Selain band-band populer, Yoga juga mengoleksi kaset band-band metal lokal. Katanya, justru kaset-kaset ini banyak diburu orang luar negeri. Ia pun tak tahu mengapa.
“Mungkin nanti bakalan jadi barang langka. Ada koleksi saya, kaset band metal asal Batang yang sedang diburu orang Malaysia,” ungkapnya.
Mendapatkan ratusan keping kaset itu, Yoga harus jatuh-bangun. Terlebih saat ia baru mulai mengoleksi. Waktu itu ia masih siswa SMP. Ia kerap berupaya uang sakunya harus utuh. Di sekolah ia tak jajan sepeserpun.
“Saya bawa bekal nasi lauk telur dari rumah. Itu selama tiga hari. Biar bisa beli satu kaset seharga Rp 15 ribu- Rp 20 ribu,” ceritanya.
Kebiasaan menabung dari uang saku itu ia lakoni sampai SMA. Saat lebaran, jika dapat angpao, semuanya ia habiskan untuk memborong kaset pita. “Dapat angpao Rp 300 ribu-Rp 400 ribu begitu, saya habiskan di lapak-lapak kaset. Kena marah kakak atau orang tua, itu jelas,” kenangnya.
Lulus SMA, Yoga bekerja. Kegilaannya mengoleksi kaset tak padam. Ia wajib menyisihkan gajinya Rp 500 ribu khusus untuk membeli kaset. “Nah ini sekarang kuliah, saya agak berkurang beli-beli kaset. Tapi satu-dua tiap bulam masih lah,” ungkap pemuda yang tinggal di Desa Gebangkerep, Kecamatan Sragi, Kabupaten Pekalongan ini.
Koleksi kaset pita itu bagi Yoga bukan hanya sebuah kebanggaan dan kepuasan pribadi. Tumpukan kaset-kaset itu baginya merupakan monumen pengingat kedua orangtuanya yang telah meninggal. Dulu, kata Yoga, hobinya mengoleksi kaset mendapat tentangan keras dari sang ibu. Meskipun akhirnya sang ibu membiarkannya.
“Ibu menentang karena mungkin ibu dulu kan yang kasih uang saku. Bukan untuk jajan, malah saya belikan kaset. Jadi, kalau lihat kaset-kaset itu, saya jadi ingat orang tua. Sebisa mungkin, sekarang saya tidak akan jual koleksi saya,” katanya. (nra/aro)