RADARSEMARANG.COM – Tsaniatus Solihah merupakan ketua Forum Keadilan dan Kesetaraan Gender (FKKG) Jawa Tengah sekaligus direktur Anantaka. Sejak masa kuliah ia sudah aktif menggerakkan pemberdayaan perempuan di wilayah Semarang.
Namun ia meyakini bahwa saat ini semua perempuan bisa menjadi Kartini. Dimulai dari memerdekakan diri sendiri dan mendapat hak sebagai manusia utuh. Lalu dapat membantu orang-orang sekitarnya hingga masyarakat luas.
“Korban kekerasan yang berani speak up dan bangkit juga Kartini bagi dirinya,” ujar Ika-sapaan akrabnya kepada RADARSEMARANG.COM.
Perempuan yang berusaha mendapatkan pendidikan dan menjadi probadi mandiri juga layak disebut Kartini. Menurutnya, perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia masih jauh dari kata selesai.
Meski begitu, Ika mengagumi perjuangan Kartini di masa lampau. Perjuangan Kartini membuka akses pendidikan untuk kaum perempuan pada masa penjajahan Belanda menjadi titik awal emansipasi peremuan kala itu.
Masa saat perempuan benar-benar dianggap masyarakat kelas dua atau sekadar konco wingking yang lekat dengan tugas domestik. Bahkan untuk duduk saja perempuan tak bisa mendapat tempat yang setara.
“Dia berhasil membuka pandangan laki-laki, kalau perempuan juga berhak bersekolah dan mendapat pendidikan,” ungkap Ika.
Dalam perjalanannya, Ika terinspirasi oleh ibunya saat masih tinggal di daerah perdesaan di Pemalang. Ia merasakan sendiri betapa orang tua tak memikirkan pendidikan untuk anaknya, terlebih anak perempuan. Sehingga ibu Ika berusaha membuka akses sekolah gratis agar mereka mau menyekolahkan anaknya.
Saat berkuliah di Semarang pada 2005 lalu, ia mulai terjun di daerah pinggiran Semarang, memperjuangkan akses pendidikan anak-anak jalanan. Ia mendapati banyak anak-anak yang tinggal di kawasan kumuh diabaikan oleh orang tuanya.
“Banyak orang-orang dari luar daerah jadi gelandangan dan hidup nggak layak di sini. Pas punya anak, anaknya nggak bisa dapat akses sekolah gratis karena NIK-nya bukan warga Semarang. Orang-orang ini perlu kita bantu,” cerita Ika.
Semakin terjun ke dunia itu, Ika menemukan banyak perempuan bekerja sebagai pekesja seks komersial untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan tak jarang anaknya ikut bekerja saat malam. Hal ini berpotensi menjadi siklus yang terus berulang di masa depan anaknya.
“Kan ada istilah children see, children do. Mereka melakukan apa yang dilihat,” ujar Ika.
Ika terus mengedukasi orang tua untuk lebih bertanggung jawab pada anaknya. Salah satunya dengan mempertahankan dan mendukung pendidikan anak setidaknya sampai lulus SKA atau SMK.
Program yang masih berlanjut sampai sekarang yakni Jaring Mimpi. Ia memberi uang saku sekolah untuk anak-anak jalanan dengan perjanjian orang tua harus menjamin keberlanjutan pendidikan anaknya hingga 12 tahun.
Ika juga menceritakan maraknya prostitusi di Semarang pada tahun 2005-an dengan sebutan ciblek, teh poci, hingga gadis mio. Menurutnya perempuan yang memilih jalan hidup tersebut kurang mendapat akses pendidikan. Sehingga perempuan PSK merasa tak punya pilihan lain dan berpikir bahwa nilai dirinya terletak pada tubuhnya yang dijual kepada orang lain.
Saat ini Ika aktif di FKKG Jateng, khususnya menyasar di Semarang untuk mendorong keterlibatan perempuan pada program Sang Puan. Baginya, perempuan tak hanya dilibatkan dari segi jumlah saja untuk formalitas. Namun dari segi kualitas, perempuan harus benar-benar memiliki kemampuan.
Bila ibu-ibu ikut serta dalam musrenbang, maka harus memiliki agenda yang diusung dan memahami isu yang ia terjuni. Sedangkan laki-laki juga perlu mulai mendalami isu gender untuk bersama-sama mendobrak kultur patriarki.
Dalam hal ini FKKG Jateng terus mengedukasi masyarakat dan mengadvokasi pemerintah untuk melahirkan kebijakan yang adil dan ramah gender. Di LPMK maupun kumpulan RW, Ika menyerukan pembahasan masalah sosial. (taf/zal)