RADARSEMARANG.COM, Merebaknya kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang menyerang hewan ternak sapi membuat sejumlah peternak waswas dan takut. Salah satunya di area Sentra Ternak Sapi Potong Desa Polosiri, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang.
NURFAIK NABHAN, Radar Semarang
Mayoritas warga Polosiri memiliki hewan ternak sapi, baik yang berskala sedikit maupun besar. Di Polosiri juga terdapat KTT atau Kelompok Tani dan Ternak Bangun Rejo yang menjadi wadah bagi para peternak di desa ini.
“Kalau di kelompok ternak sendiri saat ini terdapat 59 peternak yang masih aktif di dalamnya, Mas,” ujar Ketua KTT Bangun Rejo, Juwarto.
Ia mengungkapkan, di Polosiri sendiri masih belum terdapat yang terjangkit PMK untuk hewan ternak lokalnya. Namun terdapat satu hewan ternak yang dibeli dari Sumberlawang yang terjangkit, dan saat ini sudah menularkan ke delapan sapi. Kondisi sekarang sapi-sapi yang terjangkit PMK sudah dikarantina dan disterilkan.
Juwarto yang sudah menjadi peternak sejak 2001 saat ini memiliki kurang lebih 40 ekor sapi. Ia mengaku waswas dan takut dengan PMK. Sebab, hal tersebut bisa berpengaruh di produktivitas pertumbuhan sapi itu sendiri, serta mempengaruhi harga jualnya.
“Pasti akan turun Mas harganya untuk sapi yang sudah terkena penyakit,” ucapnya.
Jauh sebelum PMK menyebar, di Polosiri sendiri jarang ada penyakit yang menyerang hewan ternak. Hanya sebatas demam dan pilek yang menyerang sapi-sapi potong tersebut.
Juwarto mengatakan, penyakit seperti itu mudah untuk ditangani. Berbeda dengan PMK yang proses penyembuhannya bisa lebih dari 15 hari. Kasus kematian sapi di Polosiri sendiri pun terbilang kecil. Hanya 100:1 perbandingannya.
Juwarto menuturkan, sejak nenek moyang dulu, Desa Polosiri sudah menjadi pusat ternak sapi. Namun terbentuknya kelompok ternak baru pada 2008 dengan tujuan untuk mengambil kredit ketahanan pangan untuk para peternak. Pada 2011, kelompok ternak mengalami peningkatan anggota. Yang mulanya 20 orang, hingga sekarang menjadi 59 orang yang aktif di kelompok ternak tersebut.
“Di tahun 2013, kelompok ternak sini juga pernah maju lomba tingkat nasional, Mas. Dan mendapatkan juara dua,” katanya.
Untuk mengantisipasi PMK, Juwarto dibantu tiga karyawannya setiap hari harus melakukan pembersihan kandang. Mulai membersihkan limbah kotoran padat dan cair, hingga melakukan penyemprotan disinfektan. Hal ini dilakukan untuk memberikan perlindungan, serta peningkatan kesehatan hewan ternak. Terlebih lagi saat ini mendekati momen lebaran haji.
Persiapan Juwarto untuk lebaran haji sudah ia lakukan sejak tiga bulan sebelum Idul Fitri lalu. Ia mengatakan, jika sudah mendekati Idul Adha, harga sapi bakalan naik. Yang mulanya harga bisa Rp 18 juta hingga Rp 20 juta, saat ini sudah naik Rp 3 juta.
Ia juga mempersiapkan dari segala aspek, mulai program penggemukan sapi yang harus memperhatikan pola makan serta pemberian konsentrat.
“Kesehatan sapi juga salah satu yang mempengaruhi harga sapi itu sendiri, Mas,” ucapnya.
Di Polosiri sendiri, lanjut dia, masih melakukan program penggemukan sapi, di mana jika para peternak ingin menjual sapi di hari Idul Adha. Dua bulan atau tiga bulan sebelumnya harus membeli sapi yang berumur dua tahun yang bisa dikatakan sudah powel. Kemudian untuk pemberian konsentrat di makanan sapi tersebut 2 persen dari berat badan. Namun jika sapi yang masih kecil atau anakan, pemberian makannya berbeda. Karena masih dalam proses pertumbuhan tulang.
“Kadang satu bulan bisa kurus dan bisa gemuk, Mas,” katanya.
Di samping itu, selain para peternak yang melakukan antisipasi PMK, Pemerintah Kabupaten Semarang dan dinas terkait juga ikut dalam mengantisipasi. Tiga bulan sekali, petugas Dinas Peternakan melakukan pengecekan rutin. Namun jika terdapat kondisi darurat peternak bisa menghubungi langsung dengan petugas kesehatan. Dan itu sifatnya berbayar.
Juwarto menjelaskan, selain pemerintah kabupaten, pemerintah pusat juga sering memberikan bantuan berupa dana hibah, serta edukasi dan pelatihan bagi para peternak seperti dirinya. Hal tersebut dinilai sangat penting bagi para peternak agar mendapatkan pengetahuan. PMK dan penyakit lainnya sangat berpengaruh pada penjualan.
“Karena begini, Mas, untuk harga sapi jugrug bergantung dengan berat badan. Biasanya Rp 55 ribu per kilo. Tapi kalau sudah terkena penyakit, pasti harga jualnya jatuh, Mas. Yang awalnya laku Rp 25 juta per ekor menjadi sekitar Rp 10 juta,” tandasnya.
Hal yang paling mahal, menurut Juwarto, dari segi perawatan serta konsentrat untuk pakan sapi. Disamping untuk membayar karyawannya, ia juga mengeluhkan kenaikan harga konsentrat merek Wheat Bran mencapai Rp 250 ribu per karung. Untuk sapi-sapi yang dimiliki oleh Juwarto, per harinya ia harus mengeluarkan uang Rp 45 ribu untuk membeli konsentrat. Ditambah lagi dengan bahan pakan tambahan lainnya, seperti ketela, jagung, dan limbah roti.
“Kalau konsentratnya kita oplos Mas biar tidak boros, dan tidak cepat habis,” ucapnya.
Ia berharap, pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, pemerintah pusat, dan dinas terkait untuk segera menanggulangi wabah PMK. Karena selain berpengaruh terhadap hewan ternak, juga berdampak pada para peternak nantinya. (*/aro)