RADARSEMARANG.COM, Semarang – Syafiq Yunensa dikenal sebagai santri yang menyukai kehidupan anak punk. Ia juga seorang novelis di usianya yang terbilang muda. Bahkan berkat menulis novel, ia berhasil menyelesaikan kuliah S1 di UIN Walisongo Semarang tanpa perlu membuat skripsi.
Syafiq Yunensa termasuk pemuda mbeling. Sejak sekolah MTs, ia sudah sering membolos dan ikut tawuran. Namun siapa sangka, pemuda 20 tahun ini ternyata memiliki kelebihan dalam bidang tulis-menulis. Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Semarang ini telah menerbitkan sejumlah buku novel.
Kepada Jawa Pos Radar Semarang, Syafiq menceritakan, saat masih bersekolah di MTs NU Putra 2 Buntet Pesantren Cirebon, dia mengaku sering membolos, ikut tawuran, bahkan sampai ditangkap polisi. Ia juga kerap melakukan kenakalan lainnya yang membuatnya sering bersitegang dengan pihak sekolah maupun keluarga.
“Dulu saya sering ikut tawuran dan bolos sekolah, sehingga sering dihukum oleh pihak sekolah maupun keluarga. Gak cuma itu, dulu saya bahkan sering dikasih surat peringatan dan diancam dikeluarkan dari ponpes. Saya sering dipukul dan dihukum juga,” ceritanya kepada koran ini.
Syafiq juga kerap bergaul dengan anak band aliran punk. Sehingga keluarganya sampai melarang keras dirinya mengenakan baju serba hitam. “Baju band punk saya semuanya dibakar saat itu,” kenangnya.
Dia menyadari sebagai santri yang dianggap nakal dan ngepunk, ia merasa perlu adanya sebuah wadah agar santri punk maupun anak punk jalanan bisa berkarya. Syafiq pun mencoba mendirikan komunitas Santriotz pada 2016. Saat itulah, Syafiq mulai dikenal sebagai seorang santri punk oleh lingkungannya.
“Alhamdulillah saya bisa bikin komunitas, salah satunya Komunitas Santriotz yang saat ini sudah mulai diadopsi oleh pondok pesantren lain di Jateng. Ini menjadi wadah di mana santri punk untuk berkarya, berdakwah, dan berbuat kebaikan di masyarakat. Ada banyak kok komunitas santri punk saat ini, seperti Santri Nusantara yang berdakwah dengan kaos dan band musik,” bebernya.
Pengalaman hidup sebagai santri punk di pondok pesantren membuatnya menyadari bahwa ia sudah cukup berbuat nakal. Syafiq sering mengikuti berbagai seminar dan aktif di banyak komunitas seperti menjadi founder Komunitas Santriotz, Gusdurian Walisongo, KOPI Perubahan, Digdaya Book, Pimred Lembaga Pers (LPM) Edukasi, dan sebagainya.
Syafiq juga mulai senang menulis. Tiga novel karyanya berhasil diterbitkan. Yakni, berjudul “Berandal Bermoral”, “Joni Melawan Arus” dan “Catatan Sang Berandal” yang saat ini menjadi best seller
Saat ini, Syafiq menjadi editor di berbagai media online. Sekarang ini, dia juga sedang membuat buku keempatnya bersama Wakil Dekan 1 FITK UIN Walisongo berjudul “Mengapa Kita Rajin Berjalan di Tempat?” yang sebentar lagi akan diterbitkan.
Putra pasangan Yusup dan Sunenti ini tak menduga dari ketiga novel yang ditulisnya tersebut akan menjadi pengganti tugas akhir skripsinya sebagai mahasiswa Pendidikan Agama Islam di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo Semarang.
Sebenarnya, ia sudah memulai menulis skripsi. Namun setelah diberitahu kalau ketiga novelnya bisa menjadi pengganti tugas akhir, akhirnya dia tak melanjutkan skripsinya.
“Saya gak menyangka novel yang saya tulis akan menjadi pengganti skripsi. Saya sendiri sebenarnya sudah menulis skripsi hingga bab 3. Namun karena ada beberapa tugas lain yang perlu dituntaskan akhirnya pihak fakultas menyarankan untuk mengajukan novel yang saya tulis menjadi syarat kelulusan,” katanya. (mg6/aro)