27 C
Semarang
Wednesday, 16 April 2025

Dulu Suram, Kini Terang, Meski Belum Digitalize

Eksistensi Museum di Era Milenial

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM, Ada banyak museum di Jawa Tengah. Mulai Museum Ronggo Warsito Semarang, Museum Mandala Bakti Semarang, Museum Kereta Api Ambarawa, Museum Jamu Jago Semarang, Museum Batik Pekalongan hingga Museum BPK Magelang. Bagaimana pengelola museum mengikuti perkembangan zaman, untuk menarik minat generasi milenial yang digitalize?

ADHIK KURNIAWAN/RADARSEMARANG.COM

AGUS HADIANTO/RADARSEMARANG.COM MODERN : Pengelola Museum BPK memanfaatkan teknologi mutakhir agar tidak diabaikan generasi milenial dan bisa menjadi tempat edukatif bagi pelajar.
AGUS HADIANTO/RADARSEMARANG.COM
MODERN : Pengelola Museum BPK memanfaatkan teknologi mutakhir agar tidak diabaikan generasi milenial dan bisa menjadi tempat edukatif bagi pelajar.

KETIKA ditanya kesan mengunjungi museum di masa kecil, kebanyakan berujar gelap, seram dan hanya berisi ribuan benda peninggalan bersejarah. Itu dulu. Museum Ronggorwasito di sekitar Bundaran Kalibanteng Semarang Barat saat ini, lebih cerah dengan penerangan yang cukup. Belum lagi lampu warna warni yang digunakan untuk menerangi arca, lukisan, senjata, perhiasan dan benda bersejarah lainnya. Bahkan, penataan benda bersejarah kini disesuaikan dengan zaman dan tematik. Demi memudahkan pengunjung khususnya pelajar dalam memahami peristiwa yang terjadi dibalik benda bersejarah tersebut.

Bahkan, Sabtu siang (12/10) kemarin, banyak anak TK dan SD yang tertarik masuk ke dalam replika gua bersejarah yang diterangi lampu warna-warni. Ada pula anak yang kagum dengan replika kapal layar nan megah dengan pencahayaan yang tepat.

Kepala Museum Ronggowarsito, Asih Widhiastuti mengaku sengaja mengubah konsep museum menjadi lebih modern. Ia menyadari generasi milenial memerlukan sesuatu yang yang lebih inovatif dan menarik. Pihaknya melakukan pembenahan mulai dari internal kepengurusan hingga penataan konsep museum sehingga dapat mengubah stigma museum menjadi lebih ceria dan edukatif. “Alhamdulillah setelah dilakukan perubahan konsep menjadi lebih cerah dan tertata, dalam dua tahun terakhir pengunjung yang datang selalu meningkat,” jelasnya.

Tahun 2018 lalu, jumlah pengunjung sekitar 80 ribu. Bahkan, tahun 2019 yang belum genap, sudah membukukan 90 ribu pengunjung. Presidiksinya bisa tembus hingga 100 ribu pada akhir tahun.

“Kami berterimakasih kepada Pemprov Jateng dan Pemkot Semarang yang menjadikan Ronggowarsito sebagai parkir bus Si Kenang, Si Kuncung, dan Si Denok. Secara tidak langsung, ikut mempromosikan museum sehingga pengunjung mengikuti tour menggunakan bus tersebut,” ujaranya.

Namun terkait pemanfaatan teknologi modern, pihaknya belum menerapkan. Meskipun banyak perbaikan, namun tidak terlihat gadget atau peralatan modern yang berbasis digital di museum tersebut. Pihaknya beralasan anggaran yang digunakan untuk pembaharuan masih kurang.

Saat ini, pihaknya masih berusaha mengajukan anggaran ke Pemprov Jateng untuk realisasi hal tersebut. Pihaknya menargetkan tahun 2020 nanti, museum ini dapat dilengkapi teknologi yang menyediakan aplikasi dan digitalisasi bagi generasi milenial yang serba gadget. “Saat ini kami hanya punya website resmi yang bisa diakses secara umum,” tandasnya.

Kendati begitu, pihaknya masih mengenalkan museum dengan cara konvensionl seperti pameran keliling, museum goes to school, program dolan ke museum dan yang akan diluncurkan museum at night.

“Saat ini kami sedang berusaha mencari dana baik dari anggaran APBD maupun berkerja sama dengan stakeholder lain sehingga cita-cita melakukan digitalisasi museum tahun 2020 dapat terealisasi,” tuturmya.

Sementara itu, guru MI Darul Ulum Wates Semarang yang berkunjung dengan anak didiknya mengaku pelayanan dan fasilitas di Museum Ronggowarsito sudah baik dibanding beberapa tahun terakhir. Dirinya menunjukkan saat ini sudah banyak lampu terpasang yang membuat kesan angker pada museum lambat laun mulai berubah. Kini, anak didiknya senang dan antusias mengikuti tour di museum. Terbukti ketika dirinya bertanya suka tidak berkunjung ke museum, mereka serempak mengatakan suka.

