32 C
Semarang
Monday, 16 June 2025

Terpaksa Tinggalkan Kendaraan, Berjalan Menembus Gelap

Cerita Terjebak Longsor di Petungkriyono Selama Delapan Jam (2-Habis)

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM, Hari mulai gelap, hujan tak kunjung berhenti. Kami mulai letih, kedinginan, dan lapar. Masih belum ada tanda-tanda bantuan akan datang. Akhirnya kami memutuskan mengevakuasi diri dengan berjalan kaki menembus gelap demi keluar dari sana.

NANANG RENDI AHMAD, Pekalongan

 MENEMBUS LONGSOR: Warga, petugas, dan relawan saat menyeberangi lokasi longsor dengan melewati pohon yang tersangkut di aliran sungai, Rabu (19/1). Kanan) Kasatlantas Polres Pekalongan AKP Munawwarah saat menggendong balita. (FOTO-FOTO: NANANG RENDI AHMAD/RADARSEMARANG.COM)

MENEMBUS LONGSOR: Warga, petugas, dan relawan saat menyeberangi lokasi longsor dengan melewati pohon yang tersangkut di aliran sungai, Rabu (19/1). Kanan) Kasatlantas Polres Pekalongan AKP Munawwarah saat menggendong balita. (FOTO-FOTO: NANANG RENDI AHMAD/RADARSEMARANG.COM)

KEPANIKAN orang-orang makin terlihat usai longsor susulan itu. Semua orang berhamburan ke jalan. Di musala dan warung kopi sudah tak ada orang. Mereka takut dua tempat itu juga longsor.

“Ibu-ibu dan anak-anak silakan naik ke mobil polisi. Jangan hujan-hujanan,” teriak orang-orang.

Hujan yang tak kunjung berhenti itu makin membuat panik. Wartawan koran ini mendengar seorang warga berucap bau tanah masih menguar. “Air bah itu membawa bau tanah. Berarti di atas hujan masih sangat lebat,”ucapnya.

Seorang lain menunjuk tanah di bawah warung kopi mulai longsor. Orang-orang makin merangsek mundur ke selatan. Tapi ada beberapa orang yang belum menggubris. Masih ada yang keras kepala berdiri di dekat bekas longsoran. “Menjauh dari sana!” Teriak orang-orang.

Wartawan koran ini melihat ibu-ibu di mobil polisi saling berpelukan dan menangis. Yang lain berusaha menenangkan. Sebagian lain menutup mata dan mendremimilkan doa.
Kapolres Pekalongan AKBP Arief Fajar Satria tampak sibuk ke sana ke mari mengumpulkan anggotanya, TNI, Tim SAR, dan relawan. Di jalanan itu, di bawah hujan, mereka berunding.

“Motor dan mobil yang sudah menghadap ke sana (selatan), ayo sambil jalan pelan-pelan. Yang belum silakan segera putar balik. Kita keluar bareng lewat jalur Banjarnegara,” seru mereka.

Semua orang mengikuti komando itu. Wartawan koran ini bersama beberapa anggota polisi dan relawan mencoba merangsek ke depan dengan sepeda motor. Tujuannya untuk melihat kondisi titik longsor di Desa Tinalum. Ternyata benar, di sana juga longsor susulan. Alat berat mencoba cepat membersihkan agar semua orang bisa lewat.

“Tidak bisa! Di titik dua jalan sudah putus! Lebih parah. Ganti cara. Jangan lewat sini!” Teriak operator alat berat.

Wartawan koran ini bersama anggota akhirnya kembali. Melapor ke kapolres dan Tim SAR. Keadaan makin genting. Karena mobil dan motor sudah kadung putar balik. “Ambil keputusan saat panik begini memang tidak gampang. Ora maido,” bisik orang-orang.

Akhirnya, semua kendaraan diberhentikan. Anggota Satlantas Polres Pekalongan mengatur mereka. Semua kendaraan mereka perintah parkir satu jajar memanjang. Kapolres dan Tim SAR kembali berunding.

Pukul 17.15 hujan mulai reda. Tim akhirnya mengambil keputusan nekat karena hari sudah mulai gelap dan kabut kian tebal.

“Semua kendaran kita tinggal. Ayo semua berjalan ke utara. Saling menjaga. Jangan ada yang tertinggal. Lihat teman dan rombongan kalian masing-masing,” ucap kapolres.

Kami, seratusan orang ini, perlahan berjalan ke utara. Sepeda motor dan mobil-mobil semua kami tinggal. Mungkin ada yang keberatan, mungkin juga ada yang menilai hanya dengan cara ini nyawa akan aman.

Perlahan kami mulai mendekat ke titik longsor. Berjalan lewat pinggir dan akhirnya benar-benar masuk ke titik itu. Ketika mulai masuk itu, tampak sangat jelas belahan longsor. Tebing yang semula tinggi kokoh itu sudah tidak ada. Hanya batu-batu besar dan kecil serta arus air yang masih sangat deras.

Beruntung ada batang pohon raksasa yang tersangkut di sana. Diameterenya kira-kira dua atau tiga meter. Panjangnya kira-kira delapan meter. Melintang di atas derasnya arus air. Itulah yang kami jadikan jembatan. Kami meniti batang pohon itu untuk menyeberang.

Relawan membentangkan tali untuk pegangan menyeberang. Semua orang saling membantu. Orang tua, anak-anak, dan balita didahulukan.

Kasatlantas Polres Pekalongan AKP Munawwarah tampak mengambil alih seorang balita dari genggaman ibunya. Ia meniti sambil menggendong balita itu.

“Kita seperti diberi jembatan oleh Tuhan. Kita akan lebih repot jika tak ada batang itu,” ucapnya usai menyeberang.

Kami semua berhasil menyeberang. Berjalan sekitar 50 meter baru ada permukiman. Warga setempat menawarkan tempat singgah untuk kami. Namun jumlah kami terlalu banyak. Tak sebanding dengan jumlah rumah di permukiman itu. Akhirnya kami memutuskan melanjutkan berjalan.

Hari sudah gelap. Kami semua tetap berjalan. Semua, tanpa terkecuali. Kapolres berada paling depan. Salah seorang anggota polisi terus mencoba mengoperasikan HT (handy talky). Sia-sia. Tetap tidak tersambung. Begitupun orang-orang. Mencoba membuka ponsel, tapi tidak ada sinyal. Kami terus berjalan.

Kami benar-benar berjalan menembus kegelapan. Sepanjang jalan gerimis. Tak ada suara apapun kecuali nafas kami dan serangga hutan. “Masih kuat?” Tanya kapolres. Semua menjawab: “Masih!”

Kami berjalan benar-benar tanpa henti. Kami tidak tahu sudah berapa jauh. Jalur Petungkriyono-Doro itu naik-turun dan berkelok-kelok. Kanan tebing, kiri jurang. Karena gerimis, kami berjalan dengan waspada. Takut tebing di kanan kami longsor.
“Jangan terlalu ke kiri. Itu jurang,” kata seseorang di depan mengingatkan. Entah siapa.

Di perjalanan, kami menjumpai bekas longsoran. Cukup parah. Batu dan lumpur berserakan di jalan. Barisan depan menunggu. Karena mereka yang memegang alat penerangan milik relawan.

“Awas hati-hati. Yang lepas sandal, pakai dulu. Kalau mau lepas lagi nanti,” aba-aba seorang relawan sambil menyorotkan lampu darurat.

Sebagian orang memang melepas alas kaki. Baik sepatu maupun sandal karena kaki mereka lecet. Bagaimana tidak, berjam-jam kami kehujanan. Kaki dan tangan sudah mengerut.

Berjalan beberapa kilometer, kami kembali menjumpai bekas longsor. Kali ini disertai pohon tumbang. Kami bisa melewati itu. Setidaknya, sepanjang perjalanan, kami menjumpai seperti itu sebanyak empat kali.

Hampir tiba di tugu “Selamat Datang Petungkriyono” bantuan datang. Iring-iringan mobil polisi tiba. Mereka mempersilakan kapolres naik. Tapi ia menolak. “Dahulukan anak-anak dan orang tua. Silakan yang tidak kuat naik ke mobil,” kata kapolres.

Kami yang belum naik ke mobil terus berjalan. Hampir sampai, jalan sangat menanjak. Langkah wartawan koran ini sudah gontai. Kata seseorang, kami sudah berjalan kira-kira 6 kilometer. Seseorang lain mengatakan 7 kilometer. “Kita sudah berjalan jauh,” jawab wartawan koran ini.

Sampai di tugu, kami menunggu jemputan. Wartawan koran ini naik mobil paling terakhir bersama kapolres, beberapa orang relawan, dan Tim SAR. Kami turun di Polsek Doro dan menunggu jemputan masing-masing. Kami, setidaknya 150 orang ini, selamat. Saat itu kami belum memikirkan evakuasi kendaraan. (*/aro)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya