RADARSEMARANG.COM – Menjadi penyuluh keluarga berencana (PKB) atau petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) di masa pandemi covid-19 menjadi tantangan tersendiri. Namun para petugas tak kenal lelas, berjibaku memberikan pelayanan dan sosialisasi KB di desa pinggiran.
Adalah Wahdatin Hastuti Fatkhurrohmah. PLKB Kecamatan Banyubiru Kabupaten Semarang kelahiran 24 Februari 1966 ini sudah 21 tahun mengabdi. Tidak berjalan mulus. Apalagi beberapa area desa di Kecamatan Banyubiru cukup sulit dijangkau. Atas kerja kerasnya di tahun 2010 ia pernah menjadi PLKB teladan juara 1 se Kabupaten dan Provinsi hingga harapan 1 se-Indonesia. “Saya ikut jadi PLKB tahun 1995. Ini sudah ada motor enak kalau mau datang ke dusun lebih mudah. Dulu kami jalan kaki,” ungkap alumnus IAIN Walisongo Salatiga.
Titin–biasa dipanggil– memiliki pengalaman tak terlupakan. Ketika datang mensosialisasikan program KB, justru diantar ke rumah salah satu kiai. Tepatnya tahun 1999, ia lupa dusun yang ia datangi. Ada satu keluarga yang tidak tertarik KB. Padahal kondisi keluarga bukan kategori mampu, namun tetap berkeyakinan banyak anak banyak rejeki.
Titin pun ditolak. Tidak tinggal diam ia kembali lagi membujuk. “Saat saya datang, adanya bapaknya. Saya tanya anaknya berapa, nama lengkapnya siapa. Saya justru diantar ke rumah kiai yang tidak jauh rumahnya dari situ,” lanjut ibu dua anak ini.
Namun setahun berlalu, kepala rumah tanggak keluarga tersebut mendatangi kantor kecamatan mengeluh sulitnya membiayai kebutuhan lima anaknya. Terakhir meminta pasang KB untuk sang istri.
Dari kejadian tersebut, Titin menyadari lambat laun masyarakat akan paham kenapa perlu membatasi jumlah anak. Pada saat ini, PLKB tidak hanya mendorong orang untuk pasang KB. Tapi menekankan menjadi sahabat hingga solusi untuk keluarga. “Kami berkomunikasi dengan petani, buruh, hingga nelayan. Masing-masing berbeda cara pendekatannya. Terpenting kami pahami mereka dulu,” ungkapnya ketika ditemui koran ini.
Dimasa pandemi covid-19, Kabupaten Semarang tidak mengalami penurunan peserta KB. Namun pemakaian IUD, dialihkan pada suntik. Hal tersebut dilakukannya untuk mengurangi penggunaan alat di puskesmas untuk membatasi pertemuan. “Semakin tahun pastinya anggota baru harus bertambah. Angka pernikahan naik. Kami masih punya data warga yang belum pasang. Covid-19 tidak membuat jumlah pemasang menurun,” lanjutnya.
Demikian juga dengan PLKB Demak Indri Astuti. Perempuan kelahiran Bajawa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT), 28 Juni 1987 ini bersama rekan satu timnya, tetap memberikan pelayanan sosialisasi KB terhadap masyarakat di beberapa desa pinggiran. Utamanya di kawasan pesisir Kecamatan Sayung yang terdampak air rob.
Selain dibuat senang, juga diniati silaturahmi dengan masyarakat yang membutuhkan pelayanan KB. “Kami senang karena warga guyub rukun dan menerima dengan baik. Kami sosialisasi sekaligus penyerahan bantuan alat pelindung diri (APD) untuk fasilitas kesehatan dan masker di desa,” ujar Indri yang menjadi PLKB dengan penempatan di wilayah Sayung sejak September 2019.
Indri yang kini sudah menjadi PNS, membawahi wilayah penyuluhan KB di Kampung KB Desa Loireng, Sidorejo, Bulusari dan Prampelan. Meski demikian, bersama tim PLKB lainnya turut membantu memberikan pelayanan KB di desa tetangga lainnya. Seperti di Desa Sriwulan, Bedono, Surodadi dan Timbulsloko. Desa-desa tersebut merupakan kampung rob di pesisir Sayung Demak.
Banyak infrastruktur jalan yang rusak akibat tergerus air rob, menjadi tantangan. Selain itu, pemahaman sebagian kecil warga yang menjadi sasaran KB, belum sepenuhnya bisa menerima sosialisasi yang diberikan. Misalnya, ada mitos bahwa alat kontrasepsi yang dipakai gagal, bisa hamil lagi. Info itu kemudian didengar warga lain secara getok tular. Untuk itupula, dilakukan pelurusan dan pemahaman dengan menyertakan pihak pemerintah desa agar ada pemahaman yang baik di masyarakat.
“Ada pula yang masih mengaitkan dengan pemahaman agama bahwa banyak anak ikut sunah Nabi. Seperti ini sulit didekati. Kalau begitu, kami melakukan pendekatan lain. Tentu, yang belum bisa menerima menjadi pekerjaan rumah (PR),” ujarnya.
Tantangan lain, masih banyaknya pernikahan muda. Ini terjadi lantaran banyak faktor, termasuk faktor ekonomi dan anak yang banyak. Di antaranya, mereka menikah muda supaya bisa mandiri bersama keluarganya yang baru dan tidak menjadi beban orang tuanya lagi.
Tantangan alam yang membuatnya lebih sabar adalah rob. Sebenarnya cukup mengganggu pekerjaan sebagai penyuluh KB di kampung rob. Sepeda motor dinas yang dipakai cepat karatan terkena air asin sehingga kerap mogok. “Motor cepat rusak dan karatan, meski belum ada setahun,” kata Indri.
Keliling pelayanan KB di wilayah rob membuatnya ikut merasakan bagaimana sedihnya kehidupan warga setempat. Jalan putus akibat tergerus rob seperti di jalur Desa Bedono-Timbulsloko. Jembatan reyot tidak bisa dilewati. Dalam berkegiatan, untuk alat transportasi selain menggunakan motor, dibantu mobil penerangan keliling dari DinpermadesP2KB Demak. Tim PLKB juga didampingi petugas dari Dinpermades. “Pak Ahlam Kamal biasanya ikut mendampingi ke desa-desa. Kami keliling mengingatkan warga untuk tetap menjalani protokol kesehatan saat pandemi seperti ini. Selain itu diingatkan tidak lupa ber-KB,” ujar Indri yang pernah menjadi reporter televisi swasta selama 7 tahun ini.
Menurutnya, sepengetahuannya paling banyak warga memakai alat kontrasepsi implant. Biasanya, habis pakai KB suntik ke implant dianggap cocok. Adapula, yang pakai IUD atau spiral dianggap lebih cocok. Berdasarkan pengalaman yang dijalani sebagai PLKB, dengan ber-KB dinilai bisa menekan angka kelahiran.
Sasaran KB di desa-desa, lanjut dia, rata-rata bekerja sebagai petani tambak, sawah maupun pekerja pabrik. Ada pengalaman menarik, ketika melayani akseptor KB seorang ibu yang berusia 40 tahunan. Namun anaknya yang berusia 21 tahunan bareng-bareng ber-KB. Antara ibu dan anak sama-sama memiliki anak meski tergolong masih muda. Ada pula, pengalaman ketika sosialisasi KB ada warga yang punya dua istri. Istri pertama sudah beranak 4 dan istri kedua beranak 7.
Selain menyasar suami istri atau yang sudah berkeluarga, pihaknya menyasar para remaja di desa-desa. “Tujuannya supaya bisa menjadi generasi mandiri dan paham tentang KB. Ini agar mereka bisa berpikir apa yang bisa dilakukan untuk lingkungannya,” katanya.
Kerap Disangka Minta Sumbangan
Sebagai penyuluh KB lapangan, Dulgani, 37, telah terbiasa membicarakan hal seksual di depan para wanita. Apalagi sejak 2007 telah berkecimpung di dunia penyuluhan KB dan dipercaya menjadi Ketua Ikatan Penyuluh KB Indonesia (IPeKB) Cabang Kabupaten Batang.
Semasa pandemi korona, kegiatan lapangan sangat diminimalisir. Sosialisasi dilakukan melalui daring, materi penyuluhan share ke semua medsos, baik grup WhatsApp, Instagram, Facebook dan lainnya. Materi tersebut ditujukan untuk para kader IPeKB di desa-desa. Kader-kader tersebut yang membagi dan menjelaskan kembali materinya melalui grup daring bersama warga.
Warga yang tidak memiliki ponsel pintar akan disosialisasikan secara langsung. Para kader yang mensosialisasikan materi tersebut tentunya menerapkan protokol kesehatan. Menghindari penularan korona. Sementara untuk pelayanan KB juga dilakukan sesuai protokol kesehatan, dengan peserta sehari maksimal 5 akseptor.
“Unik juga sih IPeKB cowok. Kalau di Batang rata-rata malah cowok. Itu menjadi tantangan tersendiri. Kegiatan di lapangan banyak senangnya sih, karena bisa bertemu banyak orang dari berbagai lini di masyarakat,” ujar Dulgani pada RADARSEMARANG.COM, Sabtu (27/6).
Saat ini ia baru satu bulan dipercaya memegang tiga desa di Kecamatan Bandar. Yaitu Desa Kluwih, Toso, dan Tumbreb. Fokusnya melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh masyarakat. Sebelumnya ia pernah memegang wilayah di Kecamatan Subah, Warungasem dan Banyuputih. Suka-duka tentunya banyak dirasakan, tak mau ambil pusing semuanya menjadi tantangan yang harus dipecahkan.
“Kalau dulu dari senior-senior, saat sosialisasi ada yang sampai membawa celurit. Namun kalau saat ini kebanyakan masyarakat sudah sadar akan pentingnya KB. Ada beberapa daerah yang kami anggap daerah hijau, masih memegang teguh pepatah banyak anak banyak rezeki,” imbuhnya.
Pihaknya mengadvokasi warga dari daerah hijau itu melalui para tokoh agama dan tokoh masyarakat di sana. Menghadapi warga yang kekeh menggunakan dalil-dalil, ia langsung mengadvokasinya melalui tokoh agama yang diikuti. Agar tokoh agama tersebut bisa menyelipkan bab kontrasepsi di pengajiannya.
Dulgani sering bertemu orang yang menggunakan alasan agama untuk menolak KB. Mereka menggunakan berbagai dalil dari Al-Qur’an dan hadis untuk menolak. Sedangkan pihaknya mengaku belum menguasai tentang dalil-dalil yang dibicarakan. Ia hanya berpedoman pada imbauan MUI yang lebih kompeten.
“Iki keluarga-keluarga ku dewe mas, aku seng makani, aku seng mbiayai, aku kabeh seng ngrawat anak-anak. Rejeki datangnya dari Allah. Omongan-omongan seperti itu yang menjadi tantangan kami, padahal anaknya sudah delapan. Sementara kondisi ekonominya masuk kategori pra sejahtera,” curhatnya.
Pembicaraan penyuluh KB tidak melulu mengenai alat kontrasepsi, melainkan sosialisasi program ketahanan keluarga. Membahas dari remaja hingga memiliki keturunan yang baik. Agar mereka tidak menikah muda. Sebelum pandemi, Dulgani hampir setiap hari turun ke lapangan. Ia selalu merasa trenyuh melihat banyaknya warga pedesaan yang memilih alat kontrasepsi yang kurang efektif. Baik dari segi kantong maupun intensitas.
Sebelum terjun ke dunia penyuluhan KB, Dulgani sempat bekerja sebagai tukang tagih. Ia biasa berkomunikasi dengan orang karena terbiasa. Namun ia tetap canggung prihal membicarakan alat kontrasepsi di hadapan wanita.
“Kalau ada warga yang tertutup, kami bawa kader perempuan untuk ikut menjelaskan. Karena perbincangan kami memang seputar seksual. Kami gunakan juga alat peraga 3D, itu membuat mereka lebih paham,” pungkasnya.
Sementara itu, PLKB Kabupaten Pekalongan, Woro Isnaeni, 54, kerap disangka meminta sumbangan saat melakukan pendataan KB dari rumah ke rumah. Kisah itu dialami Woro ketika ia bertugas di Jayapura, Papua, sekitar 26 tahun silam sebelum ia ditugaskan di Kabupaten Pekalongan. Tak hanya sekali, kisah itu ia alami berkali-kali di Bumi Cenderawasih itu. “Begitu mengetuk pintu, tuan rumah langsung menolak saya. Dikira saya meminta sumbangan. Padahal saat itu saya baru akan melakukan pendataan,” tutur wanita kelahiran Tegal ini.
Karena tak ingin terjadi keributan, Woro memilih diam dan bergeser ke rumah lain. Namun ia tak menyerah, keesokan harinya ia kembali melakukan pendekatan. Cara yang ia tempuh dengan meminta pendampingan kader KB.
“Waktu itu kami sudah punya kader KB warga sekitar. Biasanya saya meminta tolong mereka mendampingi saya untuk kembali ke rumah-rumah yang tak berhasil saya data. Akhirnya berhasil saya data,” jelasnya.
Bagi Woro, hal-hal semacam itu adalah tantangan. Menurutnya, menjadi PLKB memang butuh kesabaran dan lapang dada. “Tak pernah sedikitpun saya marah. Saya justru menikmati fase-fase itu. Apalagi menjadi PLKB adalah tugas,” ucapnya.
Empat tahun di Papua, Woro dipindahtugaskan ke Kabupaten Pekalongan pada tahun 2000. Di kabupaten ini, tugasnya berpindah dari kecamatan ke kecamatan. Dari Tirto, Siwalan, dan kini di Kedungwuni.
“Tantangannya sama saja. Di Pekalongan, meski tak pernah disangka meminta sumbangan, saya tetap harus sabar menyosialisaikan KB. Sebab, pernah saya jumpai istri menolak KB namun suaminya menganjurkan. Begitu sebaliknya. Jadi memang harus sabar,” ujarnya.
Pengalaman selama 26 tahun menjadi PLKB membekas di benak Woro. Dari pengalaman-pengalaman tersebut, ia mengaku memiliki banyak cara untuk berkomunikasi dan pendekatan dengan setiap orang. “Saya mesti memahami karakter tiap orang. Termasuk saat memberi penyuluhan KB. Harus punya pendekatan yang baik,” tutupnya. (ria/hib/yan/nra/ida)