29 C
Semarang
Sunday, 15 June 2025

Warga Gunungpati Semarang Bikin Inovasi Cokelat Tempe, Ganti Kacang Mete dengan Kedelai

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Kalau biasanya tempe diolah menjadi menu tempe goreng, tempe bacem, tempe penyet atau keripik tempe. Di tangan Muntomah dan Taufik, tempe dipadukan dengan cokelat. Namanya cokelat tempe. Seperti apa?

Muntomah dan Taufik tinggal di Kampung Dampyak RT 3 RW 4, Kelurahan Sumurrejo, Gunungpati, Kota Semarang. Ini adalah Kampung Olahan Kedelai atau OKE. Kampung ini menjadi kampung tematik olahan kedelai sejak 2019. Di kampung ini, ada home industry tahu dan tempe. Perkembangan selanjutnya ada yang mengolah tempe menjadi tempe keripik dan tempe mendoan. Sisa olahan kedelai menjadi gembus dan sisa air kedelai menjadi minum ternak sapi.

“Ada banyak olahan kedelai, sehingga kampung kami dikenal sebagai Kampung OKE,” kata Muntomah kepada RADARSEMARANG.COM.

Dikatakan, kegiatan Kampung OKE sempat berhenti karena pandemi Covid-19 hingga pertengahan 2020.  Nah, pada 2021 diadakan pelatihan secara tatap muka untuk pengembangan produk kedelai. Saat itulah  Muntomah mulai melakukan inovasi dengan membuat cokelat tempe. Ia mencoba mengganti kacang mete dengan kedelai.  “Ide cokelat tempe itu datang dari pembina UMKM. Kami diajari inovasi cokelat tempe,” ceritanya.

Saat itu, tak banyak yang berminat membuat cokelat tempe. Kebanyakan warga lebih memilih membuat keripik tempe. Sebab, banyak yang beranggapan cokelat termasuk barang mewah dan mahal. Sehingga mereka lebih memilih menekuni pembuatan keripik tempe karena dinilai lebih mudah.

“Kalau cokelat tempe kan lebih banyak membidik pasar anak muda dan anak-anak. Tapi kalau keripik tempe semua usia suka,” ujarnya.

Meski demikian, Muntomah tetap memberanikan diri membuat cokelat tempe. Awalnya, ia membeli tempe dari Kampung OKE RW 4. Tempe lalu dipotong kecil-kecil dan digoreng hingga kering. “Saya sangrai dulu untuk menghilangkan minyak dan agar lebih awet” jelasnya.

Selanjutnya, dia membeli cokelat batangan di pasar. Cokelat tersebut lalu dilelehkan. Setelah itu dicampur potongan tempe dalam cetakan persegi panjang. “Agar cepat mengeras, cokelat dan tempe dalam cetakan itu dimasukkan ke freezer. Tidak ada tambahan gula atau bahan pengawet,” tuturnya.

Setelah mengeras, cokelat tempe dikeluarkan dari cetakan plastik itu. Hasilnya, hampir sama dengan cokelat merek terkenal yang biasa dijual di pasaran. Selanjutnya, batangan cokelat tempe itu dikemas dalam bungkus kertas. Muntomah membuat cokelat tempe dalam beberapa variasi. Ada tempe lapis cokelat kelor, cokelat lapis tempe, cokelat tempe original, cokelat tempe white, dan cokelat tempe stroberi.

Diakuinya, ia tidak menyetok coklat tempe. Muntomah membuat saat menerima pesanan.  Koran ini sempat menjajal cokelat tempe daun kelor. Rasanya tidak terlalu manis, sehingga tidak neg. “Resepnya sama, tapi rasanya beda. Karena pengaruh dari bahan bakunya juga,” ujarnya.

Cokelat tempe seberat 30 gram dijual dengan harga Rp 5 ribu. Produknya itu sudah mengantongi izin PIRT (Produksi Industri Rumah Tangga). Cokelat tempe tahan satu minggu jika tidak dimasukkan lemari pendingin. Dan bisa tahan satu bulan jika dimasukkan ke lemari pendingin.

Taufik mengklaim, banyak yang awalnya tidak suka tempe, menjadi suka setelah ada inovasi cokelat tempe.  Ia biasa menjual cokelat tempe di bazar UMKM, melalui story WA, dan online di market place. “Pak Hendi (mantan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, Red) juga pernah mencoba cokelat tempe ketika peresmian ikon sekolah di SMP Negeri 24 Semarang,” ujar ayah dua anak ini.

Dikatakan, ada juga yang pesan cokelat tempe lewat akun Facebook-nya, lalu dijual kembali di Shopee. Ketika mau lebaran, ia juga menjual cokelat tempe dalam toples, harganya Rp 50 ribu dengan berat 500 gram. “Saya kemas seperti permen itu lho, Mas. Banyak peminatnya sampai Kudus. Omzetnya saat itu sampai Rp 1 juta,” ujarnya. (fgr/aro)

Reporter:
Figur Ronggo Wassalim

Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya