27 C
Semarang
Saturday, 21 December 2024

Harus Punya Stok Sabar Melimpah, Tidak Boleh Baper

Ns Sambodo Sriadi Pinilih, Relawan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Magelang Raya

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Ns Sambodo Sriadi Pinilih MKep SpKepJ adalah sosok perempuan tangguh yang memiliki kepedulian terhadap kesehatan jiwa maupun mental. Dosen Departemen Keperawatan Jiwa FIKES Universitas Muhammadiyah Magelang (Unimma) ini menjadi relawan Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Magelang Raya.

Mengurusi orang lain memang bukan hal mudah. Kalau nggak sabar, malah bisa ikutan stres. Tapi di sinilah tantangannya menjadi tempat curhat orang-orang yang punya masalah. Khususnya yang punya masalah pikiran dan perasaan. Pipin –sapaan akrab Ns Sambodo Sriadi Pinilih pun harus punya stok sabar yang melimpah. Tidak boleh baperHarus bisa memberi solusi yang bisa membangkitkan semangat seseorang agar melanjutkan hidupnya dengan penuh harapan.

Pipin mengaku tertarik pada dunia kesehatan jiwa sejak menempuh pendidikan D-3 keperawatan pada 1995. Seorang dosennya menyadarkan dirinya. Setelah mengupas materi perkuliahan yang membahas tentang aspek-aspek yang menyebabkan seseorang bisa mengalami masalah kejiwaan, juga siapa yang berpotensi mengalaminya .

“Di situ saya merasa bahwa keluarga saya potensial,” katanya kepada RADARSEMARANG.COM, kemarin.

Hatinya terus bergejolak untuk memperdalam ilmu keperawatan jiwa. Setelah lulus kuliah, ia bekerja sebagai asisten dosen yang mengajar mata kuliah keperawatan jiwa. “Saya semakin belajar, dan memperdalam,” tandasnya.

Ia punya misi. Mencegah terjadinya masalah kejiwaan baru, paling dekat adalah di lingkungan keluarganya. Ia kemudian gencar memberikan promosi kesehatan jiwa. Diimbangi dengan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan lawan bicara, agar yang dikatakannya itu sampai pada kliennya.

“Supaya nggak lupa, ketika dapat materi langsung saya terapkan ke keluarga saya dan diri saya sendiri,” katanya.

Melihat perkembangan kesehatan jiwa di lingkungan keluarga menjadi semakin baik, Pipin memberikan pelayanan kepada masyarakat luas. “Saya merasa menjadi perlu membuat komunitas dan bergabung dengan komunitas yang isinya orang-orang yang punya idealisme sama terhadap kesehatan jiwa untuk membantu masyarakat yang membutuhkan tempat curhat dan pendampingan,” ujarnya.

Wadah ini bukan sepenuhnya untuk mengatasi segala masalah yang dialami klien. Bila ia dan teman-temannya merasa tidak mampu mengatasi, klien akan diarahkan untuk datang kepada orang yang tepat. “Tentunya yang profesional (psikolog dan psikiater, Red),” katanya.

Meski begitu, menjadi tempat curhat orang-orang yang memiliki masalah justru menjadi sebuah tantangan. Bagi Pipin, masalah manusia itu unik. Masalahnya sama, tapi penanganannya bisa beda-beda. Sisi positifnya bila ilmu yang diterapkan kepada keluarga dan berjalan efektif, bisa menjadi modal untuknya bercerita kepada klien.

“Sifatnya kita hanya menceritakan apa yang pernah saya lakukan, karena belum tentu penanganan untuk si A akan tepat untuk si B. Jadi, kita hanya sebagai fasilitator saja,” ungkapnya.

Dalam kesehatan jiwa, kata dia, fasilitator bukan berarti menjadi penyelesai masalah. “Mereka harus menolong diri mereka sendiri. Itu tantangannya. Kita membuat orang yang punya masalah, mampu menolong diri mereka sendiri,” jelasnya.

Dalam mengatasi permasalahan kesehatan jiwa, menurut Pipin, kunci penangananya harus bekerja sama, saling percaya, saling terbuka. Sebagai terapis, ia senang jika banyak orang yang bercerita. Di lain sisi, ada kekhawatiran. Mengapa semakin banyak orang yang mengalami permasalahan kejiwaan? “Tapi sebagai terapis, harus putar otak jangan sampai kita kelelahan sendiri. Karena itu kita bikin tim,” imbuhnya.

Seperti pada kasus perundungan anak, pihaknya akan membentuk tim bersama guru-guru bimbingan konseling (BK). Langkah serupa dilakukan dengan permasalahan lainnya. Contoh lain, penanganan terhadap kasus-kasus percobaan bunuh diri. Maka pihaknya akan menyarankan kepada klien untuk didampingi relawan atau komunitas yang fokus dalam penanganan bunuh diri. Kemudian kasus baby blues, juga akan diarahkan ke komunitas pendamping baby blues.

“Jejaring kita harus dilebarkan, supaya kita tidak seperti ‘superman’, yang apa-apa kita tangani sendiri. Nanti kita yang kelelahan, malah kita tidak bisa membantu orang lain lagi dan malah bisa stres sendiri,” bebernya.

Lalu, di mana letak kepuasan sebagai relawan kesehatan jiwa seperti Pipin? Menurut Pipin, kepuasan itu muncul ketika melihat kliennya memiliki mekanisme pertahanan diri yang bagus. Kemudian mampu meningkatkan daya tilik diri yang positif. Bukan diukur dari cepat dan tidaknya permasalahan yang dihadapi klien selesai.

“Kita melihat mereka punya inisiatif untuk mencari bantuan atau memecahkan masalah mereka. Itu sudah menyenangkan. Artinya, ada peningkatan kemampuan pada diri mereka dalam mengelola diri dan mengatasi permasalahannya,” ungkapnya.

Kepuasan lainnya adalah melihat keluarga klien yang mendukung ke arah positif. Bukan sebaliknya memberikan “penyerangan” dengan berbagai sikap. Seperti acuh, perundungan, atau yang membuat kondisi klien semakin terpuruk.

“Kita juga tidak memposisikan diri kita sebagai satu-satunya yang mengatasi masalah. Itu penting. Kalaupun gagal, kita nggak merasa berdosa atau bersalah. Karena keberhasilan penangan kasus kesehatan jiwa adalah tim, kerja bersama. Klien, keluarga, relawan, dan lingkungan,” katanya.

Sayangnya, banyak masyarakat yang kurang memahami bahwa relawan juga memiliki permasalahan sendiri dan keterbatasan. Baik dari keterampilan, ekonomi, tenaga, dan waktu. “Kita juga manusia, yang bisa merasakan lelah. Kita juga butuh detoksifikasi agar tetap bisa sehat jiwa,” tandasnya.

Ia  mengatasi masalah psikososial dengan diet media sosial, tidak membuka handphone, dan istirahat cukup. “Saya juga melakukan konseling kepada profesional, seperti ke dokter, psikolog, psikiater, atau datang ke senior-senior, dan guru-guru saya,” jelasnya. (put/aro)

 


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya