RADARSEMARANG.COM – Bank Sampah Desa Bligo, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten Magelang ini mampu menyulap sampah rumah tangga menjadi pundi-pundi rupiah. Bank sampah dengan personel bapak-bapak desa ini pernah dinobatkan sebagai The Rubbish Man oleh Pemerintah Kabupaten Magelang, dan Juara II Bank Sampah Award Nasional oleh Desa Berdaya Foundation.
Namanya Bank Sampah Desa Bligo Beriman. Sudah dirintis sejak 20 Maret 2006. Tujuannya tak lain hanya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah. Upaya tersebut memang tak mudah dan instan begitu saja. Prosesnya panjang. Selalu ada pasang surut hingga benar-benar berhasil mengonversi sampah jadi rupiah.
Namun di tangan segelintir warga Desa Bligo ini menjadi pionir sekaligus teladan dalam pengelolaan sampah. Uniknya, pelopor mayoritas kalangan bapak-bapak. Bayangkan, dengan usia yang tak lagi muda, spirit peduli lingkungan masih membara.
Kesadaran terhadap persoalan sampah sebenarnya sudah tumbuh 16 tahun yang lalu. Kelima bapak tersebut adalah Wimbo Abendhono, Sumardi, Sumardiyono, Wijonarko, dan Budi Susanto. Kelima pandawa itu menjadi perintis Bank Sampah Bligo Beriman. Berkat konsistensinya, hingga saat ini ada sekitar 500 nasabah tetap bank sampah.
“Prosesnya memang panjang hingga menjadi seperti saat ini. Dulu kesadaran masyarakat masih minim. Belum ada perhatian dari pemerintah desa. Alhamdulillah sejak 2016 kita didukung bahkan menjadi mitra Rumah Zakat,” kata Sumardiyono kepada RADARSEMARANG.COM.
Dikatakan, bank sampah ini dibentuk karena keprihatinan terhadap kondisi sampah di masyarakat. Dampak yang ditimbulkan beragam. Mulai dari mencelakai orang hingga mengotori lingkungan. Juga menjadi sebab rusaknya fasilitas umum. Apalagi Desa Bligo mempunyai beberapa destinasi wisata. Sehingga kebersihan lingkungan menjadi sesuatu yang diprioritaskan.
Sumardiyono mengungkapkan, jika dikalkulasi Desa Bligo bisa menghasilkan empat ton sampah per bulan. Tak sedikit masyarakat yang membakar dan membuang sampah di lingkungan sekitar. Melihat fenomena itu, ia merangkul pemerintah desa untuk memberikan edukasi dan sosialisasi pengelolaan sampah bersama.
“Sempat vakum di tahun 2014 sampai 2015. Masyarakat pun merespon untuk tetap diteruskan. Artinya kan sangat dibutuhkan,” timpal Sumardi.
Ia mengungkapkan, secara teknis sampah rumah tangga dikumpulkan menjadi satu. Kemudian dijual ke pengepul rongsokan. Pengambilannya ke nasabah pun dilakukan oleh petugas yang saat ini sudah ada di setiap dusun. “Kelebihan bank sampah di sini itu selesai di tingkat desa. Tidak membebani TPS kabupaten,” katanya.
Operasional keliling untuk mengangkut sampah di seluruh desa hanya menggunakan dua armada. Yaitu, satu unit motor roda tiga Tossa dan mobil. Kemudian sampah dikumpulkan di gudang bank sampah. Lalu dipilah kategori plastik, kertas, dan lainnya, baru kemudian dijual ke pengepul.
“Sebelum ada bantuan dari desa pada tahun 2019 pun kita patungan dalam pengadaan alat. Mulai membeli timbangan, membuat logo, dan sarana pendukung lainnya. Alhamdulillah berkat keikhlasan, kerja sama, dan kerja keras petugas dan warga Bligo saat ini sudah tidak ada permasalahan sampah. Sebab, sudah dikelola secara mandiri,”terangnya.
Kondisi lingkungan saat ini berbeda jauh daripada sebelumnya. Kelancaran air di selokan lebih stabil. Kesadaran masyarakat terhadap sampah juga meningkat, serta lingkungan lebih asri. Bahkan sudah jarang pemulung yang melintas di Desa Bligo. “Desa Bligo juga kerap menjadi objek penelitian dan KKN mahasiswa terkait pengelolaan bank sampah,” katanya. (mia/aro)