RADARSEMARANG.COM – Melalui fasilitasi Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Simpul Magelang, koran ini mendapatkan kesempatan mewawancarai orang dengan skizofrenia (ODS) bernama Reza Gumilang dan HS. Keduanya didiagnosa skizofrenia dan pulih.
Reza Gumilang menyebut dirinya orang dengan skizofrenia (ODS). Reza mengalami gejala skizofrenia di usia 18 tahun, tepatnya awal tahun 1998 silam. Ia kerap mendengar suara-suara aneh dan berhalusinasi baik secara audio maupun visual. Disitulah ia merasa putus dengan realitas. Rasionalitasnya juga hilang.
Ia sendiri bingung apa penyebab dirinya menjadi seperti itu. Yang dia ingat, pada saat itu ia jadi aktivis pelajar dan terlibat dalam kegiatan melawan rezim orde baru. Ia mendapat tekanan, baik keadaan keterasingan, melawan ketakutan, dan dicari-cari aparat. “Saya pernah mendapat intimidasi secara verbal dan psikologis semalaman. Ini menimbulkan trauma tersendiri,” tuturnya.
Dengan ketakutan yang berlebihan, ia juga mengaku dalam masa pencarian identitas diri. Di lain sisi, kondisi psikis yang kurang baik membuatnya putus sekolah dan banyak pikiran. “Waktu paranoid, saya merasa memiliki waham menjadi orang besar dan halusinasi.”
Ketertarikannya dengan dunia politik diakui sejak Juli 1996, saat itu ia kelas 3 SMP. Usia belum genap 16 tahun. Kebetulan, domisilinya pada waktu itu di dekat bundaran UGM Jogjakarta. Ia kerap ikut demo orde baru bersama mahasiswa. Tiap orasi dari perwakilan pelajar, ia menulis materi orasi sendiri dan dihafalkan di depan cermin.
“Saya terang-terangan memakai kalung dengan bandul kertas kecil dilaminating bertuliskan “Jangan Takut Bicara Politik”. Hal itulah yang seringkali membuat ibu saya dipanggil kepala sekolah,” kenangnya.
Tapi lama kelamaan, ia menunjukkan perilaku aneh. Sehingga keluarga membawa dia berobat ke psikiater Rumah Sakit Jiwa (RSJ). “Setelah periksa, dan berobat, Alhamdulillah saya mulai pulih. Saya juga mulai mencari informasi tentang penyakit ini, sehingga saya bisa berdamai dengan diri sendiri. Setidaknya bisa berjuang melawan skizofrenia,” ujarnya.
Ia beruntung bertemu dengan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Simpul Magelang. “KPSI membantu saya dalam edukasi tentang yang saya hadapi. Saya juga banyak bertemu relawan dan teman senasib,” akunya.
Dari apa yang dialami, ia memiliki kesimpulan bahwa setiap jiwa sangat berharga. Keluarga menjadi motivasi terbesarnya untuk sembuh. “Terutama kesabaran ibu saya yang sekarang di usia senjanya masih menjadi satu-satunya caregiver saya, ibu sangat telaten dan sabar. Saya ingin mandiri,” ucapnya bersemangat.
Sekarang ia ingin melakukan apa yang ia suka. Dan melakukan kegiatan positif. “Saya ingin berdikari secara ekonomi, dan menulis pengalaman saya sebagai ODS menjadi sebuah novel yang inspiratif. Basic saya itu penulis sastra,” ujarnya tersenyum.
Sementara RH, mengalami kecemasan bermula saat evaluasi belajar tahap akhir nasional (Ebtanas)—sekarang ujian nasional (UN). Tiap kali berangkat ujian, ia pusing dan muntah-muntah. Ia juga diselimuti rasa takut. Kemudian berobat ke salah satu dokter pada tahun 1995, atas dorongan orang tua. Hasil diagnosa mengalami anxiety disorder. Kata dia, dulu belum dikenal skizofrenia. “Tapi aku juga nggak teratur minum obatnya,” akunya.
Ia mengauku, tiap perasaan takut muncul, irama jantungnya tidak teratur. Padahal hasil cek laboratorium, pemeriksaan elektrokardiogram (ECG) dan CT Scan, tidak menunjukkan masalah yang serius. “Dulu kalau cemas, muka (wajah, Red) sampai kesemutan. Kaki dan tangan juga. Rasanya mau pingsan, jantung berdebar-debar nggak karuan,” tuturnya.
Setelah berobat, kondisinya jauh lebih baik. Ia bisa tidur. Meski terkadang jika kecemasannya berlebihan, ia masih sulit tidur walau sudah minum obat. Keadaan seperti ini ia rasakan sampai tahun 1998.
“Kondisi aku belum membaik, diperburuk pakai ganja. Karena waktu itu pas demo tahun 1998, pas reformasi itu pada ramai pakai ganja sampai tahun 2000. Jadi aku pakai sekitar 1 tahun 6 bulan,” ucapnya.
Dorongan ingin sembuh sangat kuat. Ia mengakui sebagai pemakai ganja kepada pasikiater. Ia pun mendapat penanganan yang tepat. Dirinya pun bisa melanjutkan kuliah sampai wisuda, kemudian mencoba bekerja di dua tempat. Tapi hanya sebentar. Ia terkena diagnosa dyspepsia, dan harus rawat inap di rumah sakit.
“Karena masih sakit-sakitan, aku disuruh buat surat pengunduran diri. Tapi setelah itu, sekitar tahun 2005, aku merasa ada yang aneh, mulai dengar suara-suara yang nggak jelas,” tambahnya.
Sampai sekarang, ia masih berobat dan mendapat pendampingan. Ia masih ingin menyembuhkan diri, kemudian baru memutuskan untuk bekerja yang menghasilkan. “Setelah itu baru menikah membentuk keluarga,” ucapnya.
Tapi saat ini, diakui belum ada hal yang memotivasi dirinya secara khusus. Wejangan dari orang tua yang diulang-ulang terus, menurutnya malah membosankan.
“Tapi aku tetap bersemangat, dekat dengan Tuhan, dengan keluarga, minum obat secara teratur, dan tetap berpikir positif. Tapi aku kan skizofrenia paranoid, jadi ya sulit sekali untuk berpikir positif kalau masih parno. Tapi aku rasa itu cuma mindset saja. Kalau terbiasa berpikir positif, lama kelamaan jadi terbiasa. Tapi sulitnya minta ampun, karena mengubah mindset nggak semudah membalikkan telapak tangan,” ungkapnya.
Ia juga memilih komunitas yang nyaman dan mau menerima kondisi ODS. Dirinya juga memiliki harapan besar, agar keluarga bersabar merawat ODGJ dan ODS, dan ia tidak ingin ada perundungan. “Untuk masyarakat sekitar, jangan mem-bully ODJG, karena nggak enak rasanya kalau di-bully,” pungkasnya.
Tak Mampu Bedakan Realitas dan Pikiran Sendiri
Ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Simpul Magelang Vida Nastiti menyebutkan skizofrenia adalah penyakit mental yang serius. Penderitanya tidak mampu membedakan atau menilai realitas (reality testing abilility/RTA) dengan baik dan pemahaman diri atau self insight yang buruk. Singkatnya, penderita sulit membedakan kenyataan dengan pikiran diri sendiri.
“Penyakit ini disebabkan oleh gangguan konsentrasi neurotransmiter otak, perubahan reseptor sel-sel otak, dan kelainan otak struktural, dan bukan karena alasan psikologis saja,” kata Vida, kemarin.
Dilihat dari rentang gejala skizofrenia, lanjut Vida, bisa ringan sampai berat. Mulanya muncul gejala negatif, dimana terjadi kesulitan seseorang untuk mengekspresikan emosi dan tidak bisa berfungsi secara normal dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.
Gejala negatif itu, di antaranya gangguan alam perasaan atau affect. Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajah yang tidak menunjukkan ekspresi. Kemudian, menarik diri dari interaksi sosial atau mengasingkan diri atau withdrawn. “Mereka menjadi tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun atau day dreaming, dan menjadi pasif atau apatis,” tuturnya.
Gejala negative lainnya, kontak emosional rendah yang membuatnya sulit diajak berbicara, berubah pendiam, juga tertutup. Lalu kehilangan dorongan kehendak atau avolition. “Akhirnya menjadi tidak inisiatif, kurang spontanitas, menjadi penonton, jadi malas, kurang tertarik pada hal-hal yang menyenangkan, termasuk tidak peduli terhadap kebersihan pribadi dan perawatan diri,” ungkapnya.
Memang gejala-gejala negative ini sekilas tidak terlihat menimbulkan gangguan. Inilah yang membuat keluarga kurang peka adanya gangguan jiwa dan terlambat membawa penderita menemui profesional kesehatan.
Sayangnya, perhatian yang kurang terhadap gejala awal membuat penderita terperosok dalam gejala yang lebih berat. Yanki, gejala positif. Di sinilah penyimpangan dari pemikiran dan fungsi yang normal terjadi. Gejala tersebut masuk dalam kategori perilaku atau psikotik. “Orang-orang dengan gejala ini kadang-kadang tidak mampu membedakan mana yang nyata dan yang tidak,” ucapnya.
Ia menyebut gejala positif meliputi, delusi atau waham yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional, sebaliknya justru inilah yang sangat diyakini oleh penderitanya tanpa bisa dibantah. Meski hal itu telah dibuktikan secara objektif oleh orang lain. “Contohnya ada yang mengaku-aku dirinya sebagai nabi, dan sebagainya.”
Dalam fase ini, penderita mengalami halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan atau stimulus. “Misalnya seseorang yang mendengar suara-suara bisikan ditelinganya, melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain, padahal tidak ada sumber suara atau penampakannya,” jelasnya.
Penderita juga akan mengalami kekacauan alam pikir. Hal ini bisa dilihat dari isi pembicaraan saat bercakap-cakap. “Biasanya, bicaranya menjadi kacau, alur pikirnya kacau dan kadang tidak rasional. Pikirannya juga penuh kecurigaan atau merasa ada orang lain atau sesuatu yang mengancam jiwanya, dia (penderita, Red) juga menyimpan permusuhan,” tandasnya.
Penderita yang mengalami kondisi seperti itu dianggap menganggu lingkungan keluarga. Inilah yang memotivasi keluarga membawa penderita berobat.
Pengurus KPSI Simpul Magelang lainnya, Sambodo Sriadi Pinilih MKep menjelaskan, pengobatan yang tidak tepat justru membuat penderita terpengaruh secara negative. Bisa depresi, menyakiti diri sendiri, bahkan melakukan upaya bunuh diri. “Bunuh diri merupakan masalah bagi sejumlah orang dengan skizofrenia. Mereka punya kecenderungan yang lebih untuk melakukan usaha bunuh diri,” tandasnya.
Perempuan yang akrab di sapa Pipin itu menyebut, orang dengan skizofrenia tidaklah melakukan kekerasan. Walaupun tidak menutup kemungkinan, beberapa dari mereka punya masalah itu. “Bila pikiran negative atau curiga yang muncul menjadi sangat kuat ditambah dorongan dari halusinasinya yang kuat tidak tertangani, maka bisa muncul kegelisahan pada penderita yang menyebabkan dorongan melakukan tindakan membahayakan bagi orang lain dan merusak lingkungan. Dan yang perlu benar-benar diingat adalah, skizofrenia memiliki tingkat kekambuhan yang sangat tinggi, pasien harus berkonsultasi kepada dokter secara berkala dan minum obat dengan dosis dan interval waktu seperti yang ditetapkan oleh dokter,” paparnya.
Ada 200 Penderita, 80 Persen Rawat Inap
Jumlah pasien skizofrenia di RSJD Amino Gondohutomo, dalam dua tahun terakhir mencapai 200-an orang. Adapun yang dirawat inap mencapai sekitar 70 sampai 80 persen. Namun demikian, jumlahnya fluktuatif terkadang 150 pasien.
Hal tersebut disampaikan Kepala Instalasi Rawat Jalan pada Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Dr Amino Gondohutomo Jateng dr Linda Kartika Sari Sp.Kj kepada RADARSEMARANG.COM.
Menurutnya, gangguan skizofrenia merupakan gangguan mental atau kejiwaan yang terjadi dalam jangka panjang. Dikatakannya, dalam kasus demikian penderitanya mengalami gangguan perasaan, pikiran maupun tingkah laku.
“Faktor pemicunya termasuk stresor yang dihadapi seseorang, ada juga genetik, gangguan di otaknya, sehingga ada ketidakseimbangan antara kadar dopamin dan serotonin dan sebagainya. Bawaan lahir juga bisa, jadi semua itu faktor risikonya,” kata dr Linda Kartika Sari yang juga psikiater di RSJD Dr Amino Gondohutomo.
Ia juga menyarankan sejumlah tindakan yang perlu dilakukan setiap keluarga terhadap penyandang skizofrenia. Salah satunya tidak menstigma, tapi menjadikan penderita itu bagian dari keluarga, dan mendukung dalam proses pengobatan. Dengan demikian keluarga harus memberikan lingkungan nyaman bagi pasien, termasuk memberikan kepercayaan diri pada pasien.
Selain keluarga, lanjutnya, masyarakat jangan mengucilkan penderita skizofrenia. Harus dianggap bagian dari masyarakat. Jangan memasungnya. “Kalau dipasung, tidak bisa berinteraksi dengan dunia luar, jadi tidak dapat mengurus diri sendiri. Langkah memasung tentu tidak manusiawi,” ujarnya.
Akibat banyaknya penderita skizofrenia, RSJD Amino Gondohutomo diakuinya, sudah banyak melakukan upaya. Salah satunya dari segi deteksi dan penyuluhan ke masyarakat, keluarga pasien, anak muda agar mengenali stres sejak awal.”Ketika ada pasien datang ke RSJD, kami layani dengan pengobatan, psikoterapi, kita berikan bekal rehabilitasi agar punya kepercayaan diri ketika keluar dari sini,” sebutnya.
dr Linda menjelaskan langkah untuk menyembuhkan atau meredakannya penderita skizofrenia kategori ringan biasanya diberikan obat-obatan dan psikoterapi. Hanya saja, untuk sembuhnya tergantung komplikasi yang pasien bawa. Untuk itu perlu melihat kompleksitas masalahnya, karena antara pasien satu dengan lainnya beda kompleksitas gejalanya.”Rata-rata perawatan disini 3 mingguan. Prioritasnya, gejala akutnya, kegelisahannya, dan agresivitasnya teratasi. Setelah itu, pasien siap untuk pulang,” jelasnya.
Begitu akan pulang, pihaknya memberikan pembekalan keterampilan, misal wanita dibekali pelatihan menjahit, laki-laki membuat lemari atau pertukangan dan sebagainya. “Jadi mereka pulang memiliki keterampilan untuk bisa dijalankan,” ungkapnya.
Tak dipungkiri, para penderita masih memiliki harapan untuk sembuh. Karena itu, untuk bisa sembuh gejalanya harus diketahui sejak awal, keluarga tinggal mendukung dalam hal pengobatan.
“Dalam pengobatan, butuh terus menerus. Sekalipun sudah lebih tenang, harus tetap diberikan obat, tapi dengan dosis yang kecil. Tujuannya supaya bisa bekerja dan tidak kambuh lagi gejala-gejalanya,” jelasnya. (put/jks/ida)