RADARSEMARANG.COM – Ketika kelas II SD, buku tulisnya penuh dengan gambar mulut Arjuna. Sampai-sampai Yudi Seto sering kena marah guru. Perlahan Yudi Seto menjelma menjadi perajin wayang kulit langganan para dalang dari berbagai daerah.
Yudi Seto tengah memasang kelir (kain sebagai layar wayang kulit, Red) saat RADARSEMARANG.COM tiba di sanggar miliknya, Desa Sangkanjoyo, Kajen, Kabupaten Pekalongan, Jumat (16/9) lalu. Rambut gondrongnya masih tampak basah, seperti baru saja mandi. Ikat kepala bermotif batik masih tergantung di lehernya, belum ia kenakan.
Di ruang berukuran kurang lebih 2×5 meter itu tergeletak sejumlah wayang kulit. Baik yang sudah maupun setengah jadi. Ukurannya variatif. “Bikin wayang itu tirakatnya enggak makan, Mas. Soalnya kalau sambil makan, ya susah,” canda Yudi membuka percakapan sambil melanjutkan pekerjaannya.
Yudi kini berusia 26 tahun. Banyak yang menyebut, mungkin ia perajin wayang kulit termuda di Kabupaten Pekalongan. Alih-alih seperti pemuda zaman sekarang pada umumnya, Yudi memilih terus menggeluti warisan leluhur itu.
“Enggak tahu, saya sudah menjiwai sejak kecil,” kata pemilik nama asli Yudi Setiawan ini ketika ditanya alasannya menjadi perajin wayang kulit.
Darah seni Yudi bukan turun dari kedua orang tuanya. Melainkan dari kakek buyutnya yang merupakan dalang lokal dan pelaku seni kuda lumping. Bapak dan ibunya, kata Yudi, tak ada yang berkecimpung di dunia seni apapun.
“Tapi bapak yang mengenalkan saya pada wayang. Pas kelas I SD, saya sering dibawa beliau keliling nonton pergelaran wayang kulit,” ucapnya sambil memulai proses natah (memahat kulit sesuai pola, Red).
Dari sanalah Yudi tergila-gila pada wayang. Ia jadi suka menggambar wayang di buku tulis sekolahnya. Itu pun cuma gambar bentuk mulut Arjuna. Ia baru merasa puas dengan hasil goresannya setelah melakukannya berminggu-minggu.
“Buku tulis penuh dengan gambar cangkem Arjuna. Soal materi pelajaran, saya lewatkan. Sampai sering dimarahi guru karena gambar wayang terus,” ceritanya.
Semasa SMP, Yudi mulai berlatih membuat wayang kulit di Sanggar Cokro Kembang, Sipait, Siwalan, Kabupaten Pekalongan. Dari sana, ia mulai bisa berkarya. Tapi hasilnya belum ia perjualbelikan.
Lulus SMP, ia tak melanjutkan ke SMA. Yudi mondok di Ponpes Al Ihsan Jampes, Malang, Jawa Timur. Di sana, kegilaannya terhadap wayang bukannya hilang. Melainkan makin menjadi. Ia terus-terusan membuat wayang kulit di pesantren.
“Mungkin kalau santri lain yang begitu, dimarahi. Saya juga bingung kok saya dibiarkan,” ucap penggila tokoh Bratasena ini.
Sekembalinya dari pesantren, Yudi mulai memproduksi wayang kulit dan mendirikan sanggar. Ia memasarkannya lewat online. Perlahan karyanya laku hingga ke luar kota, seperti Jakarta, Tangerang, Solo, hingga Kalimantan.
“Rata-rata pembeli itu kolektor. Tapi ada juga dalang yang langganan, termasuk yang Solo itu,” katanya.
Yudi sukar menyebutkan berapa omzetnya dari produksi wayang kulit itu. Sebab, kata dia, itu tak pasti. Toh, lanjut dia, dia tidak begitu memikirkan hal itu. Pekerjaannya itu ia niatkan sekaligus untuk melestarikan warisan leluhur.
Yudi hanya menyebutkan harga per wayang. Itu pun bergantung ukuran dan kerumitan bentuknya. “Yang kecil Rp 500 ribu-Rp 800 ribu. Paling mahal yang pernah saya jual, Rp 5 juta,” ujarnya.
Kini, Yudi tak hanya memiliki sanggar, melainkan juga galeri. Lokasinya di Sibedug, Kelurahan Kajen, Kecamatan Kajen, Kabupaten Pekalongan.
“Mungkin kalau saya bikin wayang kulit sambil makan, hasilnya nggak sampai titik ini, Mas,” gurau Yudi. (nra/aro)