RADARSEMARANG.COM – Populer. Tampan. Bakat besar. Skill yang menawan. Dengan banyak sorotan publik membuat seorang atlet muda rawan terkena star syndrome (sindrom bintang). Mereka merasa menjadi superstar namun pada kenyataannya belum mencapai fase keemasan dalam karirnya.
Hal ini lah yang coba diredam setiap klub agar para pemain tersebut dapat menjalani fase karir dan berkembang menjadi pemain bintang pada masanya.
Psikolog olahraga yang juga akademisi Universitas Katolik Soegijapranata Ferdinand Hindiarto menuturkan star syndrome merupakan gejala ketika seseorang mendefinisikan diri sebagai bintang. Padahal secara realitas, prestasi yang dihasilkan belum dapat membuat mereka dikatakan berada pada puncak karir.
Hal tersebut yang dapat membuat seorang atlet khususnya yang berusia muda menjadi lengah. Sehingga melupakan tujuan utamanya untuk menjadi pemain berkelas. Karena terus berfokus memikirkan hal yang tidak penting. Seperti menjaga penampilan agar tetap menawan di hadapan para penggemarnya.
“Jadi secara realitas itu jauh beda. Dia baru mulai awal karir dan berprestasi namun sudah mendapat banyak sorotan publik. Kalau tidak dikelola dengan baik, bisa saja mereka terlena dengan perhatian tersebut dan melupakan tujuan untuk terus meng-upgrade skill dan kemampuan,” ujarnya.
Dijelaskan, ada banyak faktor yang membuat pemain atau atlet rawan terkena star syndrome. Salah satunya faktor lingkungan. Menurutnya lingkungan memberi andil besar dalam pembentukan karakter dari sang atlet. Seringkali, media terlalu banyak menyoroti individu atlet yang baru berprestasi. Sehingga muncul hegemoni publik yang ramai menjadi penggemar dadakan. Akibatnya sang atlet merasa bangga dan puas dengan prestasi saat ini dan enggan meng-upgrade diri. Selain itu ada pula faktor dari dalam diri sang atlet. Dengan memiliki personality yang over dan mudah menilai diri terlalu tinggi semakin memudahkan mereka terkena star syndrome.
“Jika atletnya memiliki kepribadian over, ditambah mendapat banyak sorotan publik, sudah pasti itu bisa terkena star syndrome dengan tingkat akut. Dan itu berbahaya untuk karir sang atlet,” lanjutnya.
Dia menambahkan, butuh penanganan khusus untuk mengembalikan atlet agar terbebas dari star syndrome. Mereka harus disadarkan kembali dengan realita agar tidak semakin lupa diri. Di sinilah peran pelatih sangat dibutuhkan. Setiap pelatih sudah sewajarnya menguasai ilmu psikologi olahraga. Sehingga mereka dapat mengetahui dan menjaga mental para atletnya.
“Kalau memang pelatih tidak bisa, setidaknya mereka memiliki pendamping psikolog olahraga. Jadi mereka mengetahui cara menangani pemain yang bermasalah tersebut,” tuturnya.
Nantinya sang pelatih dapat menerapkan sistem refleksi. Atlet dapat diajak kembali untuk melihat prestasi yang mereka capai. Apakah sudah sesuai atau bisa di-upgrade kembali. Harapannya atlet dapat menyadari bahwa prestasinya belum cukup. Dan berlatih kembali untuk mencapai performa terbaik. Selain itu pelatih juga dapat mengajak diskusi atlet secara rutin. Sehingga saling ada keterbukaan. Pelatih dapat memberikan saran dan motivasi positif agar atlet dapat berkembang secara maksimal.
“Lagipula untuk atlet muda mereka kan biasanya remaja. Jadi masih dalam fase pembentukan karakter. Makanya peran pelatih penting untuk membantu atlet menemukan karakternya. Sehingga mereka tetap berada di jalur yang benar dan tidak terlena dengan ketenaran sesaat,” lanjutnya.
Meskipun begitu Ferdinand menambahkan tidak selamanya star syndrome berdampak negatif bagi atlet. Masih ada sisi positifnya. Salah satunya mengenai kepercayaan diri. Star syndrome memang membuat kepercayaan diri atlet menjadi lebih tinggi. Dan hal tersebut penting untuk meningkatkan prestasi. Hanya saja harus tetap dikelola dengan baik. Sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan prestasi, bukan sebaliknya digunakan untuk mencari ketenaran dan lengah terhadap karir dan kewajiban sebagai seorang atlet.
“Intinya sederhana. Percaya diri itu penting. Tapi kalau terlalu tinggi menjadi star syndrome juga tidak baik. Begitu sebaliknya menjadi rendah diri dan tidak percaya kemampuan diri juga tidak baik. Jadi secukupnya. Niscaya jika tetap rendah hati dan konstan berprestasi, seorang atlet akan dapat menemukan fase keemasannya pada waktunya sendiri,” pungkasnya.
Ingatkan Tujuan Awal Berkarir
PSIS Semarang memiliki banyak pemain muda. Di antaranya Tegar Infantrie. Tampan, berbakat dan memiliki skill yang mumpuni membuatnya memiliki banyak penggemar sendiri. Ia tidak memungkiri banyak godaan yang menghampiri selama bermain sepak bola. Dengan banyak sorotan yang tertuju padanya, terkadang membuatnya merasa bangga dan bahagia. Namun ia menyadari perasaan tersebut dapat membuatnya lengah. Sehingga hanya berfokus atas perhatian para penggemar. Bukan lagi fokus pada pertandingan dan latihan.
“Tidak bisa dipungkiri sorotan dari publik memang memberi pengaruh dalam diri saya. Tapi sebisa mungkin saya tetap fokus dengan tujuan saya bermain sepak bola,” ujarnya.
Untuk mencegah star syndrome dirinya mengaku lebih banyak mendekatkan diri ke Tuhan dengan rajin beribadah. Selain itu tetap mengingatkan diri sendiri bahwa menjadi sukses perlu terus memperbaiki fisik dan mental. Sehingga kerja keras merupakan kunci utama agar bisa sukses dan meraih puncak karir.
“Ingat aja apa yang jadi tujuan awal saya bermain di PSIS. Setelah ingat saya akan langsung rajin berlatih. Dan jika melakukan kesalahan, saya akan berusaha belajar dan bangkit dari hal tersebut, ” ujarnya.
Tak jauh beda dengan Septian David Maulana. Meskipun berstatus wonder kid dan banyak dikagumi penggemar, tidak membuat pemain 23 tahun ini besar kepala.
Baginya julukan tersebut justru membuatnya termotivasi untuk bermain lebih baik lagi. Sehingga dapat memberikan kemampuan terbaik bagi klub yang sudah menjadi idolanya sejak kecil tersebut.
“Justru ini menjadi tantangan agar dapat menjadi lebih baik dan memberikan dampak positif. Tidak hanya bagi saya, namun juga seluruh orang-orang di sekitar saya,” pungkasnya. (akm/lis/bas)
Bersambung: Senior dan Pelatih, Kunci Tekan Ego Pemain