RADARSEMARANG.COM – Sempat terpuruk karena divonis mengidap Friedreich’s Ataxia, Yeni Endah justru bisa bangkit dan menjadi penulis andal berkat hobinya.
Kini, namanya banyak dikenal sebagai penulis nonfiksi, terutama cerita anak dan remaja.
Namanya Yeni Endah. Senyumnya mengembang ketika Direktur RADARSEMARANG.COM Baehaqi beserta rombongan datang ke rumahnya di Jalan Jati Selatan VI Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Jumat (11/11).
Siang itu, RADARSEMARANG.COM dan Jawa Pos TV berkunjung untuk wawancara program Mata Hati. Sambil duduk di atas kasur busa yang digelar di lantai keramik putih, Yeni –sapaan akrabnya– mempersilakan rombongan koran ini masuk.
Wanita 35 tahun ini divonis mengidap penyakit Friedreich’s Ataxia yang menyerang fungsi otot, jaringan saraf, dan sumsum tulang belakang.
Penyakit ini adalah kelainan genetik langka yang menyebabkannya kesulitan berjalan, kehilangan sensasi di lengan dan kaki, serta gangguan bicara.
Penyakit ini dikenal juga dengan nama degenerasi spinocerebellar. Namun keterbatasannya tak menghalangi Yeni untuk berkarya. Terbukti, dia mampu menjuarai berbagai lomba menulis tingkat nasional.
“Di tahun 2015, saya mencoba ikut lomba menulis antologi cerpen karena ajakan seorang teman. Alhamdulillah, sejak itu saya sering ikut lomba menulis,” ceritanya.
Sejak kelas 3 SD, Yeni memang hobi menulis. Awalnya, ia menulis diary, lalu mulai menulis di blog yeniendah.blogspot.com. Tak hanya menulis untuk lomba, putri pasangan Fadholi dan Sri Rochmiyatun ini juga menulis untuk dikirim di media cetak.
“Karena mempunyai teman penulis yang memamerkan karya mereka di sosmed membuatku termotivasi. Akhirnya saya mencoba mengirim tulisanku ke media cetak,” katanya.
Puluhan karyanya sudah termuat, baik di majalah maupun koran. Karyanya berupa cerita non fiksi, yakni cerita anak, cerita lucu, dan cerita remaja.
Seperti Jaga Terumbu Karang, Komputer Tua dan Laptop Baru, Teman Baru untuk Kiko, Pahlawan Kemanudiaan, Serupa Tapi Tak Harus Sama, Kembul Bujana, Kertas Daur Ulang, Cuci Paru-Paru, Hombo Batu, dan lainnya.
Saat ini, Yeni juga mencoba menulis cerita dengan Bahasa Jawa. Ia biasanya membutuhkan waktu tiga hari untuk membuat satu karya tulisan. Menulisnya pun masih menggunakan handphone.
“Keinginannya ya punya laptop yang accessible agar bisa membantu saya menulis,” ungkapnya.
Setidaknya dengan menulis ia bisa membantu meringankan beban orang tua dan berpenghasilan sendiri. Biasanya satu tulisan akan mendapat honor Rp 150 ribu-Rp 250 ribu. Tergantung masing-masing media.
Yeni menambahkan, kelainan langka yang dialami bersifat progresif. Selain menyebabkan dirinya tidak bisa berjalan, juga menyerang motorik tangannya. Jari-jari tangannya menjadi kontraktur dupuytren.
Kondisi ini memengaruhi lapisan jaringan di bawah kulit telapak tangan yang mengakibatkan posisi jari tangan menjadi tertekuk. Hal ini membuatnya kesulitan untuk bisa mengerti.
Yeni juga bercerita bahwa kelainan yang dideritanya ini tidak dari lahir. Melainkan sejak usia delapan tahun, dan ia mulai tidak bisa berjalan secara total di usia 19 tahun.
“Waktu umur delapan tahun itu saya masih bisa jalan dan sekolah. Tapi baru jalan dua meter saja sudah jatuh, kesenggol sedikit jatuh. Akhirnya, ibu saya melapor ke kepala sekolah agar saya tidak diikutkan di kegiatan fisik,” kenangnya.
Bersama ibunya, ia sudah berobat baik melalui jalur medis dan herbal. Tapi Tuhan berkehendak lain.
Puncaknya, di usia 19 tahun tersebut, ia divonis dokter akan lumpuh. Seiring bertambahnya usia, penyakitnya juga akan menjalar ke tubuh yang lain.
Meski sempat terpuruk, Yeni tak menyerah. Lima tahun mengalami keterpurukan, ia pun bangkit dan teringat perjuangan kedua orang tuanya untuk membesarkannya, merawatnya, antarjemput sekolah, menggendongnya untuk bisa beraktivitas, serta membantunya dalam kegiatan sehari-hari.
“Saya mikir nangis terus, tapi kan nggak bakal mengubah keadaan. Yang sedih tidak hanya saya, tapi ibu saya juga ikut sedih, karena itulah saya bangkit. Ibu juga bilang namanya takdir harus diterima,” katanya.
Dengan lingkungan yang selalu men-supportnya, Yeni pun bisa berkarya. Ia bergabung dengan Komunitas Sahabat Difabel (KSD). Setiap satu minggu sekali, Yeni latihan untuk menulis. Selain belajar menulis di KSD, putri kedua dari tiga bersaudara ini juga belajar public speaking.
“Setiap satu minggu sekali biasanya latihan. Dulu waktu belum ada taksi online harus nyewa mikrolet atau rental mobil. Belum lagi, dipandang sebelah mata dan ditolak oleh sopir. Rintangannya banyak sekali, tapi saya tetap mau belajar dan bangkit,” ujarnya.
Usaha tak mengkhianti hasil. Buktinya, pada 14 Oktober 2022 lalu, Yeni meraih juara I konten kreator tingkat pengenalan dalam Kompetisi TIK Nasional untuk Disabilitas Piala Menteri Kominfo. Karena prestasi itu, Yeni mendapat hadiah pergi ke Korea Selatan dan mengikuti pelatihan di sana.
“Nanti awal Desember akan berangkat ke Korea. Ini adalah impian saya, selain bisa mewakili Indonesia, saya juga senang dengan K-POP dan K-Drama, jadi nanti bisa merasakan secara langsung indahnya Korea Selatan,” katanya sambil tersenyum. (kap/aro)