RADARSEMARANG.COM – Enrico Choirul Abdul Majid masih muda. Usianya 26 tahun. Namun sejak masih kuliah di Universitas Diponegoro (Undip), dia sudah menekuni bisnis. Ia membuka warung burjo kekinian. Namanya Bursky atau Burjo Kekynian. Bahkan, kini sudah ada sembilan tempat.
Enrico Choirul merintis bisnis kuliner ini pada awal 2020. Hal ini bermula saat ia masih kuliah. Kebiasaannya makan di warmindo membuatnya terinpsirasi membangun usaha kuliner yang sama. Tentunya dengan nama dan inovasi yang berbeda.
“Hampir setiap hari saya nongkrong di warmindo dekat kampus. Pulang kuliah, main saat malam saya pasti kesitu. Nah, dari situ saya kenal dekat dengan pegawainya. Akhirnya, saya tanya tentang omzet, cara bangun usaha, dan tanya-tanya masalah bisnis yang lain,” jelasnya kepada RADARSEMARANG.COM.
Sedari kecil, Enrico memang sudah terbiasa berjualan. Seperti menjual vendor jersey, kaos, dan jaket. Didikan orang tuanya selalu mengajarkannya untuk hidup mandiri. Ia pun mencari uang tambahan dengan berjualan.
“Saat ngobrol-ngobrol itu ternyata saya tahu usaha seperti ini hasilnya lumayan. Lalu saya ngomong ke pegawainya saat besok ada modal tak suruh bantu-bantu masak,” ceritanya.
Ia mengaku, sejak 2015 mempunyai cita-cita mempunyai usaha burjo. Namun baru empat tahun kemudian, ia punya modal dan merealisasikannya. Awalnya, ia membutuhkan modal sekitar Rp 150 juta. Sebanyak Rp 30 juta digunakan untuk sewa tanah, dan sisanya untuk pendirian bangunan serta peralatan yang lain. Seperti peralatan masak, meja, kursi, dan bahan baku.
Saat merintis usaha, ia memilih nama Bursky. “Bursky itu burjo kekynian,” katanya. Menariknya, di usahanya ini tidak menyediakan menu bubur kacang hijau. Menu favoritnya justru ayam bumbu bali.“Ini kan burjo kekynian untuk generasi milenial. Saya merasa peminat bubur kacang hijau itu sedikit. Jadi, memang sengaja tidak saya sajikan menu tersebut,” kata alumnus Administrasi Bisnis FISIP Undip ini.
Baru beberapa bulan membuka usaha, ia langsung berhadapan dengan pandemi Covid-19 pada awal 2020. Ia mengakui, membangun usaha kuliner di tengah pandemi membuatnya harus berputar otak untuk bertahan. Suka duka menjalani bisnis pernah dirasakan. Riko –sapaan akrabnya– bahkan pernah menutup warungnya selama tiga bulan karena adanya pandemi Covid-19 ini. Hal itu dilakukan guna mematuhi peraturan pemerintah.
“Saya baru buka satu bulan, langsung pandemi. Jadi, mau tidak mau harus saya tutup selama tiga bulan karena lockdown dan PPKM,” ujar Riko.
Namun berkat kegigihannya dalam menjalani usaha, saat ini ia memiliki sembilan cabang Bursky di Kota Semarang. Yakni, dua Bursky di Tembalang, Jalan Pamularsih, Genuk, Ngaliyan, Pleburan, Kedungmundu, dan lainnya.
Ke depan, ia akan membuka Bursky di Jogja. Riko bahkan telah menjadikan bisnis burjonya ini untuk franchise. Modal awalnya Rp 100 juta, akan mendapatkan peralatan masak, meja, kursi, dan bahan baku secara lengkap.
Saat ini, ia telah memiliki 45 karyawan. Setiap outlet, ia mempekerjakan lima karyawan dengan sistem sif. “Burjo ini kan buka selama 24 jam, jadi saya pakai sistem sif untuk karyawan,” ungkapnya.
Riko menyediakan tempat nongkrong untuk anak-anak muda dengan ruangan yang luas dan fasilitas yang lengkap, seperti free wifi. Menurutnya, tempat yang bersih dan luas menjadi andalan dari warung Bursky-nya ini.
Untuk bertahan di tengah gempuran pandemi, Riko terus membuat inovasi baru. Seperti menambah menu masakan. Baginya, konsisten, pantang menyerah, dan terus bertahan menjadi kunci bisa menjadi sukses.
“Sebelumnya saya juga pernah gagal menjalani bisnis konveksi karena tidak konsisten. Kali ini, saya membuktikan dengan konsisten bisnis kuliner yang saya geluti ini bisa bertahan dan diminati banyak orang,” ujarnya. (kap/aro)