RADARSEMARANG.COM – Perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019 ternyata memicu peningkatan permohonan dispensasi kawin di Pengadilan Agama. Sebab, dalam UU Perkawinan yang baru mensyaratkan usia perkawinan laki-laki dan perempuan dari minimal 17 tahun menjadi 19 tahun.
SEBUT saja Madi. Usianya masih 17 tahun. Dia mendatangi Pengadilan Agama Semarang untuk mengajukan permohonan dispensasi kawin. Ia datang bersama calon istrinya, sebut saja Yati. Keduanya terpaksa menikah dini, karena takut dosa. Keduanya sudah berpacaran sejak SMP. “Saya sudah bulat untuk menikahinya. Saya kira usia 17 tahun tidak masalah. Tapi, ternyata UU yang baru minimal harus 19 tahun. Akhirnya, saya mengurus dispensasi kawin ke sini (Pengadilan Agama),” kata Madi. Di website Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Agama Semarang, perkara yang diajukan Madi masih dalam tahap persidangan. “Mudah-mudahan dikabulkan sama Pak Hakim,” harapnya.
Ketua Pengadilan Agama Kota Semarang Anis Fuadz mengakui, sejak diberlakukan UU Perkawinan, permintaan dispensasi kawin meningkat dua kali lipat. “Bulan November ada 30 pengajuan, sedangkan Desember ada 19 pengajuan. Padahal sebelumnya hanya 6-7 pengajuan,” ujarnya kepada RADARSEMARANG.COM.
Dikatakan, hamil sebelum nikah menjadi alasan paling banyak bagi pasangan yang mengajukan nikah dini. Pun dengan permohonan yang dikabulkan PA, selama ini kebanyakan karena mendesak yaitu hamil. “Yang dikabulkan karena alasan mendesak guna melindungi si anak, tapi kalau tidak ya bisa ditunda,” imbuhnya.
Rata-rata yang mengajukan minimal berusia 14 tahun. Sedangkan setelah perubahan UU tersebut, rata-rata yang mengajukan usia 17 tahun. Dampak dari pernikahan dini ini biasanya berujung ke perceraian.
Anis mengatakan, lingkaran perceraian pernikahan dini diakibatkan oleh faktor ekonomi dan pendidikan. Evaluasi data yang masuk PA, kasus perceraian pasangan suami istri yang hanya lulusan SD mendominasi, mencapai 40-50 persen. Sedangkan pasutri lulusan SMP sekitar 30 persen dan lulusan SMA sekitar 20 persen.
“Artinya, semakin rendah pendidikan pasangan suami istri, cenderung mudah bercerai. Hal itu juga bisa diakibatkan karena pernikahan dini yang notabene mereka menikah karena pendidikan rendah. Kalau tidak melanjutkan sekolah dan sudah kerja mau apa? Ya pada nikah di usia dini,” katanya.
Selain itu, ekonomi juga menjadi faktor terbesar kasus perceraian. Kebanyakan yang digugat adalah mereka yang memiliki pekerjaan buruh dan serabutan. Ketidaktetapan pekerjaan yang dimiliki berakibat gugatan cerai yang diajukan. “Karena tidak punya pekerjaan tetap, 10 tahun terakhir ini paling banyak adalah gugatan cerai, kebanyakan karena faktor ekonomi,” ujarnya.
Padahal, pendidikan pranikah juga telah diberikan oleh Kantor Urusan Agama (KUA). Namun hal tersebut, menurut Anis, tidak efektif mengingat masih banyaknya pengajuan dispensasi kawin. Pendidikan pranikah tersebut tidak memiliki banyak pengaruh, justru pendidikan sekolah dan pendidikan agamalah yang paling efektif. “Sehingga jalur agama harus ditanamkan sejak dini. Agamalah yang berperan. Karena satu-satunya yang bisa membentengi generasi milenial sekarang ya hanya agama,” terangnya.
Bagi mereka yang mengajukan dispensasi kawin, nikah hanya dianggap seperti formalitas. Biasanya hanya untuk menutupi rasa malu keluarga, untuk menunjukkan si anak memiliki bapak yang jelas. Sehingga kesakralan pernikahan tidak jelas, karena hanya mementingkan persyaratan nikah saja. “Ujung-ujungnya bakal bercerai, karena esensi nikah dia nggak paham. Dia tidak berpikir jauh punya anak, tapi masih kecil nantinya gimana, ah yang penting nikah dulu untuk menutup aib. Ke depannya mereka tidak berikir sampai sejauh itu. Hanya emosional sesaat saja,” tandasnya.
Dijelaskan, dispensasi kawin tidak hanya memeriksa calon pengantin, namun juga orangtua dan calon mertua. Hal tersebut untuk mengetahui seberapa matang kesiapan pernikahan yang akan dilakukan. “Sehingga orangtua dan mertua harus juga bertanggungjawab atas rumah tangga anaknya, karena melalui dispensasi kawin mereka belum matang secara berpikir, hanya mengandalkan emosionalitas tanpa memedulikan rasionalitas,” ujarnya.
Tak hanya di Kota Semarang, sejak tiga bulan terakhir pernikahan anak di bawah umur di Kabupaten Kendal juga meningkat tajam. Peningkatan juga diduga akibat perubahan UU Perkawinan yang mensyaratkan usia perkawinan laki dan perempuan minimal 17 tahun menjadi 19 tahun.
Data di Pengadilan Agama (PA) Kendal, pengajuan dispensasi kawin di Kendal sebanyak 99 kasus pasangan menikah di bawah umur. Sebanyak 75 kasus di antaranya telah diputus dan dikabulkan oleh hakim PA Kendal. Sedangkan 24 kasus masih dalam proses penyelesaian.
Wakil Panitera PA Kendal Muhammad Muchlis menjelaskan peningkatan pengajuan dispensasi kawin ini terjadi sejak September lalu. Yakni, pasca revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019 yang disahkan. “Pengajuan lantaran rata-rata masyarakat belum mengetahui usia batas minimal perkawinan yang baru. Sementara kedua keluarga mempelai sudah menyepakati hari dan tanggal pernikahan,” katanya.
Rata-rata pihak keluarga baru mengetahui setelah ada permohonan ijab kabul pernikahan di KUA. Di mana kedua orang tua harus mengajukan dispensasi kawin ke KUA bagi anaknya yang masih berusia di bawah 19 tahun. “Rata-rata orang tua calon mempelai itu masih mengacu pada UU lama yakni telah berusia 17 tahun dan telah memiliki KTP,” tuturnya.
Namun ada juga beberapa kasus permohonan dispensasi kawin lantaran faktor “kecelakaan.” Seperti si calon mempelai perempuan hamil di luar nikah, sementara usia belum memenuhi batas minimal pernikahan. “Ya ada, tapi tidak banyak. Terbanyak memang karena tidak mengetahui usia minimal perkawinan sesuai UU Nomor 16 Tahun 2019,” tambahnya.
Dari data di PA Kendal, sebanyak 99 permohonan dispensasi lawon merupakan data dari Januari-November. Lonjakan terjadi sejak September (10 kasus), Oktober (11 kasus) dan November (39 kasus). “Jadi, dari Januari-Agustus itu rata-rata dispensasi kawin kisaran 4-5 kasus permohonan. Sedangkan Desember ini kami prediksi lebih banyak lagi,” tandasnya.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Kendal Ali Martin mengatakan, jika undang-undang tersebut sebenarnya telah disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di mana usia anak adalah sampai 18 tahun. “Sehingga kami rasa sudah tepat jika usia minimal pernikahan adalah 19 tahun. Sebab, jika usia 18 tahun maka bisa dikenakan pelanggaran UU Perlindungan Anak,” katanya.
Selain itu, batas usia minimal perkawinan 19 tahun tidak lain bertujuan untuk melindungi kedua calaon mempelai. Yakni, agar mereka sama-sama dewasa, matang, bertanggung jawab dan bisa menyelesaikan permasalahan dalam keluarga. “Sebab, banyak kasus perceraian anak di bawah usia, mereka secara emosional dianggap belum dewasa dan belum bisa menentukan sikap. Artinya, usia di bawah 19 tahun itu dianggap labil, sehingga dikhawatirkan rumah tangganya tidak harmonis dan berujung pada perceraian,” jelasnya.
Untuk itu, pihaknya meminta kepada dinas terkait maupun PA Kendal untuk aktif melakukan sosialisasi UU Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan. Sehingga masyarakat terutama generasi muda bisa paham. “Kami Komnas Anak jika diminta akan dengan senang hati membantu sosialisasi tersebut,” ujarnya.
Bagaimana di Kabupaten Demak? Ternyata perkara dispensasi kawin muda di Demak tercatat menempati posisi ketiga setelah cerai talak dan cerai gugat. Berdasarkan data Kantor Pengadilan Agama Kelas 1 B Demak disebutkan, dalam 2019 ini, dari 34 jenis perkara yang ditangani PA, maka perkara tertinggi atau terbanyak adalah cerai gugat dengan jumlah 1.659 perkara. Kemudian, disusul cerai talak dengan 637 perkara serta dispensasi kawin dengan 104 perkara (pemohon). Setelah itu, lain-lain 19 perkara, izin poligami ada 14 perkara, wali adhol 13 perkara, isbath nikah 12 perkara, kewarisan 10 perkara, perwalian 9 perkara, harta bersama 5 perkara, asal usul anak 4 perkara, penetapan ahli waris 4 perkara dan perkara lainnya.
Ketua PA Demak H Rohmat Ariadi melalui Panitera Riyanto mengungkapkan, banyak faktor yang mempengaruhi mengapa dispensasi kawin diajukan. Di antaranya, alasan anak yang diajukan dispensasi kawin sudah pacaran dan sudah dilamar atau menjalani prosesi lamaran. Apalagi, orang tua juga telanjur menentukan tanggal pernikahan dengan hitung-hitungan Jawa. Selain itu, secara fisik sudah dewasa meski dari sisi usia masih di bawah umur. Kondisi demikian, bila tidak segera dikawinkan akan dianggap kasep (terlambat nikah).
Faktor lain, lanjut dia, lantaran mengalami hamil sebelum menikah, serta ada pula yang sengaja dijodohkan orangtuanya. “Masalah dijodohkan ini masih banyak terjadi, utamanya di pedesaan,”ujarnya.
Alasan-alasan tersebut yang pada saatnya memungkinkan untuk memperoleh izin dispensasi kawin dari pengadilan. “Dispensasi itu putusan sepihak. Sebab, bukan perkara gugatan. Ini berbeda dengan gugat cerai,” kata Riyanto.
Riyanto menambahkan, latarbelakang pendidikan mereka yang diajukan dispensasi kawin adalah lulusan SMP. Banyak yang sudah berkerja di pabrik pabrik. Adapun usia paling muda menikah yang ditangani PA Demak adalah 14 tahun. Sedangkan rata rata yang dapat dispensasi usia 15 tahun. “Saat memutuskan diterimanya dispenasi, maka majelis hakim biasanya berpesan kepada mereka agar jangan mempermainkan pernikahan. Karena itu, seorang suami tetap bertanggungjawab dalam keberlangsungan pernikahan tersebut,”katanya. Meski demikian, rata rata mereka yang dapat dispensasi secara ekonomi masih dalam tanggungan orang tuanya.
Dalam catatan PA Demak, dispensasi kawin muda tersebut yang berdampak pada perceraian tidaklah banyak. “Yang berdampak cerai sedikit,”kata Riyanto. Perkara perceraian yang banyak terjadi di Demak justru biasanya dipicu masalah sepele, termasuk karena salah satu pasangan punya wanita idaman lain (WIL) atau pria idaman lain (PIL). “Kalau perceraian ini banyak diajukan para perantau atau mereka yang bekerja di luar daerah. Karena sudah tidak ada kecocokan kemudian cerai. Ada yang punya pacar lagi. Bahkan, ada yang ngajukan cerai itu didampingi pacarnya,”ujarnya. (ifa/bud/hib/aro/ap)