29.2 C
Semarang
Sunday, 22 June 2025

Tak Merasakan Fasilitas Layaknya Guru Sekolah Formal

Pengabdian Guru Homeschooling

Artikel Lain

Nanank Fahrudin. (EKO WAHYU BUDIYANTO/RADARSEMARANG.COM)
Nanank Fahrudin. (EKO WAHYU BUDIYANTO/RADARSEMARANG.COM)

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Tidak ada satu pun tokoh, pejabat atau orang sukses negeri ini yang berhasil tanpa didikan seorang guru. Selain guru sekolah formal, ada juga guru sekolah nonformal. Salah satunya guru homeschooling. Tugas mereka tak kalah beratnya. Karena rata-rata peserta didik yang diajar memiliki banyak kesibukan ataupun berkebutuhan khusus.

 

RADARSEMARANG.COM,  SUARA bel sekolah, suasana kantin maupun pelajaran olahraga, bagi artis cilik Kota Semarang seperti Patrick Milligan dan Shalimar Veda, terasa sangat asing. Gambaran suasana sekolah hanya bisa mereka temukan di Youtube. Tak ada pula sebutan teman sekelas, karena satu pun mereka tak punya. Maklum saja, keduanya menempuh pendidikan dengan homeschooling. Beruntung keduanya memiliki guru homeschooling yang menyenangkan seperti Astri Kumala.

Tak mudah menjadi guru homeschooling. Suasana belajar yang sepi, menuntut para guru untuk bisa bersikap menyenangkan. Pun demikian dengan Astri Kumala. Dua tahun menjadi guru Bahasa Indonesia di homeschooling Primagama Semarang, membuatnya harus ekstra bekerja dua kali lipat dari guru sekolah formal. Ia harus memutar otak supaya siswa yang memiliki segudang aktivitas seperti Patrick dan Shalimar bisa terkesan dengan waktu belajar yang terlampau singkat. Salah satu hal yang Astri lakukan adalah dengan menciptakan interaksi yang intim dan tidak kaku. Karena, menurutnya, anak-anak seperti mereka lebih membutuhkan sahabat yang hangat daripada guru yang mendikte.

“Mereka sudah banyak dikuras tenaganya di luar,  jadi janganlah saya membebani mereka dengan kegiatan belajar yang menjenuhkan,” ungkap putri bungsu dari tiga bersaudara ini kepada RADARSEMARANG.COM, Kamis (21/11).

Astri Kumala. (NORMA SARI YULIANINGRUM/RADARSEMARANG.COM)
Astri Kumala. (NORMA SARI YULIANINGRUM/RADARSEMARANG.COM)

Mungkin bagi sebagian orang lebih mudah mengajar satu siswa daripada banyak siswa sekaligus. Tapi tidak demikian bagi Astri. Meski hanya mengajar sedikit siswa, namun karakter siswa homeschooling tak pernah sesederhana siswa-siswa di sekolah formal.  Setiap hari, Astri harus dihadapkan oleh berbagai karakter yang menurutnya sama sekali tak mudah ditaklukkan.

Pernah suatu hari helm milik Astri disembunyikan oleh salah seorang siswa. Hal itu terjadi lantaran siswa tersebut geram dan cemburu terhadap siswa lain. Bagi sebagian siswa, perhatian yang Astri berikan untuk mereka terasa tak ternilai harganya. Maka, saat hadir siswa baru, siswa lama kerap merasa bahwa seluruh perhatian Astri direnggut darinya.

Itu bukan satu-satunya kejadian yang menguras emosi Astri. Gadis kelahiran Kendal, 18 Agustus 1993 ini juga kerap mendapati pengalaman pahit saat mengajar di kelompok belajar. Memiliki latar belakang strata ekonomi yang tinggi membuat sekumpulan siswa sering tak menghargai keberadaan Astri sebagai guru. Dengan santainya mereka bermain kartu bahkan meninggalkan kelas saat pelajaran berlangsung. Jika sudah seperti ini, maka Astri tak lagi jadi sahabat yang hangat. Ia akan bersikap tegas dengan mengunci pintu kelas dan menegur mereka habis-habisan.

Astri mengaku jika ditulis menjadi buku, maka tak akan cukup 100 halaman untuk mengisahkan suka dukanya sebagai guru homeschooling. Namun, sebanyak apapun hal tak mengenakkan yang dilalui olehnya, selalu ada kejadian-kejadian manis yang mampu ia simpan dan dijadikan pelajaran.

