RADARSEMARANG.COM – Post power syndrome kerap menghantui para pensiunan pejabat tinggi. Tapi tidak demikian dengan mantan kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Jateng dan Dinas Sosial (Dinsos) Jateng ini. Adalah Nur Hadi Amiyanto yang hingga kini tetap produktif.
Usianya tidak lagi muda. Ya 62 tahun. Bahkan, meski pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) ini, semangatnya tetap bergelora. Nur Hadi mengawali karirnya sebagai guru tidak tetap (GTT) di SMA Negeri 1 Magelang sekitar tahun 1981-1986. Kala itu hanya bergaji Rp 8.000 per bulan. Ia mengampu empat kelas dengan mata pelajaran fisika. “Saking senangnya terima gaji pertama, saya ajak adik-adik jajan bakso. Itu masih sisa Rp 2.500, hahahaha,” kenang Nur Hadi, kemarin.
Rejeki yang dinanti tiba. Tahun 1986, ia lolos calon pegawai negeri sipil (CPNS). Setelah pengangkatan, ia diamanati mengabdi di SMA Negeri 1 Semarang. Tidak lama, karir PNS-nya melejit. Ia berkesempatan bekerja di Kantor Wilayah (Kanwil) Disdikbud Provinsi Jawa Tengah (2012-2016). Kemudian dirotasi menjabat kepala Dinsos Provinsi Jawa Tengah (2017-2019). Sekitar satu setengah tahun lalu, ia pensiun.
Nur Hadi bercerita, sejak masih aktif menjadi PNS, ia memikirkan masa tuanya. Cita-citanya ingin punya satuan pendidikan dan bertani. Karena itu, ia menyisihkan gajinya membeli tanah, di Secang, Kabupaten Magelang. Di sinilah tempat kelahiran kakeknya.
Tahun 2003, ia membeli sebidang tanah seharga Rp 42 ribu per meter. Totalnya sekitar 3.800 meter persegi berupa kebun salak. Kemudian membeli lagi dengan harga Rp 50 ribu per meter. Sekarang luas tanah yang ia tempati untuk tinggal dan bertani seluas 11.500 meter persegi. “Dulu nggak mikir berinvestasi, tapi berpikir ingin menghabiskan masa tua dengan bertani. Maka harus punya tanah di desa,” tuturnya.
Dulunya, di sekitar lahan yang ia beli belum ada perkampungan. Tanah masih murah. Setelah ada pembangunan perumahan dan akses jalan, kini jadi mahal. Tahun 2012 tanah tersebut ia sulap menjadi lahan produktif. Ia menanam buah-buahan. Mulai dari cempedak, durian, markisa, jambu, pisang, kelapa, dan sebagainya. Lalu sayuran, terong, cabai, pare, dan sebagainya. Ia juga beternak. Ada ayam petelur, kambing, angsa, dan mentok.
“Sekarang saya punya sekitar 2.600 ekor ayam. Sehari menghasilkan 1 kuintal telur dan punya 80 pohon durian. Untuk pohon salak akan saya ganti alpukat,” ujarnya.
Melihat di sekitar rumah banyak anak kecil dan dari keluarga kurang mampu, ia memang mendirikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Terpadu, sejak sembilan tahun lalu. Terdiri atas Taman Kanak-kanak (TK) dan Kelompok Bermain (KB). Gedung PAUD yang didirikan cukup luas untuk kegiatan bermain. KB dan TK A menempati ruang 12 x 8 meter. Sedangkan TK B, 6 x 5 meter. Total dengan halaman sekitar 500 meter persegi. “Awalnya saya gratiskan, tapi malah nggak laku. Orang mikir kalau gratis mungkin nggak bermutu, sekarang jadinya bayar,” kenangnya.
Sejak kecil, ia memang bercita-cita menjadi guru. Dan menginginkan di sebelah rumahnya ada sekolah untuk memberikan pelayanan pendidikan. Jika mendirikan SD, SMP atau SMA, butuh biaya yang banyak. Lalu ia mendirikan PAUD Terpadu An-Nur. Sekarang ada 39 anak didik.
“Kalau PAUD, pembelajarannya lebih simpel. Bermain, kemudian mengajarkan bicara yang baik, berdoa, budaya antre, membuang sampah pada tempatnya, meskipun mengajarkan seperti ini juga sangat sulit,” sebutnya.
Di kebunnya, juga menjadi tempat pendukung pengalaman belajar anak. Anak-anak kerap bercocok tanam dan mengambil telur-telur di kandang. “Sering juga ada ibu-ibu yang nyuapin anaknya sambil lihat rusa, jalan-jalan di sini,” tuturnya.
Dari apa yang ia kerjakan, ia memiliki kepuasan. “Pensiun itu alami. Tiap orang kerja akan pensiun. Ini harus dipersiapkan. Kalau sudah biasa sibuk, kemudian diem, nanti stres, banyak penyakitnya,” ujarnya.
Menikmati masa tua, tidak seharusnya berpangku tangan. Harus aktivitas yang terukur. Sampai sekarang, ia masih hobi mencangkul, membersihkan kandang, juga memupuk tanaman-tanaman. Jika berbuah, hasil sayuran itu untuk konsumsi pribadi, ada juga yang dibagikan ke tetangga. “Kami tetap harus sibuk, tapi terukur. Hanya porsi sosial dan kegamaannya ditambahi,” ujarnya.
Lain halnya dengan telur memang untuk bisnis. Ia punya tiga karyawan tetap untuk membantu mengurus peternakan. Lalu satu orang lagi yang bekerja tiap dua hari sekali untuk membantu mencari rumput dan mencangkul.
“Saya tekankan kepada mereka, bekerja harus jujur. Kalau saya makmur, tidak ingin saya nikmati sendiri. Semua harus ikut merasakan. Karyawan harus punya rasa memiliki juga, supaya mereka bekerja dengan baik,” bebernya.
Ia memang menikmati usia pensiun dengan cara berbeda. Dirinya tidak terlalu suka makan di restoran. Ia lebih senang mengolah makanan dari hasil bertani. Bahkan, ia tidak tertarik bergonta-ganti kendaraan. “Saya itu punya mobil dari 2001 nggak ganti mobil,” ujarnya.
Rutinitas berkebun sangat menyenangkan. Bahkan ia kerap tidur pulas tanpa bermimpi. Dia pun tidak memiliki angan-angan terlalu muluk-muluk. Seperti menjadi peternak besar. “Terpenting, tiap tahun hanya menambah 500 ekor ayam untuk mengganti yang lama. Jadi gradual,” ungkapnya.
Sejauh ini, ia menerapkan konsep pertanian dan peternakan terintegrasi. Kotoran ayam-ayam penghasil telur itu difermentasi menjadi pupuk alami. Digunakan untuk penyuburan tanamanan. Jika ada ayam yang mati, ia bakar untuk makan ikan lele. “Jadi tidak ada yang terbuang,” tandasnya.
Dukungan istri, diakui sangat besar. Istrinya, Veronica Dwi Retno Andri Wulandari membantu memasarkan telur dijual ke Semarang. Saat pulang ke Magelang, membawa jagung untuk tambahan pakan ayam. “Kalau ibu nggak dukung, saya nggak bisa seperti ini. Kalau saya mau membesarkan usaha, ibu ikut nambahin modal. Di pemasaran, dia juga aktif sekali jadi bakul,” tambahnya.
Andri, sapaan Veronica Dwi Retno Andri Wulandari, 58, tidak keberatan suaminya memiliki aktivitas bertani dan beternak. Dia juga ikut terjun mengurus usaha ini. Menurutnya, jika suaminya pulang ke Semarang, tidak betah. Selalu ingin pulang ke Magelang untuk melihat perkembangan ayam dan tanaman-tanamannya. “Kadang bapak itu memandangi satu pohon durian bisa 15 menit, nanti geser lagi mengamati yang lain,” ucapnya.
Nikmati Hidup dengan Backpackeran
Achyani Tjokrodimedjo. Setelah purna tugas dari jabatannya sebagai Kabag Humas Pemkot Semarang sejak Maret 2018 silam, memilih menikmati hidup dengan menjalani hobinya. Yaitu travelling.
Tapi ini berbeda dengan traveller pada umumnya. Yani – sapaan akrabnya, lebih memilih melakoni hobi dengan trik backpacker. Menurut pria kelahiran Magelang, 10 Februari 1960 ini, backpacker menjadikan travelling lebih beresensi. Artinya dengan biaya yang minim, namun tetap bisa menikmati setiap tempat yang hendak dikunjungi.
Dari catatannya, ia sendiri pernah travelling dengan biaya murah sampai ke negeri Jiran Malaysia. “Tentunya berdua sama istri saya,” ujar Yani, kemarin.
Dari beberapa negara yang pernah ia kunjungi, hanya Malaysia yang berkesan. Menurutnya kultur negeri tersebut tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Mulai dari bahasa, sampai dengan kultur kehidupan masyarakat disana. “Sehingga saya benar-benar bisa menikmati itu,” terangnya.
Hal tersebut dilakukan pada awal dirinya benar-benar purna tugas. Sebenarnya sebelum purna tugas pun, dirinya kerap menyempatkan diri untuk travelling berdua bersama istrinya. Tentunya jika ada waktu serta tidak mengganggu pekerjaan.
Menurutnya, esensi dari travelling sendiri sangat banyak. Melalui travelling ia bisa mengetahui kultur di setiap tempat yang dia singgahi. Selain itu, banyak hal baru yang ia temukan. Itu, lanjutnya, sangat berguna untuk membuat pikiran tetap segar. “Kalau saat masih kerja dulu bisa lebih fresh setelah travelling, jadi kerjaan semua menjadi enteng saja,” katanya.
Selain negeri Jiran, tempat yang paling berkesan pernah ia datangi yaitu di Kalimantan. Menurutnya, kultur di Kalimantan sangat layak untuk di eksplor. Mulai dari kultur kebiasaan masyarakatnya, sampai ke bangunan dan peninggalan bersejarahnya. “Sangat banyak yang bisa dieksplor disana,” katanya.
Selama travelling ia mengaku tidak pernah sekalipun menggunakan jasa biro perjalanan. Ia pribadi berpendapat jika travelling yang terjadwal itu tidaklah nikmat. “Kita jadi kepancang jadwal, padahal kita sendiri ingin lebih menikmati tempat tersebut. Itulah saya tidak pernah menggunakan jasa biro,” katanya.
Travelling berdua dengan istri tanpa penunjuk jalan dari biro, menurutnya lebih nikmat. “Kita bisa berlama-lama, lebih detil dan biaya lebih murah tidur dimana saja oke,” katanya.
Ia sendiri mengaku masih menyimpan hasrat untuk naik kereta api mulai dari ujung barat pulang Jawa sampai ke ujung timur. Maklum, Yani ternyata penggemar kereta api. “Saya penggemar lokomotif, khususnya uap. Jadi itu kenapa saya masih ingin naik kereta dari ujung barat sampai timur,” katanya.
Karena pandemi Covid-19, ia pun menahan hasrat itu. Sembari menunggu kondisi menjadi normal kembali. “Sekarang uangnya ditabung dulu sambil nunggu kapan waktu yang pas untuk travelling lagi,” katanya.
Terkait dengan traveller sekarang, menurutnya sudah sangat baik. Artinya traveller sekarang tidak hanya keliling untuk mengisi story media sosialnya. Namun banyak dari traveller muda yang mencari esensi dari travelling dan tempat yang mereka kunjungi. “Semangat traveller muda luar biasa, nabung, setelah terkumpul langsung travelling, saya mengapresiasi itu,” ujarnya. (put/ewb/ida)