RADARSEMARANG.COM – Indonesia yang kaya akan ragam tanaman, menjadikan masyarakatnya kreatif dan inovatif. Sebagian menjadikannya produk jamu, dan masyarakat lainnya menjadikan minuman sehat yang khas dan bercita rasa enak. Di antaranya ada minuman teh benalu, teh daun kelor, dan minuman alang-alang atau lenceng.
Tumbuhan benalu biasanya selalu dibasmi saat tumbuh di inangnya. Tanaman itu menumpang pada tanaman lain dan menghisap nutrisi tumbuhan yang ditumpanginya. Sebagai parasit, benalu dianggap merugikan tanaman lain. Siapa sangka, benalu yang dikenal negatif itu punya banyak khasiat.
Petani di perkebunan teh Pagilaran, Kabupaten Batang, ini sudah memanfaatkannya sejak tahun 90-an. Tanaman yang biasa disebut kemadoan itu tak lagi dianggap sebagai hama. Walaupun terbilang langka, benalu teh terus dicari keberadaannya.
Wartawan RADARSEMARANG.COM bertemu dengan Sixtin Kristiana, 27, salah satu warga, Dukuh Pagilaran, Desa Keteleng, Kecamatan Blado. Ia punya Kedai yang menjajakan teh benalu sebagai produk unggulannya. Kedai itu bernama Seatap. Lokasinya tidak jauh dari pintu masuk Agrowisata Pagilaran.
“Sebagai hama, benalu teh memang harus dibasmi. Karena bisa merusak inangnya. Mindset itu berubah seketika saat diketahui manfaat yang terkandung di dalamnya,” kata Sixtin.
Khasiat tersebut baru diketahui Sixtin sekitar tahun 90-an. Seseorang dari luar daerah tiba-tiba datang tidak sengaja dan bertemu dengan ayah Sixtin. Ia mencari benalu teh. Karena tidak langsung bisa ditemukan, akhirnya dia memesan dan minta dicarikan benalu teh. “Orang itu disuruh dokternya, karena habis operasi,” ujarnya.
Sejak saat itu, benalu teh diketahui punya banyak khasiat untuk kesehatan. Teh tersebut dipercayai bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Seperti kanker, tumor, darah tinggi, dan penyembuhan buat yang habis operasi. Nilai jualnya juga cukup menjanjikan.
Kabar positif terhadap benalu teh itu cepat tersebar ke warga sekitar. Mereka ikut mencari dan mencoba menjajakan benalu teh yang dikeringkan. Saat itu jumlahnya masih melimpah. Harganya juga tidak terlalu tinggi. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak warga yang berburu benalu teh. Kemudian memprosesnya menjadi teh benalu. Kegiatan itu pun menjadi usaha sampingan bagi para pemetik teh di sana.
Jumlah benalu teh ternyata terus berkurang, lantaran seringnya diburu warga. Akhirnya, benalu teh kini menjadi barang langka. Walau demikian, Sixtin bersama keluarganya tetap berusaha memproduksi teh benalu.
Produk itu kini menjadi salah satu produk unggulan warga Dukuh Pagilaran. Tentunya, selain produk teh Pagilaran yang lebih banyak dikenal masyarakat. Karena langka, harga teh benalu jadi kian mahal. Per 100 gramnya bisa mencapai Rp 50 ribu.
Sampai sekarang, masih banyak yang belum tahu perihal khasiat teh benalu. Teh benalu sendiri diolah dari daun dan dahan benalu yang dikeringkan. Proses pembuatannya membutuhkan waktu berhari-hari. Butuh waktu 4 sampai 5 hari untuk menjemur benalu hingga kering. Tak sampai disitu, sesudah kering, benalu belum bisa disajikan. Benalu kering harus disangrai terlebih dahulu selama 15 menit. Baru bisa disajikan dengan seduhan air panas.
Proses penyeduhanya tidak berbeda dengan teh biasa. Benalu kering yang telah dicampur air panas didiamkan selama beberapa menit. Selanjutnya, daun dan potongan dahan ditiriskan. Teh benalu siap disajikan dengan campuran gula aren. Rasa teh benalu lebih sepat dibandingkan dengan minuman teh pada umumnya.
Produksi teh benalu milik Sixtin dilakukan setiap hari. Ia ingin memastikan bahwa stok teh benalu selalu tersedia, walaupun bahan baku sulit dicari. Tiap kali produksi, keluarga Sixtin bisa menghasilkan 10 bungkus kemasan 50 gram atau setara 500 gram. Produk tersebut disetorkan ke kawasan wisata Pagilaran. Setiap minggu, teh benalu produksinya bisa terjual hingga 100 bungkus.
Ia ingat betul, teh benalu itu dahulu hanya dibungkus plastik biasa. Sejak 2016, pengemasan dilakukan lebih modern, dengan standing pouch. “Teh benalu juga saya pasarkan di internet. Penjualannya sudah sampai Sulawesi, Jawa Timur, dan Jawa Barat,” terangnya. (yan/ida)