8 tahun lah. Jadi, ketika masih kecil mengambil itu kan dipikirnya masih hal yang lucu, tapi kan menjadi kebiasaan, karena dia belum tahu norma,” lanjutnya.
Terkait usia berapa orang memiliki sifat klepto, Probo menyampaikan tidak bisa dipastikan. Menurutnya, ketika masih usia anak-anak dan terus dibiarkan akan menjadi kebiasaan. “Kalau ini terjadi terus-menerus, maka anak tidak bisa membedakan. Karena ketika kecil belum mengerti,” katanya.
Menurut kesimpulan Probo, menerapkan norma sejak kecil sangatlah penting. Dimulai dari hal yang boleh dan tidak boleh. Sehingga ketika anak melakukan perbuatan yang tidak benar untuk secepatnya diberikan arahan. “Misalnya, kalau ada perilaku melanggar ya harus ada punishment. Kalau perilaku itu baik ya harus ada reward. Kadang orang tua banyak memberikan hukuman dari pada hadiah,” ujarnya. “Kalau anak masih kecil kan semua terjadi begitu saja, biasanya tidak ada kontrol sama sekali, selalu dituruti dan bahkan diabaikan. Ini membuat terbentuk sikap anak yang tidak baik,” jelasnya.
Sifat Klepto Bisa Sembuh
Banyak hal yang membuat anak memiliki sifat klepto. Psikolog Probowati Tjondronegoro mengatakan, anak bisa memiliki sifat klepto lantaran pengaruh orangtuanya. Misalnya, orang tua yang terlalu sibuk bekerja tidak mengawasi anaknya. Orang tua yang terlalu sibuk dengan pertengkaran. Orang tua yang tidak tegaan dan selalu menuruti anaknya.
“Kemudian ada orang tua yang tidak peduli, dan orang tua yang tidak memiliki pengetahuan, sehingga tidak mau mengajari anaknya. Orang tua banyak melarang anak bisa juga. Jadi terkadang orang tua melarang itu, tapi tidak disertai solusi,” jelasnya.
Apakah setelah tumbuh dewasa sifat klepto tetap akan muncul? Probo mengatakan kumpulan kebiasaan akan menjadi perilaku. Sifat klepto tidak hanya mengambil barang. Dimungkinkan akan mencuri sesuatu lainnya. “Misalnya, dia jadi pegawai, bisa mencuri waktu. Bolos jadi hal biasa. Jadi, menggampangkan masalah,” katanya.
Apakah sifat klepto bisa sembuh? Probo dengan tegas menyatakan sifat klepto bisa sembuh.
“Tidak ada sesuatu yang tidak bisa. Asal lingkungan membantu. Memang masa anak -anak masa pondasi. Sehingga pondasi ini bisa dibuat sebaik mungkin. Tidak ada kata terlambat,” ujarnya. (nor/mha/aro)