RADARSEMARANG.COM – Bagi warga Kecamatan Mijen, Kota Semarang, kesenian kuda lumping atau jaran emblek menjadi tontonan favorit. Tak heran, di setiap penampilannya selalu dibanjiri warga. Mereka selalu menunggu sampai penari kuda lumping mengalami kesurupan.
Sepuluh penari kuda lumping tengah beraksi di Lapangan Embung Wonolopo, Kecamatan Mijen, Minggu (23/10) pagi. Mereka mengenakan busana tari, celana selutut dibalut kain batik dan bertelanjang dada. Wajah mereka dirias warna putih hitam dan mengenakan ikat kepala. Juga membawa kuda lumping di tangan. Diiringi musik gamelan, mereka memainkan jaran emblek yang dibawanya di hadapan Plt Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu, serta seluruh tamu undangan dan ribuan warga yang memadati acara launching Lomba Kampung Hebat 2022 tersebut.
Ya, itulah penampilan grup kesenian tradisional Jawa kuda lumping atau kuda kepang atau jaran emblek. Mereka tergabung dalam Paguyuban Kuda Kepang Turonggo Cipto Budoyo. Kelompok kesenian ini berasal dari Kelurahan Mijen RT 02 RW 02, Kecamatan Mijen, Kota Semarang. Paguyuban terbentuk sejak 17 Agustus 1990. Mereka membentuk paguyuban kudang kepang agar kesenian warisan nenek moyang tersebut tidak punah.
“Memang tujuan kami supaya kesenian yang kami sukai ini tidak punah di nusantara. Kami lalu mengumpulkan temen-temen yang mau untuk diajarkan kesenian Jawa ini,” jelas Ketua Paguyuban Kuda Kepang Turonggo Cipto Budoyo, Muhfatoni, kepada RADARSEMARANG.COM.
Diceritakan, saat awal terbentuk, paguyuban kuda kepang ini hanya terdiri atas 16 orang. Namun seiring berjalannya waktu, kini bertambah jumlahnya menjadi total 180 orang. Tak hanya tampil di Kota Semarang, paguyuban yang dimotori Agustus alias Bopo Gustus ini juga kerap mendapat job tampil di luar Kota Semarang, seperti Salatiga dan Kendal.
“Alhamdulillah, setelah pandemi reda, kami tampil full terus di hari Minggu. Kemarin aja baru tampil di Salatiga dan Kendal,” ujar pria 40 tahun ini.
Dijelaskan, penampilan kuda lumping bisa memakan waktu sampai 12 jam. Namun terpotong-potong menjadi beberapa sesi atau babak. Untuk satu babaknya dapat memakan waktu 25-30 menit. Penampilan dengan waktu setengah jam itu terdiri atas tarian dan aksi kesurupan. Nah, aksi kesurpan ini yang selalu ditunggu penonton. Karena penari bisa beraksi di luar kendali. Makanya, di setiap pementasan besar selalu dipagar bambu agar penonton tidak sampai masuk ke arena.
Muhfatoni membeberkan, untuk menyudahi kesurupan penari, di setiap grup ada pawangnya sendiri. “Setiap ada penari kesurupan, dia bisa tersadar karena ada pawangnya sendiri,” bebernya.
Setiap penampilan kesenian kuda kepang, membutuhkan banyak peralatan, di antaranya gamelan yang terdiri atas gong, saron, kendang, dan boning. Juga seragam jaranan, seperti topeng dan barong.
Untuk tarif setiap tampil, Paguyuban Kuda Kepang Turonggo Cipto Budoyo mematok angka minimal Rp 2 juta. Namun jika tampil all in bisa mencapai Rp 5 juta.
“Kalo tampilnya minimal sekitar Rp 2 jutaan. Tapi kalo all in, udah masuk semua, kayak snack dan sebagainya,bisa nyampe Rp 5 juta,” katanya.
Diakui, bagi warga Mijen dan sekitarnya, Kudang Kepang menjadi hiburan favorit. Bahkan, setiap tampil, penontonnya bisa datang dari luar Mijen. Tak hanya itu, durasi penampilan bisa mulai pagi sampai sore hari, bahkan molor sampai malam hari. “Kalo tampil singkat, warga tidak puas. Kami yang tampil juga tidak puas,” ucapnya.
Paguyuban Kuda Kepang Turonggo Cipto Budoyo tentunya melakukan regenerasi pemain agar kesenian ini tetap lestari. Pihaknya mengajak pemuda kampung di Mijen yang tertarik dengan kuda kepang untuk bergabung.
“Pemuda kampung yang suka kuda kepang kami tarik. Jadi, paling nggak, udah ada anak muda yang mau melestarikan kesenian ini,” kata pria asal Mijen ini.
Muhfatoni berharap agar Paguyuban Kuda Kepang Turonggo Cipto Budoyo ini ke depannya dapat mewakili Kota Semarang di kompetisi kuda kepang tingkat Provinsi Jawa Tengah. (mg24/mg25/aro)