“Menurut saya ini sudah baik. Apalagi sudah ada tour guide yang mendampingi kami. Museum Ronggowarsito saya rasa sudah banyak berbenah. Seandainya tahun depan akan dilengkapi dengan teknologi berbasis digital, semakin memudahkan anak-anak memahami sejarah di museum. Semoga saja segera teralisasi,” harapnya.

Demikian juga dengan Museum Mandala Bhakti di sekitaran Tugu Muda Semarang ini. Bangunan museum merupakan peninggalan Belanda yang dibangun tahun 1906 untuk Pengadilan Tinggi Belanda. Pada perang Pasifik 1942, digunakan jepang untuk markas. Pada 1945 setelah kemerdekaan, digunakan sebagai markas pejuang-pejuang pemuda. Di tahun 1946 direbut kembali oleh Belanda. Tahun 1949, gedung ini direbut oleh Divisi Pimpinan III dibawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, kemudian dijadikan markas Kodam VII Diponegoro. Lalu 1985 Kodam VII menjadi Kodam IV dan markasnya pindah ke Watu Gong. “Barulah bangunan ini dialihfungsikan menjadi Museum Perjuangan Mandala Bhakti,” kata Pengelola Museum Mandala Bhakti, Gandung Raharjo kepada RADARSEMARANG.COM.

Saat ini dilakukan renovasi museum di lingkar bawah. Kini dindingnya ditutup dengan lukisan 3 dimensi yang dibuat berdasarkan urutan peristiwa saat Pangeran Diponegoro melawan para penjajah. “Setelah direnovasi, jumlah pengunjung mengalami kenaikan 50 persen dalam setahun. Pengunjungnya mulai pelajar, instansi pemerintah, dari dalam Semarang maupun luar Semarang,” kata Gandung.

Untuk menarik minat generasi milenial mengunjungi museum, kini halaman depan kerap digunakan untuk konser musik, bazaar, lomba nari, melukis, dan mewarnai. Dilengkapi pula pujasera di samping gedung museum. Bahkan, melakukan kerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan maupun Dinas Pendidikan.

Lain halnya dengan Museum Kereta Api Ambarawa. Dahulunya adalah stasiun kereta api (KA), namun karena sebagian jalurnya sudah tidak berfungsi, dialihfungsikan menjadi museum. Ini merupakan museum perkeretaapian pertama di Indonesia.

Dalam museum ini terdapat 21 lokomotif uap yang berada di utara dan barat museum. Ada 5 lokomotif uap yang berada di depo 3, di antaranya dapat beroperasi dengan baik. Selain itu, terdapat 3 mesin ketik, 3 mesin hitung, beberapa pesawat telepon dan peralatan kuno lainnya.

Museum ini secara administratif berada di Desa Panjang, Ambarawa, Kabupaten Semarang. Museum yang terletak pada ketinggian +474,40 meter ini termasuk dalam wilayah Daerah Operasi (Daop) IV Semarang yang dikelola oleh Unit Pusat Pelestarian dan Desain Arsitektur PT Kereta Api Indonesia (KAI) bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng.

Untuk masuk ke dalam museum, pengunjung dipungut biaya tiket sebesar Rp 10.000 untuk orang dewasa dan Rp 5.000 untuk anak-anak. Buka setiap hari dari pukul 08.00-17.00. Museum ini, masih bertahan dengan desain klasik, gaya arsitektur zaman kolonial Belanda. Sangat instagramable, menarik untuk dijadikan spot foto bagi pengunjung.

Bahkan, pengunjung juga bisa menaiki kereta dengan lokomotif uap pada hari libur dan hari besar. Rute yang ditempuh adalah Ambarawa-Tuntang dengan jarak sekitar tujuh kilometer. Cukup merogoh kocek sebesar Rp 50.000 per-orang. “Kalau hari biasa hanya ada satu dua pengunjung. Ramainya kalau pas liburan,” kata salah satu pedagang di sekitaran Museum Kereta Api Ambarawa.

Daya tarik museum adalah menaiki kereta tua yang masih menggunakan uap untuk berkeliling Kota Ambarawa. Rata-rata pengunjung adalah pelajar dan instansi atau pegawai kantoran. “Ada dua lokomotif yang biasa dipakai. Satu lokomotif berbahan bakar kayu bakar dan satunya lokomotif berbahan bakar batubara,” tutur Slamet, salah satu petugas Museum Kereta Api Ambarawa. (akm/ mg9/mg3/mg4/ mg2/mg6/ida)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya