30 C
Semarang
Monday, 13 January 2025

Mengenal Bambang Eko Prasetya, Pegiat Seni Membaca Relief Candi Borobudur

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Bambang Eko Prasetya sudah berusia 70 tahun. Namun ia masih aktif menjadi pegiat seni membaca relief Candi Borobudur, Magelang. Pria yang akrab disapa Eyang Bep ini yang memelopori pendirian Lembaga Kebudayaan Nitramaya.

Bambang Eko Prasetya kali pertama datang ke Candi Borobudur pada 25 November 1975. Saat itu, ia langsung tertarik dengan relief di candi Buddha tersebut. Maka, ia pun mulai mengamati relief demi relief di seluruh candi tersebut. Ia belajar membaca relief Candi Borobudur dengan teman-temannya yang memiliki hobi yang sama. Bukan hanya warga dalam negeri, tapi juga dari luar negeri. Ia juga mulai tergerak untuk mengajak siapa saja belajar membaca relief lebih seksama. Gerakan pembelajaran membaca relief candi itu dinamakan Sebar atau Seni Membaca Relief.

“Di tengah ketidaktahuan perihal makna cerita relief, saya tidak ingin ada orang yang kemudian seenaknya memaknainya secara keliru,” jelasnya kepada RADARSEMARANG.COM.

Eyang Beb menceritakan, awalnya ada seorang guru yang memintanya untuk mengajarkan budi pekerti. Ia pun memilih kisah dari relief Candi Borobudur dan Mendut untuk diajarkan kepada peserta didik.  Dikatakan, Candi Borobudur memiliki 2.672 panel relief yang terdiri atas 1.212 panel dekoratif dan 1.460 panel relief naratif. “Dalam panel naratif itulah termuat begitu banyak cerita,” katanya.

Menurut Eyang Beb, kisah relief di Candi Borobudur sangat pas untuk pembelajaran budi pekerti. Di antaranya, mengajarkan bagaimana untuk berpengertian benar, berkata benar, berpandangan benar, bermata pencaharian benar, dan berupaya benar. Dengan cerita dari relief Candi Borobudur itu, ia berharap supaya orang lain terinspirasi untuk berbuat baik, dan teredukasi mengembangkan karakternya menjadi orang yang baik. “Awalnya cinta akan kisah dari leluhur dan ingin mengenalkan kepada semua orang tanpa memandang anak sendiri atau orang lain,” ujarnya.

Eyang Bep yang sudah sejak 2010 berkecimpung menjadi pegiat seni membaca relief candi mengaku, sering belajar membaca relief Candi Borobudur dengan teman-temannya yang memiliki kecocokan yang sama. “Ya, sudah sering diundang di berbagai lembaga di Indonesia dan beberapa negara tetangga, seperti Thailand, Singapura, dan Malaysia,” akunya.

Selain berkiprah di seni membaca relief candi, dia juga aktif dalam kegiatan seni lainnya. Seperti membaca puisi, teater, dan merintis Wayang Jataka. Bentuk Wayang Jataka ini ada wayang kulit dan wayang boneka. “Iya, wayang itu digunakan sebagai media untuk mempermudah pendalaman isi cerita relief candi,” katanya.

Diakui, tak jarang ada orang yang meragukan kemampuan Bambang membaca relief candi. Meski demikian, hal itu tidak menghentikan aktivitasnya tersebut. Ia mengajak banyak orang dari berbagai kalangan belajar membaca kisah dari relief candi. “Saya tidak bekerja berdasarkan reaksi orang,” ujarnya.

Dia ingin terus mengajak lebih banyak orang, terutama anak-anak dan generasi muda untuk belajar mengenal lebih jauh Candi Borobudur dengan membaca setiap kisah reliefnya. Hal yang perlu ditekankan, kata dia, adalah menebarkan budaya kebajikan. Setiap insan tentu ingin memiliki kehidupan bahagia dan sejahtera, di mana harus memberi lakon yang baik dan menjauhi hal keburukan.

“Membangun inspirasi dan membangun edukasi tidak ada kata sulit, dan tidak ada batas terlambatnya selama hidup masih mengupayakan yang terbaik dari kita,” tuturnya.

Eyang Bep mengaku, tidak akan berhenti melakoni profesi ini sampai akhir hayatnya.“Saya ingin terus belajar. Saya tidak akan berhenti.  Risiko apapun sudah menjadi pilihan saya,” katanya. (rfk/mg6/aro)

 


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya