RADARSEMARANG.COM, Banyak yang kurang mempedulikan, jika wilayah Sendangguwo, Tembalang memiliki banyak peninggalan situs bersejarah. Situs yang bisa disulap menjadi tempat wisata edukatif. Kini bagaimana kondisinya?
SEDIKITNYA ada lima titik situs kuno di Sendangguwo. Salah satunya adalah situs Punden Mbah Guwo. Punden tersebut berupa bukit kecil. Di atasnya ada batu lumpang yang cukup besar. Suasana di sana cukup sejuk. Karena batu lumpang itu diapit dua pohon bolu yang rindang.
Selama ini beredar informasi jika batu tersebut difungsikan sebagai tempat menumbuk tanaman obat-obatan tradisional. Namun, hal itu dibantah oleh Sujian, sesepuh Sendangguwo. “Lumpang itu peninggalan umat Hindu. Persepsi bahwa itu untuk menumbuk obat-obatan adalah salah,” ucap sesepuh yang sering dipanggil Mbah Gino tersebut pada RADARSEMARANG.COM.
Di usianya yang sudah melebihi 70 tahun, Mbah Gino masih lancar bercerita pada koran ini. Tentang sejarah Sendangguwo yang ternyata punya banyak cerita bersejarah. Ia masih ingat betul, kisah jika lumpang itu pernah mau diambil orang, dengan cara dicongkel. Betul, posisi batu itu sekarang sedikit miring. “Tapi yang mau mengambil lumpang itu tidak kuat. Air di lumpang itu, kalau ada orang yang susah memiliki keturunan, bisa memiliki keturunan sababiyah berkah dari air tersebut. Orang sakit bisa sembuh atas izin Allah melalui air di lumpang itu,” timpalnya.
Pengambilan air itu dilakukan setiap setahun sekali. Bertepatan pada bulan Suro, penanggalan Jawa. Bersamaan dengan prosesi nyadran dan pentas wayang pada malam harinya. Saat ini, setiap ada orang yang mempunyai hajat pernikahan, mereka berdoa di sana. “Pasti di sana, banyak orang membawa ingkung ayam, pisang raja, dan kolak pisang,” kata kakek berambut putih tersebut.
Pada zaman dahulu, lumpang itu dipercaya bisa mengeluarkan seperangkat kotak wayang bersama gamelannya. Menurutnya bagi yang ingin meminjamnya untuk pentas, harus membawa bunga, juga pisang raja sebagai sesajen. “Pada zaman dulu, kotak wayang bersama gamelan bisa muncul dari gua dari bawah lumpang itu. Gua itu hanya dapat dilihat oleh orang-orang dengan kawicaksanan,” imbuhnya.
Gua itu memiliki pintu di arah utara bukit atau di belakang pintu utama. Satu-satunya akses menuju Punden Mbah Guwo. Jelasnya, gua itu bisa tembus sampai Kadilangu, Demak. Saat ini, seperangkat pementasan wayang itu sudah tidak pernah keluar kembali. “Kotak wayang bersama gamelan itu terakhir keluar pada tahun 1800-an. Hal itu karena satu kempul gamelan ditukar oleh orang Kalicari, pada masa itu,” ujar Mbah Gino.
Selain situs kuno Punden Mbah Guwo, situs kuno lain yang ada di Sendangguwo adalah temuan boto wali di Makam Padukuhan, petilasan Nyi Rebon, watu mele yang sudah terkubur di lantai Masjid Al-Hikmah Sendangguwo, dan batu yoni di tepi salah satu perempatan jalan.
“Boto wali yang ada di Makam Padukuhan, itu dijadikan rebutan oleh masyarakat, untuk dijadikan pondasi bangunan. Karena itu peninggalannya wali, masjid di sekitar sini banyak yang menggunakan boto wali itu,” ucapnya.
Selain itu, sesuai namanya, Sendangguwo dahulu memiliki sumber mata air yang bernama Sendang Njluwik. Saat ini, sendangnya sudah tidak ada, karena telah menjadi rumah warga. “Di masa saat masih bernama Desa Terguwo, disana ada sendang, miliknya Pademangan. Di barat Sendang, di sini Terguwo, akhirnya dinamakan Desa Sendangguwo,” ujar Mbah Gino.
Sementara itu, masyarakat sekitar sangat mendukung pelestarian situs-situs di Sendangguwo. Terbukti dari kondisi situs-situs yang selalu terlihat bersih, masyarakat dengan sukarela membersihkannya setiap hari. Salah satu warga adalah Samonah, ia selalu membersihkan kompleks Makam Padukuhan. “Kami tidak ada yang meminta. Setiap hari, kami bergantian membersihkan makam sini,” ujar Samonah.
Ketua Paguyuban Nguri-Nguri Budoyo Nyadran Sendangguwo juga menjelaskan hal demikian. Menurut pria yang tidak mau disebutkan namanya itu, situs-situs di Sendangguwo memerlukan perhatian dari berbagai pihak. Bersama warga sekitar, pihaknya hanya bisa menjaga situs-situs kuno dari kehancuran. “Sekarang sudah banyak pendatang di Sendangguwo. Mereka secara perlahan mengikuti budaya yang ada di sini. Untuk ikut menjaga situs budaya itu,” ujarnya.
Lurah Sendangguwo, Agustinus Kristyono sebagai pemangku kebijakan di sana juga terus berusaha menjaga situs-situs itu. Menurutnya, situs itu harus dilakukan penelitian secara ilmiah, untuk mengetahui sejarah masa lalu yang lebih rinci. “Situs-situs kuno itu nanti akan kami kembangkan menjadi objek wisata sejarah, di Kelurahan Sendangguwo,” ujarnya. (yan/ida)