RADARSEMARANG.COM, Semarang – Kelompok Pecinta Lingkungan Cinta Alam Mangrove Asri dan Rimbun (KPL Cemara) memberdayakan masyarakat Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Semarang Utara dengan membangun wisata edukasi Mangrove Edupark. Meski mendapat CSR dalam penanaman awal, semua pengelolaan dilakukan swadaya masyarakat. Sehingga perekonomian masyarakat pun ikut terbantu.
Kawasan Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Kota Semarang dikenal sebagai Kampung Nelayan. Karena di kampung ini, sebagian besar warganya bekerja sebagai nelayan. Di kampung pesisir Kota Semarang ini juga ada destinasi wisata edukasi yang dikelola warga. Namanya Mangrove Edupark. Tempat ini diinisiasi oleh Kelompok Pecinta Lingkungan Cinta Alam Mangrove Asri dan Rimbun (KPL Cemara).
Saat koran ini berkunjung, disambut oleh Koordinator Lapangan Mangrove Edupark Zayid. Ia mengantarkan koran ini menuju Mangrove Edupark. Untuk bisa sampai ke tempat tersebut harus berjalan kaki melewati perkampungan warga, lalu menaiki perahu selama lima menit. Di belakang rumah Zayid, perahu-perahu milik warga berlabuh. Biasanya perahu ini yang digunakan untuk mengantarkan wisatawan. Di tempat ini pula bibit mangrove dirawat dengan baik.
Beberapa warga bercengkrama sambil menunggu pengunjung yang datang. Saat itu angin laut sedang bersahabat. Sehingga koran ini bisa berlayar menuju Mangrove Edupark. Saat perjalanan, Zayid bercerita asal mula didirikannya Mangrove Edupark.
Selain untuk mencegah abrasi, tempat yang di-launching pada 2019 ini juga sebagai sarana edukasi tentang lingkungan. Juga untuk mendongkrak perekonomian masyarakat, khususnya warga Tambakrejo RW 04 dan RW 16, Kelurahan Tanjung Emas. Semua pengelolaan Mangrove Edupark di Tambakrejo ini juga dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat.
“Semuanya mandiri. Kalau saya istilahnya bisa dikatakan sebagai tour guide yang menemani wisatawan. Kita juga memberdayakan perahu masyarakat yang tidak melaut untuk transportasi,” jelas Zayid kepada RADARSEMARANG.COM.
Ia menambahkan, hingga kini baru ada satu perahu investasi untuk wisata. Selebihnya dari warga. Jadi, pemberdayaan perahu nelayan ini selain membantu kebutuhan wisata, juga bisa meningkatkan perekonomian masyarakat. Karena kian hari luasan mangrove semakin menyempit. Akhirnya, pengemasan tempat wisata edukasi ini dipilih. Penanaman bibit mangrove di belakang rumah Zayid ini juga salah satu bentuk dari pengelolaan lahan kosong bekas ditanami hidroponik.
“Dulu belakang rumah itu untuk hidroponik. Tapi hasil panen itu tidak berhasil karena banyak tanaman yang kuning akibat kondisi air yang banyak mengandung garam. Akhirnya mangkrak dan kami gunakan untuk tempat pembibitan mangrove,” katanya.
Pria 48 tahun ini mengaku hanya mematok tarif Rp 15 ribu per orang. Harga ini sudah termasuk akses transportasi dan diberikan satu bibit mangrove untuk ditanam. Satu perahu dapat membawa 10 – 15 orang. “Jadi konsepnya kan wisata edukasi. Nanti pengunjung dapat satu bibit mangrove dan ditanam bareng-bareng di sana. Jadi, selain berwisata, mereka juga turut serta melindungi bumi,” ujarnya.
Kawasan dengan luas 2,5 hektare itu menyajikan beragam spot foto. Pengunjung juga bisa mengunjungi berbagai wahana, seperti Saungi Avicenna, Saung Rhizopora, Pojok Ekspresi, dan Suaka Burung.
Saat ini, Zayid bersama masyarakat lainnya masih kesulitan dalam hal perawatan. Misalnya, dengan kondisi bambu yang sudah lapuk harus segara diganti karena berhubungan dengan keselamatan pengunjung. Kemudian masalah sampah yang sering mendarat di hutan bakau ini.
Ia mengaku meski belum sepopuler tempat wisata di tengah Kota Semarang lainnya, pihaknya berharap pemerintah kota bisa melirik tempat wisata di pesisir ini. Sehingga selain sebagai penghijauan dan memecah gelombang laut, Mangrove Edupark ini bisa membantu perekonomian masyarakat setempat.
“Kita sebenarnya buat paket wisata. Karena lokasinya berdekatan dengan Kota Lama dan Kampung Batik. Nah, nantinya setelah dari sana, pengunjung bisa menyempatkan waktu ke sini,” harapnya. (kap/aro)