RADARSEMARANG.COM, Adanya Project Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) memberikan stimulus SMP Negeri 22 Semarang untuk menciptakan model pembelajaran luar kelas yang menarik.
Urban farming menjadi salah satu jawabannya. Selain dapat mem-branding sekolah, urban farming sejalan dengan program Pemkot Semarang.
M. IQBAL AMAR, Radar Semarang
SAAT mengitari lingkungan SMP Negeri 22 Kota Semarang wartawan koran ini dibuat takjub. Bagaimana tidak, sekolah yang berlokasi di Jalan Raya Manyaran-Gunungpati, Kelurahan Nongkosawit, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang ini dipenuhi beragam tanaman, kolam ikan, hingga peternakan maggot. Semua itu menjadi media pembelajaran siswa.
“Lahan kami cukup luas, jadi kita manfaatkan semaksimal mungkin,” kata Kepala SMP Negeri 22 Kota Semarang Rini Rusmiasih kepada RADARSEMARANG.COM.
Di depan, samping, hingga belakang tak ada lahan yang cuma-cuma. Bahkan beberapa bagian tembok juga dimanfaatkan untuk media tanaman vertikal. Di sekolah itu telah menerapkan empat metode tanam. Yakni, menggunakan media tanah, akuaponik, vertikultur, dan polybag.
“Semuanya kita coba atas pendampingan dari Balai Penyuluh Pertanian,” tutur Rini.
Dalam praktiknya, siswa menjadi garda terdepan dalam penanaman ke empat model tersebut. Guru hanya cukup memantau dan mendampingi jika menemui kesulitan. Secara langsung, peserta didik yang merupakan kelas tujuh dapat mempelajari ketika tanaman menguning atau terdapat bintik-bintik dan bolong-bolong.
“Anak bisa belajar banyak hal terkait urban farming. Sesuai esensi P5 yakni membentuk jiwa mandiri, kreatif, dan kritis,” ungkapnya.
Tercatat, ada lebih dari 300 komoditas sayur dan buah-buahan ditanam di lingkungan sekolah. Paling banyak adalah tanaman kangkung sebanyak 1.360 polybag. Lalu cabai, terong, seledri, dan sawi, masing-masing sebanyak 50 polybag. Lain itu juga terdapat tomat, pare, selada, labu siam, labu kuning, dan komoditas unggulan jagung ungu.
“Selain tanam, kita juga mengembangkan sambung pucuk alpukat. Menyatukan tanaman lain yang masih sejenis untuk mendapatkan bibit yang lebih unggul,” jelasnya.
Hasil urban farming sudah dapat dinikmati berkali-kali. Mulai dari diolah siswa secara mandiri, lalu dibeli oleh orang tua murid. Bahkan komoditas labu sudah tembus ke supermarket.
“Anak-anak sudah maju dan berkreasi sendiri membuat makanan kekinian dari hasil urban farming itu,” tandasnya.
Kreasi pengolahan hasil panen berupa labu jipang dapat dibuat keripik dan cocktail. Sementara kangkung pun dapat dikreasikan menjadi 15 olahan makanan. Seperti dawet, keripik, stik, gimbal, rolade, dan sebagainya.
“Orang tua juga responnya senang ketika anak pulang membawa hasil panen,” ujarnya.
Selain urban farming, SMP Negeri 22 Kota Semarang juga terdapat akuaponik atau mina tani. Yakni, mengonbinasikan hidroponik dengan akuakultur. Ada sekitar 10 kolam ikan yang tersebar di area sekolah dengan komoditas lele dan nila. Di atasnya ditanami sayuran.
“Ada juga budidaya ikan dan penanaman sayur dalam ember (budikdamber),” jelas Rini.
Lebih lanjut, para siswa juga diajarkan mengenai budidaya maggot dari lalat hitam atau dikenal BSF (Black Soldier Fly). Terdapat satu kandang yang dijadikan media pembelajaran siswa. Nantinya, maggot juga bermanfaat untuk pakan ikan.
“Jadi semuanya saling berhubungan satu sama lain. Siswa juga diajarkan membuat pupuk eco enzyme dan jakaba (jamur keberuntungan abadi). Sumber organik yang dijadikan pupuk penyubur tanaman,” tandasnya.
Rini memandang model pembelajaran di kelas seperti itu sangat berdampak positif bagi siswa. Mereka cenderung mudah percaya diri, kreatif, inovatif, dan mandiri. Selain mewujudkan ketahanan pangan, juga mengajarkan anak menanam, merawat, hingga memanen.
“Itulah yang kemudian menjadi kebiasaan dan sebuah budaya,” tuturnya.
Ke depan, urban farming SMP Negeri 22 Kota Semarang akan diproyeksikan menjadi eduwisata. Sehingga siswa bisa belajar sambil berwisata mengenal tumbuhan dan mempelajari sedalam-dalamnya.
“Kita tata lagi karena masih terpencar di beberapa tempat. Nantinya di setiap sudut sekolah bisa untuk belajar,” jelas Rini.
Pengawas SMP Negeri 22 Kota Semarang dari Dinas Pendidikan Kota Semarang Sapta Budi Utama menilai, keberhasilan urban farming SMP Negeri 22 Kota Semarang tidak terlepas dari pola kepemimpinan yang baik. Berani berkolaborasi dengan berbagai pihak. Selain itu, budaya menanam sudah tertanam sejak dulu.
“Jadi sudah jadi budaya tidak serta merta dibuat dadakan,” terangnya.
Salah satu siswa, Muhammad Aji Kurniawan merasa lebih terampil dengan adanya model pembelajaran P5. Yang di dalamnya terdapat urban farming yang diintergrasikaan dengan perikanan dan peternakan maggot.
“Harapannya nanti jenis yang ditanam lebih banyak lagi,” harapnya. (*/aro)