Seorang siswa pengidap disleksia mengajarkan Astri tentang makna guru yang sesungguhnya. Ia kini tahu bahwa menilai kemampuan siswa dalam menerima pelajaran tak bisa hanya dilakukan dari permukaan. Banyak guru men-judge siswa bodoh tanpa tahu latar belakang apa yang mendasarinya. Atau men-judge siswa nakal tanpa tahu lingkungan seperti apa yang membentuknya. Menjadi guru homeschooling, membuat Astri mampu memahami siswa lebih dari apa yang mereka perlihatkan.

“Saya bersyukur karena dengan menjadi guru homeschooling, saya bisa belajar bagaimana kelak menjadi ibu yang baik untuk anak-anak saya,” ujar putri pasangan Ari Resprianto dan  Titik Suwarti ini.

Pengalaman menjadi guru homeschooling juga diungkapkan Nanank Fahrudin. Pria 32 tahun ini  menjadi pendidik bagi anak-anak kebutuhan khusus, seperti anak downsyndrome maupun autis.

Pengajar di homeschooling Anugrah Bangsa, Tembalang ini menceritakan suka duka dalam mendidik anak-anak tersebut. Setiap hari, Udin –sapaan akrabnya– harus mendidik sedikitnya tujuh anak downsyndrome dan autis.

Menurutnya, menjadi guru homeschooling memang sebuah pengabdian. Bagaimana tidak, secara regulasi, keberadaan guru homeschooling tidak diakui. “Kalau berdasarkan undang-undang pendidikan yang diakui kan guru, sedangkan kami ini disebut mentor,” kata Udin.

Karena disebut mentor, praktik para guru homeschooling tidak merasakan fasilitas-fasilitas yang diberikan negara seperti layaknya para guru di sekolah formal. Seperti tidak bisa mengikuti sertifikasi. “Berbeda guru lain yang bisa merasakan itu,” ujarnya.

Udin sendiri sudah menjadi guru homeschooling Anugrah Bangsa sejak 2010 lalu. Sebelumnya, bernama Homeschooling Kak Seto. Sejak 2013, namanya berubah menjadi Homeschooling Anugrah Bangsa.  Hal lain yang ia rasakan yaitu banyak orang tua siswa belum paham betul bagaimana pola pengajaran dari homeschooling. Dikira seperti halnya sekolah formal lainnya.

Padahal pola pengajaran homeschooling berbeda. Seperti penggunaan kurikulum yang berbeda sesuai dengan standar Kementerian Pendidikan. Dalam implementasinya, mengajar anak berkebutuhan khusus memang berbeda dengan mengajar anak-anak normal lainnya.  Seperti dalam penyampaian materi. Anak berkebutuhan khusus tidak bisa dipatok berdasarkan nilai akhir. Pola pendidikan lebih banyak kepada praktik dan outing class atau belajar di luar ruangan mengenal lingkungan.

Pembelajaran tersebut yang digunakan untuk mengajar anak berkebutuhan khusus. “Ada anak yang bisa memakai baju sendiri itu sudah sebuah keberhasilan. Termasuk mengenal lingkungan dan berkomunikasi dengan baik, juga sebuah keberhasilan,” paparnya.

Jam mengajarnya pun berbeda dengan anak-anak normal. Dalam satu hari, tidak bisa lebih dari lima jam. Sebab, kemampuan anak berkebutuhan khusus menerima materi juga terbatas. “Pola pengajarannya sedikit teori, tapi banyak bermain dan mengenal lingkungannya,” tuturnya.

Meski begitu, ia mengaku bangga dengan apa yang dikerjakannya saat ini. Apalagi sejumlah prestasi dari siswa berkebutuhan khusus didikannya sudah ditorehkan. Salah-satunya menjadi perwakilan Indonesia dalam Asian Youth Summit di Singapura.

“Ada anak autis sini yang mewakili Indonesia, tentunya kita patut berbangga,” ujar pria kelahiran Pekalongan, 8 Januari 1987 ini.

Selama hampir 9 tahun menjadi guru homeschooling, diakui, jumlah siswa berkebutuhan khusus terus menurun.  Ini lantaran adanya pembatasan oleh pemerintah supaya anak berkebutuhan khusus masuk ke sekolah inklusi formal.

Ia mengakui jika pada awalnya memang berat dalam mendidik anak berkebutuhan khusus lewat homeschooling. Namun lama-lama ia terbiasa dan menikmati. Di bawah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, ia berharap pemerintah memperhatikan nasib para guru homeschooling. Setidaknya bisa merasakan fasilitas-fasilitas seperti yang diperoleh guru sekolah formal. (cr4/ewb/aro)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya