RADARSEMARANG.COM – Berjuang tak harus memikul senjata. Melestarikan lingkungan juga bagian dari perjuangan. Ini seperti yang dilakukan Pujo Arto dan Setiawan. Pujo mengembangkan burung hantu Tyto Alba sebagai pemakan tikus yang merusak tanaman pertanian. Sedangkan Setiawan menggalakkan penanaman pohon sirsat di kawasan Waduk Jatibarang, Gunungpati
Desa Tlogoweru, Kecamatan Guntur, Demak sudah lama dikenal sebagai desa wisata. Hal ini berkat adanya pengembangbiakkan burung hantu Tyto Alba. Banyak wisatawan yang datang ke desa ini untuk melihat dari dekat pengembangan burung pemangsa hewan pengerat alias tikus ini.
Pujo Arto adalah salah satu peternak burung hantu di desa ini. Mengembangbiakkan burung ini memang tidak seperti ternak hewan lainnya. Burung hantu dikembangkan dengan model karantina di tempat berukuran 6×12 meterpersegi.
“Yang dikarantina khusus burung hantu yang sedang sakit. Sedangkan burung yang dalam kondisi sehat tetap dilepas bebas di alam raya,” jelas Pujo Arto saat ditemui RADARSEMARANG.COM di rumahnya.
Dikatakan, Desa Tlogoweru merupakan embrio untuk pengembangan burung hantu. Itu dilakukan sejak 2011. Dua tahun sejak ada pengembangan itu, hama tikus berangsur berkurang drastis. Membasmi tikus tak perlu lagi menggunakan racun yang kurang ramah lingkungan.
“Dulu, awal pengembangan hanya ada 28 ekor pasang burung hantu. Kemudian berkembang terus. Setahun setidaknya bisa seribu ekor burung hantu. Karena desa-desa lain juga ikut mengembangkan,”ujar suami dari Sri Suhanah ini.
Setahun, sepasang burung hantu bisa beranak pinak dua kali. Sekali beranak bisa lima ekor anakan. Karena setahun dua kali musim beranak, maka bisa menghasilkan 10 ekor anak untuk sepasang burung dengan ciri khas bulatan dua mata besar, cengkeraman kuku tajam dan kuat ini.
Banyaknya burung hantu yang dikembangkan bisa mengurangi populasi tikus sebagai menu makanan favoritnya. Semalam, satu ekor burung hantu bisa memangsa 5 ekor tikus. Jika ada seribu ekor burung hantu, maka semalam bisa memangsa 500 ribu ekor tikus dengan jangkauan terbang radius 12 kilometer. Jika induk tikus dimakan, maka tikus tidak sempat beranak pinak. Tikus sekali beranak bisa 6 sampai 12 ekor. Setahun tikus bisa beranak hingga 6 kali.
“Selain pengembangan burung hantu, dulu awal-awal hanya ada beberapa rumah burung hantu (rubuha) yang didirikan di tengah sawah. Sekarang di Desa Tlogoweru sudah ada 170 rubuha berdiri di areal sawah seluas 225 hektare,”kata pria kelahiran Demak, 11 Desember 1967 ini.
Sebelum ada ternak burung hantu, dulu produksi hasil pertanian terganggu. Petani nyaris tidak pernah panen raya lantaran tanaman padi, jagung dan lainnya selalu habis dimakan tikus.
Pujo menambahkan, pengembangan burung hantu di desa-desa sudah menjadi program dari Dinas Pertanian. Pemerintah menyiapkan banyak rubuha untuk tempat singgah dan bernak pinak di sawah. “Sekarang hampir semua lahan pertanian di Demak ada rubuhanya,”ujarnya.
Model serupa juga dikembangkan di daerah lain di Jawa Tengah. Bahkan, di Aceh maupun Kolaka (Sulawesi Tenggara) juga ikut mengembangkan. Termasuk, di Pontianak, Pangkalan Bun (Kalimantan Barat), Medan (Sumatera Utara), maupun di Bali.
“Saya kerap diundang untuk mengisi pelatihan bagaimana mengembangkan burung hantu di lahan pertanian maupun di perkebunan sawit,”kata ayah dari Nugraheni Widyastuti, Riska Ramadani dan Diah Ayu ini.
Undangan selaku praktisi pengembang burung hantu untuk berbagi ilmu juga pernah diterima dari di negara lain. Seperti, Malaysia, Thaliland, Jepang, dan lainnya.
Terkait dengan dedikasinya itu, Pujo Arto pun mendapatkan beberapa penghargaan dari pemerintah. Sebagai penyuluh swadaya, ia pernah meraih penghargaan dari Pemprov Jateng pada 2014. Kemudian, Tim Tyto Alba yang turut berjibaku mengembangkan burung hantu juga mendapat penghargaan Kalpataru Jateng pada 2015. Selain itu, penghargaan Desa Mandiri dari Kodam IV/Diponegoro pada 2014. Selain itu, sejak jadi desa wisata, Desa Tlogoweru juga lebih bersih dan bebas dari buang air sembarangan. Ratusan rumah warga pun jadi penginapan.
Yang menjadi kendala pengembangan burung hantu, antara lain banyaknya tingkat kematian akibat gangguan dari manusia. “Sering ditembak. Ada juga yang terkena atau tersangkut benang layang-layang pedot. Sebab, burung hantu kalau malam hari saat cari mangsa biasanya terbang rendah,”keluhnya.
Untuk mengurangi kematian itu, pihak desa pun membuat aturan larangan menembak burung hantu. “Kalau ada burung hantu mati, biasanya petani melaporkan ke kita. Kalau masih hidup tapi sakit, maka kita rawat sampai sembuh. Jika sudah sehat kita lepas lagi. Kalau luka ya kita olesi obat Betadhine atau obat lainnya serta dikasih makanan,”ujarnya.

Tanam Ribuan Pohon Sirsak untuk Kesehatan
Namanya Setiawan. Kerap disapa Sinyo. Dia alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Semarang (USM). Saat kuliah, aktif di kegiatan pecinta alam. Tak heran, jika dia sangat menyukai alam. Dia juga memiliki hobi menanam, khususnya pohon sirsak. Sejak 2016, secara suka rela ia menanam bibit sirsak di dekat kawasan Waduk Jatibarang, Gunungpati. Jumlahnya 400 sampai 500 pohon berbagai jenis. Sayangnya, belum sempat berbuah, sudah terkena proyek pembangunan dermaga.
“Tapi, saya tidak putus asa. Tahun 2017 saya mulai menanam lagi. Sekitar 700 sampai 800 bibit. Tahun 2018 saya tanam lagi. Tapi karena tanahnya keras, tidak semua hidup. Tahun 2019, saya tanam lagi bibit sirsak di Bukit Cinta Banjarsari di wilayah Kampung Talun Kacang, Kelurahan Kandri,” katanya kepada RADARSEMARANG.COM.
Bibit sirsak itu dibiayai dari uang swadaya anggota pecinta alam. Pembibitan dilakukan sendiri lewat biji, mulai Desember sampai Febuari. Setelah tumbuh, dipindah ke polibag dan disiram setiap hari oleh anggota mapala (mahasiswa pencinta alam). Setelah itu, dilakukan penanaman ketika musim penghujan.
Sinyo mengaku, memiliki jiwa menanam sejak 1991. Selain di Jatibarang, ia pernah melakukan penanaman di Gunung Merbabu, Gunung Andong, dan Gunung Prahu. Selain itu, juga di daerah Tembalang, sepanjang Jalan Arteri Soekarno-Hatta dan di kawasan Kaligarang.”Selain bibit sirsak, ada juga pohon angsana, bambu, ganam, jabon, mahoni. Saya pernah menanam di Pulau Tirang dan di Demak juga,” ujar pria kelahiran 7 April 1969 ini.
Menurutnya, kegiatan penanaman yang dilakukan mendapat apresiasi warga, karena sangat bermanfaat bagi kesehatan. Daun sirsak bisa sebagai obat kanker. Bahkan, sudah ada perusahaan yang tertarik.
Untuk perawatan tanaman sirsak dilakukan secara rutin, termasuk pemupukan. Bibit yang mati langsung diganti. “Jumlah bibit sirsak yang tumbuh sampai sekarang mencapai 1.200 pohon. Sedangkan total bibit yang ditanam mencapai 5000-an,” kata pria yang tinggal di Ngabean, Kecamatan Gunungpati ini. (hib/mha/aro)