Saat ini, di sebelah Ponpes Nashrul Huda II ada 200 pohon di lahan seluas 3.000 meter persegi. Mereka juga punya petani binaan yang diberikan bibit secara gratis. Sehingga luas lahan yang ditanami Sacha Inchi mencapai 10 hektare.
“Kami kenal kacang ini dari Thailand. Awalnya, cuma pengin tanam, panen, terus jual. Tapi panennya satu minggu sekali, dan tidak mengenal musim. Akhirnya coba kita olah,” ujarnya.
Hujan kembali mengguyur, Syafiq mengajak ke tempat pengolahan. Lokasinya berada di perkampungan. Tempat pengolahan mempunyai mesin yang cukup lengkap. Mulai pengupas hingga pemanggang. Kacang itu diolah menjadi cemilan, minyak, tepung, hingga teh.
Berbagai percobaan dilakukan untuk menciptakan satu produk. Seperti cemilan yang membutuhkan dua bulan percobaan untuk menemukan rasa yang pas. Kacang mentah terasa langu dan menempel kuat di mulut. Baru enam bulan lalu produk Sacha Inchi ini mulai dipasarkan. Produk olahan itu sudah mulai menghasilkan cuan.
Ponpes mau membeli seluruh hasil panen dari petani binaan. Satu pohon menghasilkan hingga 2 kilogram biji tiap kali panen. Biji kering satu kilogramnya dihargai Rp 7 ribu dan Rp 15 ribu untuk biji kering yang telah dikupas.
Sedangkan harga jual produk kacang Sacha Inchi dijual mulai Rp 12 ribu hingga Rp 25 ribu. Menyesuaikan ukuran pengemasan. Tiap bulan, ia bisa memproduksi hingga 500 kemasan.
“Kami berani MoU harga dengan petani. Kami berani kontrak 10 tahun untuk membeli hasil panen. Kita berkomitmen bahwa harganya akan tetap,” ucapnya.
Tanaman Sacha Inchi belum tersertifikasi di Kementerian Pertanian. Pihaknya juga diminta membuat tanaman induk yang berusia lima tahun. Jadi, tanaman induk Sacha Inchi di Indonesia bakal ada di Kabupaten Batang. Jumlahnya 40 pohon untuk disertifikasi Kementerian Pertanian. Sementara pohon-pohon di sana baru berusia tiga tahun. (yan/aro)