RADARSEMARANG.COM, SEBENARNYA konsep desain normalisasi Sungai Beringin sudah ada sejak lama. Anggarannya pun sudah diajukan. Hanya saja, memang belum bisa dieksekusi karena masih ada pekerjaan rumah (PR) pembebasan lahan. Ini menjadi kewenangan Pemerintah Kota Semarang.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Tata Ruang (Pusdataru) Provinsi Jawa Tengah Eko Yunianto menuturkan, memang perlu sinergi antara pemerintah, mulai dari pusat, provinsi, dan kota dengan masyarakat untuk mengerjakan normalisasi Sungai Beringin. ”Saya dengar masih ada 12 bidang tanah yang belum bisa dibebaskan di daerah hilir itu,” ujarnya kepada RADARSEMARANG.COM saat ditemui di kantornya Jalan Madukoro Semarang.
Meski normalisasi belum bisa dieksekusi, kata dia, bukan berarti tidak ada upaya yang dilakukan. Secara fisik, bersama instansi terkait, telah dilakukan pemeliharaan sungai agar aliran air tidak terganggu. Ini dilakukan sebagai langkah antisipasi, selain menyiapkan bahan banjiran, alat berat, sand bag di masing-masing Korpokla (koordinator kelompok lapangan), SDM dan posko yang mulai beroperasi awal November lalu.
”Tanggul yang kemarin jebol juga sudah kita perbaiki. Bukan kami saja, tapi langkah antisipasi menghadapi musim penghujan ini sudah kami lakukan bersama BMKG, BPBD, Balai Besar dan balai-balai kami, Dinas Sosial, biro yang membidangi kesra pada September lalu,” katanya.
”Termasuk pemetaan daerah rawan potensi dampak musim penghujan,” imbuhnya.
Hanya saja, ia tekankan, meskipun upaya perbaikan fisik dilakukan, yang perlu diingat adalah bahwa kapasitas tanggul bukan tanpa batasan. Ketika debit air lebih besar, maka sudah pasti air akan meluap melewati tanggul. Sehingga, perlu upaya bersama mengurangi beban air di sungai.
Ia katakan, perlu dipahami bahwa beban sungai terlalu berat mengingat jumlah manusia yang semakin bertambah dengan spasial yang sama. Pembangunan terus dilakukan sementara DAS terus dipersempit oleh sedimen maupun bangunan. Sehingga dengan jumlah curah hujan yang sama, air permukaan banyak yang langsung mengalir tanpa bisa diserap oleh tanah.
”Perlu kontribusi dari masyarakat. Berbicara konsep, prinsipnya luapan air terjadi karena sungai tidak mampu menampung debit air mengalir. Kapasitas sungai sudah sangat terbatas, sehingga daerah aliran sungai ini harusnya lebar, bukan malah dipepeti. Ini perlu peran masyarakat,” ujarnya.
Dengan kondisi ini, peran masyarakat dapat dilakukan melalui konservasi dan pendayagunaan air. Menanam pohon atau membuat tampungan air untuk mengurangi jumlah air yang langsung mengalir di permukaan. Dikatakan, sepanjang tidak ada pengendalian, debit air larian akan tambah besar.
”Ini kan akibat. Akan lebih efektif kalau kita berpikir sebabnya apa. Sehingga yang bisa kita lakukan adalah dari atap kita tampung di tadon-tandon air. Paling tidak untuk keperluan yang dapat dipenuhi standar baku air hujan,” katanya.
”Bisa dibayangkan, jika setiap KK melakukan ini. Setidaknya sangat luar biasa kontribusinya mencegah terjadinya luapan di DAS. Ini yang perlu disadari bersama dan perlu dilakukan secara bersama-sama,” jelasnya.
Tidak ketinggalan, perilaku masyarakat membuang sampah sembarangan juga perlu dihilangkan. Membuang sampah, dimanapun, ketika terbawa air akan menuju pada muara yang sama. Hal ini tidak jarang menyebabkan terganggunya aliran sungai dan menyebabkan luapan.
”Mari kita hadapi musim hujan dengan siap. Jangan gagap. Terpenting adalah kesiapan dari pengurangan risiko bencana. EWS (Early Warning System) itu wajib. Walaupun tidak yang terlalu modern. Misalnya di Plumbon ada Bendung Plumbon, ada kontrol poin untuk memantau. Harus dikenali titik kritis di hilir mana,” bebernya.
Menghadapi musim penghujan, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengingatkan masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan. Terutama di daerah aliran sungai. Ia juga meminta aliran sungai diperbaiki dan para bupati/wali kota agar melakukan inspeksi aliran sungai.
”Kongres sampah kemarin itu salah satunya juga untuk melakukan antisipasi banjir yang disebabkan oleh penumpukan sampah di sungai. Ini perlu peran serta masyarakat. Karena tanpa masyarakat kami tidak bisa melakukan apa-apa,” ujarnya.
Dalam rangka mengurangi risiko bencana, ia katakan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah juga sudah melakukan pemetaan daerah rawan. Hasilnya, secara terus menerus disampaikan kepada masyarakat agar dapat melakukan langkah antisipasi.
Kepala Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah Sudaryanto mengatakan puncak musim hujan diperkirakan terjadi pada Januari-Februari. Pihaknya telah bersiap bersama BPBD di masing-masing kabupaten/kota dan beberapa pihak lainnya yang terlibat. Sejumlah logistik dan perlengkapan sudah disiapkan untuk mengantisipasi terjadinya bencana.
Dalam hal ini, pihaknya juga sudah melakukan rapat koordinasi dan memberikan pelatihan kepada masyarakat agar siap menghadapi bencana.
”Kami juga lakukan dengan memasang EWS untuk memantau. Ada longsor, banjir dan gempa. Kalau banjir, pantura masih menjadi daerah rawan meski tidak menutup kemungkinan banjir juga terjadi di daerah dalam, tidak terkecuali Semarang,” ujarnya. (sga/aro)