RADARSEMARANG.COM – Tradisi pembacaan salawat ternyata tidak hanya menjadi budaya di kalangan umat Islam. Tapi umat Katholik di Dusun Kemloko 1, Desa Kenalan, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, juga memiliki tradisi serupa, namun beda bacaan.
Sejumlah orang berkumpul di rumah Henricus Suroto, warga Dusun Kemloko 1, Desa Kenalan, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Senin (30/5) sore. Dari rumah sederhana itu, terdengar sayup-sayup suara pembacaan selawat.
Iringan suara tabuhan rebana juga mengiringi merdunya pembacaan selawat. Tampak beberapa warga duduk bersila memakai blangkon. Tidak lupa dengan pakaian adat Jawa serta kebaya bagi yang perempuan.
Sore itu warga Dusun Kenalan mengadakan kegiatan budaya lokal setempat yakni pembacaan Selawat Jawa Katholik beserta brokohan pedet. Bekerjasama dengan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud Ristek serta dari eksotika desa.
Henricus Suroto, warga sekaligus sesepuh di Desa Kenalan menjelaskan, Selawat Jawa Katholik merupakan budaya yang ada sedari dulu. Karena di wilayah tersebut banyak umat yang beragama Katholik. Isi selawat tersebut merupakan puji-pujian yang ada di Alkitab, namun dikemas dengan Bahasa Jawa.
“Selawatan Jawa Katholik merupakan budaya spiritual. Ada juga di sini (Desa Kenalan) maulid untuk yang umat Islam,” ujar Suroto.
Kata dia, dalam Selawatan Jawa Katholik, alat yang mengiringi yakni rebana. Namun alat yang digunakan sedikit berbeda dengan rebana untuk salawat dalam Islam.
Di Desa Kenalan terdapat dua kelompok Selawat Jawa Katolik. Biasanya untuk selawatan dilakukan ketika Jumat Kliwon maupun Selasa Kliwon. Kebanyakan pegiatnya adalah orang tua, karena kebanyakan kaum mudanya merantau. Suroto pun berharap budaya tersebut ke depan tetap lestari.
Untuk budaya brokohan pedet merupakan bentuk syukur atas kelahiran anak sapi. Mengingat di wilayah tersebut banyak warga yang memelihara sapi. Warga biasa akan menggelar syukuran makan bersama dan memanjatkan doa. Setelah itu, anak sapi atau pedet diberi makanan yang digunakan untuk syukuran.
“Brokohan itu dari kata barokah. Tujuannya adalah sebagai rasa syukur pada Tuhan atas lahirnya pedet. Terlebih untuk induknya supaya diberi keselamatan,” ujar Suroto.
Sementara Chusnul Chotimah, salah satu anggota Tim Riset Eksotika Desa menuturkan, pihaknya bekerjasama Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Dirjen Kebudayaan, mengadakan acara tersebut sebagai uji coba travel pattern. Dengan mengangkat potensi kebudayaan yang ada di sejumlah desa yang ada di wilayah Borobudur.
“Selama ini pembangunan fokusnya di candi kan ke infrastruktur. Tapi bagaimana SDM di wilayah Borobudur sendiri,” jelasnya. (man/ida)