RADARSEMARANG.COM – Hasil dari pembinaan kemandirian yang dilakukan Lapas Perempuan Semarang berhasil merujuk dua narapidana untuk menjadi wirausahawan. Keduanya, Kurnia Tanoto dan Abigail Tarigan. Mereka bakal membuka usaha batik. Seperti apa?
Di penjara tak sekadar menjalani masa pidana semata. Lebih dari itu, para narapidana juga bisa mengembangkan diri menjadi orang yang kreatif. Tujuannya, supaya bisa menjadi manusia yang lebih baik di kemudian hari selepas menjalani masa pidana.
Saat ditemui RADARSEMARANG.COM di ruang bimbingan kerja (bimker) Lapas Wanita Bulu Semarang, sejumlah narapidana tengah sibuk mengutak-utik kain. Kain ini menjadi sarana narapidana yang terseret kasus narkotika ini berkreatif dan menghasilkan uang. Berkat kemampuan dan kreativitas yang dimiliki, mereka bisa bergabung dalam bimker membatik.
Kurnia Tanoto mengungkapkan, awal mula tertarik pada bimker ini karena penasaran seperti apa proses pembuatan batik. Diakuinya, caranya tidak mudah. Ia memulai dari nol, karena tidak memiliki basic sama sekali di bidang membatik. Beruntung, ia memiliki keterampilan menggambar. Sehingga bisa disalurkan dalam bentuk pola.
“Jujur, awalnya susah karena nggak tahu caranya membatik. Tapi, karena hobi menggambar jadi ditelateni,” ujarnya.
Kemampuan inilah yang membuatnya lolos assessment. Ia menjelaskan, awalnya membuat pola sendiri tanpa ngeblat lewat kertas atau disebut nyungging. Kemudian gambar yang sudah jadi ditunjukkan ke petugas. Jika memenuhi syarat dalam artian bagus dan layak, dilanjutkan dikerjakan di kain atau njaplak (njiplak) yang berarti pemindahaan pola dari kertas ke kain.
Tahap selanjutnya nglowong atau melekatkan lilin yang disesuaikan dengan pola. Lalu ngiseni yakni memberikan ornamen. Nyolet yakni mewarnai dengan kuas. Mopok atau menutup bagian yang diwarnai dengan malam. Kemudian nembok atau tahap menutup bagian latar belakang yang tidak diwarnai.
Berikutnya ngelir atau proses pewarnaan. Lalu, nglorod atau meredam kain ke dalam air mendidih untuk meluruhkan malam. Tidak sampai di situ, proses selanjutnya ada ngrentesi yang merupakan proses memberikan titik pada klowongan menggunakan canting dengan jarum tipis. Nyumri yaitu menutup bagian tertentu dengan malam. Dan terakhir nglorod.
“Paling susah pegang canting, takutnya netes malamnya terus pengaruh gambarnya gak sesuai karena mbleber, lalu pas dilorod gak keluar gambarnya,” jelasnya.
Ia mengatakan, dalam pengerjaan ini membutuhkan mood yang baik. Sebab, jika mood jelek, warna yang dibuat tidak akan keluar dengan maksimal. Alhasil, produknya gagal. “Pernah lagi nggak mood karena keinget keluarga dan anak. Jenuh pengin pulang, perasaan itu kebawa, hingga pekerjaan membatik jadi rusak,” ceritanya.
Meski begitu, garapannya masih bisa di-dandani. Bahkan, ada yang dibeli oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jateng A Yuspahruddin, Kepala Divisi Administrasi Jusman Ali, dan Anggota Komisi III DPR RI saat berkunjung ke lapas.
Dari situ, Kurnia bisa mendapatkan premi. Pernah dalam sebulan menghasilkan Rp 1,7 juta. Sementara bagi Abigail Tarigan, ia paling banter mendapatkan Rp 1,5 juta. Uang itu mereka pakai untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagian ada yang dikirim ke rumah, dan ditabung untuk ongkos pulang.
Berkat mengikuti pembinaan kemandirian membatik ini, nanti jika sudah bebas, keduanya bakal membuka usaha bersama. Duo bestie (sahabat dekat, Red) ini akan membuat brand sendiri. “Buat yang modalnya gak banyak, bikin yang mudah dulu. Seperti ecoprint atau batik alam. Karena yang penting kita cari pangsa pasarnya dulu,” kata Abigail.
Ia mengungkapkan, ide ini tercetus supaya mereka bisa menunjukkan bahwa selama di penjara bisa berbenah setelah melakukan kesalahan. Selain itu juga bisa menyalurkan ilmu yang didapat di lapas saat nanti sudah bebas.
“Kami sudah planning mau buat usaha berdua, kerja sama. Kurnia pulang lebih dulu, Juni nanti. Tugasnya dia yang cari tempat dulu. Usahanya insya’Allah di Jakarta Selatan,” ujarnya.
Sebelumnya, keduanya tidak saling kenal. Mereka dipertemukan di lapas selang dua tahun. Kurnia mendapat hukuman 11 tahun 6 bulan, sementara Abigail 7 tahun 9 bulan. Keakraban keduanya bukan hanya karena satu bimker, tapi juga karena tinggal satu kamar di blok 7. (ifa/aro)