RADARSEMARANG.COM – Ada belasan anak di Kabupaten Batang menderita penyakit langka, talasemia. Mereka harus melakukan transfusi darah seumur hidup. Dokter Tan Evi Susanti SpA tak kenal lelah mendampinginya hingga berdiri sebuah komunitas talasemia di Kabupaten Batang.
Cerita ini dimulai dari undangan peliputan kegiatan outbound untuk anak-anak dan keluarga penderita talasemia. Sebelumnya, wartawan RADARSEMARANG.COM belum mengetahui apa itu talasemia. Saat di lokasi, mereka terlihat sangat bersemangat mengikuti acara bersama orangtuanya.
Dokter Tan Evi Susanti yang merupakan dokter spesialis anak di RSUD Batang menjadi salah satu tokoh penting dalam terselenggaranya kegiatan tersebut. Ia menjelaskan bahwa outbound kali ini merupakan peringatan hari talasemia sedunia yang tetap diadakan meski sudah terlambat. Kegiatan tersebut diinisiasinya dengan anggaran pribadi dan donasi orang baik lainnya.
Wartawan RADARSEMARANG.COM kembali bertemu Dokter Evi –sapaan akrabnya– Rabu (16/11) di RSUD Batang. Ada juga satu orang tua yang anaknya menderita talasemia. Dia adalah Neti Wijayanti, 34, warga Kelurahan Kauman, Kecamatan Batang.
RADARSEMARANG.COM mojok di sudut lorong rumah sakit untuk berbincang sebelum Dokter Evi memulai pekerjaannya. Perbincangan dimulai dengan obrolan outbound komunitas talasemia.
“Mereka diajak healing agar terus bahagia menjalani hidup. Biar tidak merasa sendiri bahwa ada temannya juga,” ucap Dokter Evi yang ternyata merupakan dewan penasehat komunitas talasemia Kabupaten Batang.
Neti menjelaskan, Dokter Evi merupakan salah satu penggerak dan inisiator. Terbentuknya komunitas talasemia sendiri didukung penuh oleh orang tua pasien. Sehingga tidak bertepuk sebelah tangan. Komunitas ini resmi terbentuk pada 2018. Sejak saat itu, anak-anak talasemia dan keluarga tidak merasa berjuang sendiri lagi.
Mereka berjuang bersama-sama dan saling berbagi informasi. Talasemia sendiri merupakan kelainan Hemoglobin (Hb). Ada rantai hemoglobin yang tidak terbentuk. Akhirnya sel darah merahnya cepat pecah eritrositnya. Hal ini mengakibatkan Hb penderita turun. Sehingga usia sel darah merahnya pendek, satu per tiga dari orang normal.
Penderita talasemia tipe berat bisa diketahui saat baru lahir. Sementara tipe ringan biasanya baru ketahuan saat sudah dewasa. Karena kelainan tersebut, anak penderita talasemia harus melakukan transfusi darah seumur hidupnya. Terparah, mereka harus cuci darah tiga minggu sekali.
Melalui komunitas talasemia ini, mereka terus diingatkan untuk melakukan transfusi saat Hb menyentuh angka 9. Ia menjelaskan, jika salah satu alasan keinginannya membentuk komunitas talasemia adalah kemanusiaan. Orang tua dan anaknya harus sama-sama berjuang demi kelangsungan hidup.
“Ada dua faktor terbentuknya komunitas ini. Antara dokter dan orang tua pasien itu keinginannya sama. Kalau dokternya saja, tapi orang tuanya tidak ada penggeraknya juga tidak akan jadi. Begitu juga sebaliknya,” terangnya.
Ia menjelaskan, jika keluarga penderita talasemia biasanya tidak aktif. Jadi, harus ada yang menjadi penggerak. Dokter Evi pun bercerita salah satu kasus yang pernah ditangani. Karena ketidaktahuan orang tua, anak datang ke rumah sakit sudah masuk fase yang berat. Limpanya sudah besar. Kondisinya sudah pucat. Sedangkan pasien juga tidak punya akses BPJS Kesehatan.
“Akhirnya kita usahakan mendapatkan bantuan dari sana-sini, akhirnya bisa dapat BPJS Kesehatan. Sekarang bisa rutin kontrol di sini ditranfusi,” ceritanya.
Saat ini, di Kabupaten Batang ada 18 anak penderita talasemia. Sementara yang dewasa masuk di kategori layanan kesehatan untuk orang dewasa. Belum banyak kegiatan yang digalakkan. Sekarang, kegiatan banyak difokuskan untuk memfasilitasi dan mempermudah pasien untuk berobat bersama-sama.
Seperti adanya aturan baru dari BPJS Kesehatan tahun ini yang mengharuskan pasien untuk memeriksakan diri ke rumah sakit di Semarang. Mereka difasilitasi untuk transportasi agar bisa berangkat bersama-sama ke Semarang. Agar mendapatkan surat pendelegasian dari rumah sakit. Tiap orang diwajibkan tiga bulan sekali.
Sudah ada tiga gelombang yang berangkat ke Semarang. Karena ada pembatasan jumlah dalam satu kali pemeriksaan. Hal ini dilakukan agar mereka bisa melakukan transfusi darah di Kabupaten Batang dengan mendapatkan obat kelasi besi. Lagi-lagi Dokter Evi secara sukarela mencari sponsor dari orang baik dan ikut merogoh kocek pribadinya.
“Yang melatarbelakangi, saya sebagai manusia dan ibu juga ikut merasakan. Anak kok kasihan, setiap saat harus transfusi darah. Orang tuanya juga demikian, kita ikut merasakan jika punya anak seperti itu,” tutur Dokter Evi.
Selain selalu mengingatkan untuk transfusi darah tepat waktu, Dokter Evi juga mengingatkan di komunitas talasemia tidak boleh ada yang cinlok alias cinta lokasi. Sesama penderita talasemia akan menciptakan keturunan dengan kelainan talasemia kembali. Pasien dengan talasemia sebaiknya menikah dengan orang yang bukan talasemia. Sehingga tidak menciptakan keturunan talasemia kembali.
“Mereka sekarang sudah tahu tidak boleh cinlok. Makanya harus cari yang lain. Dikasih tahu dari sekarang. Kalau tidak dikasih tahu, kadung tresno nanti susah,” ucapnya sembari bergurau.
Neti Wijayanti menjelaskan, perjuangan terberat dalam komunitas talasemia adalah tidak semua orang tua punya ponsel. Jadi, ketika ada informasi terbaru dan penting menjadi kendala untuk disampaikan. “Kadang ponsel itu yang megang anaknya, jadi orang tua tidak mengetahui informasi yang diberikan melalui grup WA,” ujar Neti yang ternyata merupakan ketua komunitas tersebut.
Ia menjelaskan, terbentuknya komunitas sangat bermanfaat bagi orang tua dan anak penderita talasemia. Anggota jadi lebih tahu terkait talasemia. Begitu juga dengan pemecahan masalah yang terjadi. Banyak penderita talasemia berasal dari pelosok. Sehingga tidak merasa sendirian.
Anak talasemia biasanya memiliki ciri khas. Tubuhnya kecil, perutnya membuncit, dan kepalanya kecil. Sebelumnya, orang tua tidak tahu kapan waktunya transfusi. Sehingga mereka datang saat kondisi Hb di angka 6 bahkan 4. Kondisi demikian bisa membahayakan jiwa sang anak. (yan/aro)