RADARSEMARANG.COM – Menyadari dirinya susah diatur, Bejo Prichatianto tak mau bekerja di kantoran atau ikut orang. Pemuda ini memilih menciptakan pekerjaan sendiri sesuai passion.
Memanfaatkan limbah kayu di sekitar rumahnya, ia produksi berbagai produk kerajinan tangan bernilai. Sampai bisa mempekerjakan pemuda-pemuda di desanya dan ia gaji sesuai Upah Minimum Kabupaten (UMK) Batang.
Pemuda asal Desa Kemiri Barat, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang ini patut mendapat apresiasi. Dedikasinya untuk warga sekitar tempat tinggalnya itu layak menjadi inspirasi. Bagaimana tidak, hasil jerih payahnya bertahun-tahun menciptakan kerajinan kayu tak mau ia nikmati sendiri.
Ia langsung menggandeng pemuda desa. Padahal saat itu usahanya boleh dibilang belum seberapa. “Saya tak takut mereka jadi pesaing saya nantinya. Justru kalau begitu saya senang,” kata pemuda 29 tahun ini.
Perusahan milik Bejo itu bernama BJO Furface. Memproduksi barang-barang furniture dan kerajinan kayu. Tapi tak biasa. Semuanya unik, berbahan limbah kayu.
Furniture seperti meja-kursi, bentuk dan desainnya estetis. Sandal, tas, dompet, sampai jam dinding pun dibikin sedemikan rupa dari limbah kayu. Barang-barang itu sudah masuk di gerai oleh-oleh Bandara Soekarno-Hatta, Ngurah Rai, dan toko-toko kerajinan di Yogyakarta.
“Kalau omzet saya sulit mengatakannya. Tapi belasan teman-teman yang bekerja bersama saya di BJO Furface ini saya gaji sesuai UMK Batang,” ucapnya.
Bejo memulai semuanya sejak 2016. Saat ia masih mahasiswa semester 10 di Universitas Negeri Semarang (Unnes) Jurusan Arsitektur. Saat itu ia iseng memanfaatkan limbah-limbah kayu yang melimpah di sekitar rumahnya untuk jadi sandal dan tas.
“Jadi saya tidak modal besar. Uang saku kuliah, saya belikan epoxy resin (bahan kimia untuk memadatkan benda). Bikin sandal dan tas lalu laku, terus saya belikan epoxy resin lagi. Begitu,” ujarnya.
Keisengan itu berubah kegemaran. Bejo akhirnya memutuskan menggeluti itu. Tak pikir panjang, ia memutuskan lulus kuliah pergi ke Yogyakarta. “Ke sana cuma untuk survei minat pasar atas kerajinan saya. Sekaligus menawarkan produk saya dari toko ke toko,” ujarnya.
Mujur, toko-toko yang Bejo ketuk ternyata minat. Setelah Yogyakarta, Bejo hengkang ke Jakarta dan Bali. Lagi-lagi untuk menawarkan produknya. Perjalanan itu membuat Bejo akhirnya melek skema pasar. “Awalnya dari toko ke toko begitu. Sekarang sudah bisa lewat digital, online,” katanya.
2018 Bejo akhirnya memberanikan diri mendirikan BJO Furface. Setahun kemudian, saat baru saja perusahaannya lahir, ia langsung menggandeng pemuda desa. Mulai pelajar hingga buruh yang akhirnya keluar dari pabrik dan memilih bekerja dengan Bejo. “Mereka yang sama sekali buta kerajinan, saya ajari dari nol sampai bisa. Sampai akhirnya bisa mengajari yang baru saya rekrut, begitu terus,” ujarnya.
Perusahaannya belum benar-benar tegak, pandemi Covid-19 menghantam. Tapi Bejo tetap mencoba bertahan. Tahun 2021, dia kembali gas pol. “Sekarang ada sekitar 15 anak yang bekerja bareng saya. Itu di antaranya 9 anak yang stay di workshop, empat yang tenaga penjahit di rumah masing-masing, sisanya admin yang mengurus online,” ucapnya.
Tak hanya urusan di BJO Furface, Bejo juga pernah mengajak pemuda desa menggelar pameran seni rupa di Kemiri Barat, bertajuk Kembar Art Festival. Bersamaan dengan itu, Kembar Art Festival akhirnya mendirikan BJO Art Gallery.
“Tujuannya, ya, untuk mengenalkan seni rupa ke masyarakat. Sesederhana itu. Produk kerajinan BJO Furface juga saya niatkan untuk menciptakan trend baru di dunia fashion dan furniture,” ucapnya. (nra/ida)