29 C
Semarang
Thursday, 17 April 2025

Terampil Operasikan Mesin Jahit, Napi Lapas Perempuan Bulu Garap Pesanan Ribuan Baju

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM, Semarang – Pembinaan kemandirian Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Semarang semakin baik. Bahkan hasil karya para narapidana (napi) melalui Bimbingan Kerja (Bimker), dilirik pihak ketiga. Kini tengah menggarap ribuan baju. Seperti apa?

Tak terasa di penjara. Justru seperti berada di salah satu ruang industri garmen. Itulah suasana ruangan saat kali pertama menginjakkan kaki ke ruangan Bimker Lapas Perempuan Bulu Semarang. Puluhan mesin jahit berjejer rapi. Lengkap dengan benang, kain, dan piranti lainnya.

Tumpukan kain menjadi pertanda banyaknya pesanan. Bahkan di karung lain, sudah tersusun rapi pakaian jadi hasil garapan para napi yang jumlahnya 30 orang ini.

Bak karyawan pabrik, mereka fokus dan terampil mengoperasikan mesin jahit. Tapi busana yang dikenakan tetap berseragam tahanan warna biru tua. Ada yang menjahit resleting, memotong kain, memasang jarum, menyetrika pesanan jadi, dan melubangi kancing.

Kendati begitu, Rini Sulistyorini selaku kepala Bidang Pemberdayaan LPP Semarang, sempat kesulitan mengajari para napi. Butuh keuletan dan kesabaran tinggi. Namun, ia sudah terbiasa dan menganggap mereka keluarga. Ia hanya fokus membuatnya mandiri untuk bekal bebas nanti. “Kuncinya sabar, harus pakai cara halus supaya manut. Hasilnya ya baik, mereka bisa diberdayakan,” ucapnya bangga.

Saat ini, LPP Semarang bekerja sama dengan Amura Pratama dari Yayasan Afa Bina Warga Indonesia. Sebagai pihak ketiga, perusahaan ini mempercayakan produksi garmennya di LPP Semarang. Tak main-main, para napi diberi garapan ribuan pesanan baju. Seragam sekolah sebanyak 2.281 dan jaket sebanyak 3.170.

Sebelumnya, mereka sama sekali tak memiliki keterampilan menjahit. Karena ada orderan ini, mereka dapat menguasai mesin jahit hanya dalam waktu sebulan.

“Benar-benar dari nol. Alhamdulillah dalam sebulan bisa menjahit dan langsung menggarap orderan ini,” tambahnya.

Adalah Acih, salah satu napi yang mendapatkan tugas membuat lubang kancing jaket. Wanita 43 tahun yang tersandung kasus narkoba ini mengaku, awalnya kesulitan karena sebelumnya tidak mengenal mesin jahit dan segenap pirantinya. Namun, berkat kegigihannya, ia mampu mengoperasikan mesin.

“Awalnya mrmang sulit, cuma kami pelajari terus. Kemudian tahu cara masukin benangnya, posisinya seperti apa, jadi bisa. Saya dan teman-teman bisa menjahit dalam waktu sebulan,” katanya sambil menyelesaikan pekerjaannya.

Menurutnya, keberadaan Bimker menjahit sangat membantunya. Tentu ini menjadi bekal, ketika nanti rampung menjalani masa pidana dan kembali ke masyarakat. Sebab, tanpa memiliki keterampilan, akan sulit kembali berbaur dengan masyarakat.

“Ini untuk bekal balik ke rumah ketika bebas nanti. Takutnya masyarakat belum bisa menerima ya, tapi ketika aku punya keahlian, tentu bisa jadi lebih percaya diri,” tambahnya.

Sebelum terjun di Bimker Garmen, Acih lebih dulu menjajal Bimker Laundry. Waktu itu, ia kebagian jatah mencuci. Sudah dilakoni dua setengah tahun. Tapi keterampilan mencuci dan menyetrika bisa dimiliki semua orang. Ia berpikir, laundry kurang cocok untuk mengisi bekal masa depan. Sementara menjahit, tidak semua orang bisa.

“Kalau kursus di luar kan mahal. Jadi nanti saat aku pulang, gak perlu kursus tapi sudah bisa langsung kerja. Sangat bersyukur di sini ada banyak kegiatan,” tutur wanita berkacamata ini.

Selama dua setengah tahun menjadi napi di LPP Semarang, ia berhasil mendapatkan premi dari keringatnya sendiri. Meski tidak banyak, bisa membantu meringankan beban keluarga. Dalam sebulan ia bisa memperoleh Rp 600.000. Sebagian besar uangnya, ia kirim ke keluarganya di Jakarta. Sisanya, ia pakai untuk kebutuhan sehari-hari seperti beli sabun, beli tas, hingga jajan.

Sedikit uang yang ia berikan, setidaknya dapat mengurangi beban keluarganya yang merawat keempat anaknya. Ia tak ingin semakin membuat susah keluarga.

“Keluarga saya sempat kaget, di penjara kok bisa kirim uang. Orang rumah sebenarnya gak mau menerima, katanya buat aku saja di sini. Tapi gak papa, aku tetap kirim. Setidaknya aku bangga bisa membelikan susu anak,” ungkapnya.

Selain mengirim uang, ia juga membelikan tas permintaan anaknya. Biasanya, ia memesan barang ke Bimker Sablon, kemudian dikirim ke keluarganya. Untuk komunikasi, ia hampir setiap hari memanfaatkan fasilitas video call dan telepon.

“Anak aku minta mama pulang. Aku jawab, mama lagi kerja. Aku bilang mama kerjanya jauh, jadi pulangnya nanti. Yang penting telepon. Ya, komunikasi dengan keluarga sangat sering,” imbuhnya.

Selain untuk kebutuhan sehari-hari, ia juga butuh mengumpulkan uang untuk ongkos pulang. Mengingat, biaya dari Semarang ke Jakarta tidak sedikit. Lagi-lagi, ia tak mau merepotkan keluarga. Ia memiliki motivasi untuk kerja lebih keras supaya bisa menghasilkan premi lebih banyak.

Di sisi lain, ia sangat berterima kasih kepada LPP Semarang telah memberikan banyak kegiatan sehingga masa pidana yang ia jalani berjalan cepat. Tak terasa, ia sudah mendekam selama 2,5 tahun di LPP Semarang. “Berasa cepat. Pulang kerja kan capek, terus mandi, salat, lanjut tidur. Tak terasa sudah pagi lagi dan kerja lagi,” ucap Acih yang dihukum pidana lima tahun tiga bulan ini. (ifa/ida)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya