RADARSEMARANG.COM – Di tingkat nasional, ada beberapa penceramah wanita terkenal seperti Mama Dedeh, Lutfiah Sungkar, Ustadzah Oki Setiana Dewi, Ummi Pipik Dian Irawati, Ustadzah Lulu Susanti, dan lainnya. Bagaimana dengan kiprah penceramah lokal Semarang dan sekitarnya.
ADALAH Nur Askhonah. Namanya melejit setelah mengikuti Aksi Indosiar tahun 2015. Pasca audisi pencarian bakat ceramah ini, ia kerap diundang ke beberapa kota, bahkan hingga luar pulau Jawa. Kecakapannya berceramah memang tidak diragukan lagi. Sebab, dia juga sering menjuarai berbagai kejuaraan ceramah mulai dari tingkat provinsi hingga nasional.
”Terakhir juara 1 nasional di Banda Aceh,” jelas Nur Askhonah yang kini menyelesaikan skripsi di UIN Walisongo Semarang jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir.
Saat ini usia Asna -sapaan akrabnya- terbilang masih muda. Meski demikian, perempuan kelahiran tahun 1994 ini sudah melanglang buana berdakwah di hadapan ribuan jamaah, mulai dari siswa sekolah, ibu-ibu, bapak-bapak hingga para akademisi. Ya, jamaahnya memang tidak sedikit. Ia pernah dakwah dengan 6000 jamaah.
”Tentu ada rasa grogi. Karena sebagai manusia dan umur juga. Tapi saya niati Bismillah, akhirnya ya bisa. Bahkan Alhamdulillah apa yang saya sampaikan bisa diterima, dengan bukti saya dipanggil lagi setelahnya. Bahkan ada yang hingga 10 kali,” bebernya.
Jamaah dengan berbagai latar belakang seringkali menuntutnya untuk terus mengasah kreativitas. Tak jarang, untuk membuat dakwahnya efektif dan tidak membosankan, ia menyelipkan salawatan, humor dan juga pantun. ”Sementara kalau dakwah ke anak muda, bahasanya dibuat lebih gaul dan humoris. Biasanya kalau anak muda dipancing masalah cinta itu responnya luar biasa. Seperti kemarin ketika saya baru ngisi di SMA 1 Purworejo,” ia menceritakan.
Da’iyah asal Pati ini sebenarnya sudah memulai misi dakwahnya sejak duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI). Sang kakek memang seorang da’i. Sementara sang ayah, dipercaya masyarakat untuk menjadi imam tahlil. Namun demikian, namanya baru tenar setelah ia tampil di layar kaca stasiun televisi swasta nasional.
Keputusan menjadi utsadzah/da’iyah dan melakukan dakwah dikarenakan panggilan jiwa. Asna yakin dan sadar, sebagai umat Islam ia memiliki visi menyampaikan kebaikan. Hal itulah yang diakuinya membuatnya ingin berdakwah. ”Ada salah satu hadis Nabi SAW, sampaikanlah dariku walau satu ayat. Itu akan memberikan manfaat,” jelasnya kepada koran ini.
Keputusannya yang bulat tidak pernah membuahkan duka selama menjalani kewajiban berdakwah. Ia menjalani semua ini dengan hati. Sehingga, apapun itu, menjadi terasa bahagia bagi perempuan kelahiran Pati 31 Agustus 1994 ini. Bahkan ketika sakitpun, ia tidak merasakannya ketika sudah berada di atas panggung dan berhadapan dengan ribuan jamaahnya. ”Ya, kewajiban. Karena dakwah itu adalah kewajiban. Bukan profesi,” tegasnya.
Ia berprinsip, dalam berdakwah tidak hanya mauidhoh hasanah saja. Namun harus menjadi uswatun hasanah. Tidak hanya ngomong saja, tetapi harus ada bukti. Ia mencontohkan, ketika mengajak jamaah untuk sadaqah, maka dirinya sendiri juga harus mau melakukan sadaqah.
Satu hal yang tidak bisa dilupakannya adalah, karena banyak yang tahu bahwa dirinya masih muda dan belum menikah, tidak sedikit kiai dan jamaah menawarkan untuk menjadikannya menantu. ”Tapi tidak tahu itu beneran atau tidak. Banyak yang minta saya untuk jadi mantu, hehehe,” ujar perempuan ramah bersuara khas ini sembari tertawa.
”Sama kiai yang saya datangi juga selalu didoakan untuk mendapat jodoh yang baik. Tapi yang paling membuat senang adalah ketika apa yang saya sampaikan bisa masuk ke jamaah,” cerita perempuan yang sering menyelipkan siraman rohani di akun media sosialnya ini.
Ke depan, Asna ingin menjadi dosen tafsir Alquran. Sudah pasti dengan tetap menjalankan kewajibannya sebagai umat Islam, yakni berdakwah. Menyampaikan kebaikan.
Dalam berdakwah, Asna juga selalu mengikuti perkembangan yang sedang terjadi. Lewat koran ini, Asna berpesan kepada masyarakat untuk tidak ikut-ikutan dalam kegiatan terorisme. Sebab, terorisme bukanlah ciri Islam. Ciri Islam, menurutnya, bukan dengan melakukan bom bunuh diri, bukan dengan melakukan teroris, terlebih ikut dalam aliran radikalis.
”Sekarang, di zaman akhir, banyak manusia yang sakit pikir. Hidupnya mondar- mandir dan tidak takut ditanya malaikat Munkar Nakir. Banyak manusia terlena sehingga muncul fenomena salah kaprah, terorisme. Padahal jihad yang benar adalah menuju jalan Allah SWT dengan cara yang baik, bukan dengan bunuh diri,” ujar pendakwah cantik yang memiliki ciri khas sering menyelipkan shalawat dan tembang-tembang Jawa di sela dakwahnya ini.
Hidup di Indonesia, dikatakan olehnya, harus bersikap toleran, seperti yang dikehendaki Islam. Toleransi yang seimbang dengan keimanan. ”Karena toleransi tanpa keimanan akan lahir paham ekstrim. Akan muncul terorisme dan radikalisme. Kita sama-sama sampaikan pesan damai. Karena posisi damai itu antara cinta dan benci, antara keharmonisan dan permusuhan, antara nikmat dan laknat,” ujar daiyah yang mengidolakan Ustadz Abdul Shomad yang selalu menunjukkan Islam sebagai agama ramah, bukan marah, mengajak bukan mengejek dan merangkul bukan memukul. (sga/ida)