RADARSEMARANG.COM – Matematika dikenal sebagai pelajaran yang sulit. Banyak rumus yang harus dihafalkan. Namun oleh Dr Hanna Arini Parhusip, rumus matematika justru diaplikasikan dalam motif batik.
Sudah 25 tahun, Dr Hanna Arini Parhusip menjadi dosen Fakultas Sains Matematika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Sudah banyak rumus matematika yang dihasilkan dari penelitian yang dilakukan. Awalnya, ia mendapatkan dana dari pemerintah untuk melakukan penelitian. Namun selalu mendapatkan penolakan untuk ide-ide yang diajukan.
“Kalau kita promosi, biasanya menyajikan dalam bentuk barang. Kita display menggunakan laptop. Padahal yang lainnya seperti Fisika atau Kimia pasti ada produk penelitian yang ditampilkan,” katanya kepada RADARSEMARANG.COM.
Dari situ, Hanna –sapaan akrabnya–merasa perlu menampilkan sesuatu yang berbeda dari matematika. Pada akhir penelitian yang dilakukan, tercipta beberapa rumus matematika yang jika divisualisasikan menjadi gambar-gambar yang memiliki nilai estetika. Pada 2013, ia memberanikan diri untuk membuat sesuatu dari hasil visual rumus matematika tersebut. Yakni, tercipta ornamen untuk kostum penari.
“Ornamen-ornamen tersebut saya promosikan. Setelah itu, saya kok merasa ornamen itu seperti sekali pakai. Akhirnya, saya carikan cara, dan akhirnya bisa memamerkan di Konferensi Korea tahun 2014,” ceritanya.
Hanna bertemu dengan orang-orang dari belahan dunia lainnya untuk mempromosikan produk matematika. Seperti promosi software 3D yang didisplaykan. Lalu ia berkomunikasi dengan para peserta. Dan informasi yang didapatkan bahwa para peserta memiliki seminar di tahun 2016.
“Di sisi lain, saya masih memiliki dana penelitian dari pemerintah. Selain ikut seminar tersebut, saya juga ikutkan lomba di Salatiga, dan mendapatkan juara walaupun tidak juara satu,” katanya.
Ia juga mendokumentasikan setiap apapun yang berhubungan dengan yang dipromosikan. Dari dokumentasi tersebut, salah satu warga Jerman melihatnya, dan tertarik. Akhirnya ia memberikan separo dana untuk dirinya, sehingga bisa mengikuti seminar di Jerman.
Dari seminar tersebut, Hanna bisa melihat bagaimana orang-orang Jerman membuat printing 3D dari matematika. Kemudian ia berpikir benda-benda hasil printing 3D tersebut kalau di Indonesia akan dibuat seperti apa.
“Orang Jerman yang membuat software yang biasanya saya gunakan itu, memilik museum di Amerika yang isinya produk matematika,” ujarnya.
Akhirnya, berangkat dari pengalaman itu, pada 2020 Hanna memberanikan diri untuk mengubah mindset bahwa hasil dari penelitian matematika harus ada bentuk yang lebih nyata. Dan akhirnya terciptalah Batima atau Batik Inovasi Matematika dan Odema atau Ornament Decorative Mathematics. Sebuah batik dan ornamen yang menggunakan motif dari rumus matematika.
Rumus-rumus matematika yang dibuat dimasukkan dalam software Surfer. Hingga dari rumus tersebut menghasilkan motif-motif yang estetik. Sudah banyak pola yang ia jadikan motif dalam batik.
“Kita juga bekerja sama dengan perajin batik yang ada di sekitar Salatiga. Karena dari kita sendiri belum ada yang bisa untuk memproduksi batik,” tambahnya.
Saat ini, sudah lebih dari sepuluh UMKM perajin batik yang dilibatkan. Tidak hanya dari Salatiga, tapi juga pembatik Solo, Jogja, dan Semarang. Ia juga selektif dalam memilih perajin batik untuk memproduksi Batima. Karena tidak banyak perajin batik yang memahami konsep rumus matematikanya. Beruntung terdapat beberapa pembatik yang bisa memahami, sehingga motif dari rumus matematika tersebut bisa dibuat dengan baik.
“Jadi, kita hanya memberikan motif-motif yang berasa dari rumus matematika. Kemudian para perajin yang akan menyempurnakan motif tersebut dengan sentuhan tangan pembatik,” katanya.
Pada 2022 ini merupakan tahun ketiga atau tahun terakhir Program Pengembangan Usaha Produk Intelektual Kampus (PPUPIK). Meski begitu, ia akan terus melanjutkan apa yang diciptakan. Terlebih lagi dengan dana sekitar Rp 500 juta yang diberikan akan ia manfaatkan untuk pengembangan produk.
“Ya, saya tidak mau produk Batima ini berakhir, apalagi dengan dana yang sebesar itu. Padahal anak-anak muda saja yang hanya dikasih satu juta bisa menjalankan bisnis,” ungkapnya.
Dengan adanya dana tersebut, produk Batima dan Odema akan diperbanyak, dan akan dipasarkan di beberapa lokasi yang memiliki potensi orang-orang berkunjung. Seperti di Resto Bumi Kayon Salatiga, Malioboro, wisata di Malang, dan beberapa tempat lainnya.
Pasca pandemi Covid-19, Hanna akan merambah di marketplace online. Ada salah satu admin yang secara konsisten menampilkan batik-batik dengan rumus matematika di toko online. Namun tantangan yang masih harus dilakukan, yakni memperkenalkan produk batik miliknya beda dari batik yang lainnya.
“Untuk harga sendiri, karena saya basic-nya bukan pembatik, jadi saya menyesuaikan harga batik yang ada di pasaran. Yaitu, sekitar Rp 150 ribu. Walaupun sebenarnya harganya bisa lebih mahal karena beda dengan yang lainnya,” ujarnya. (nun/aro)
