RADARSEMARANG.COM, Semarang – Agus Riyanto telah menjadi petugas damkar selama 30 tahun. Pada 2003 silam, kakinya pernah patah karena kecelakaan kerja. Namun pengalaman itu tak membuatnya gentar. Ia tetap melanjutkan tugasnya hingga sekarang.
Mulai dari kakek, pakde, hingga ayah dari Agus Riyanto memilih petugas damkar sebagai jalan hidup. Tanpa disadari hal itu menginspirasi Agus untuk mengikuti jejak para pendahulu di keluarganya. Sejak 1991, ia mulai bertugas.
Diceritakan, saat itu fasilitas sangat minim dan terbatas. Kantor Damkar di Jalan Madukoro pun baru dibangun pada 1993. Pada tahun itu pula ia merasakan pengalaman terberat sekaligus menantang baginya.
“Kebakaran Semarang Packaging Industry punya Rodamas itu sampai seminggu baru padam,” ceritanya kepada RADARSEMARANG.COM.
Pantas saja. Sebab, saat itu hanya tujuh armada damkar yang dikerahkan untuk memadamkan lokasi kejadian seluas 4 hektare. Sedangkan di dalamnya merupakan pabrik kertas dan plastik. Material yang mudah tersulut api.
Sepuluh tahun kemudian, ia bertugas memadamkan permukiman Jalan Tambak Mas VII sebanyak 1 kavling di daerah Tanjung Mas. Ia bersama empat rekannya saat itu kali pertama mengoperasikan armada baru dalam pemadaman.
“Tiap mobil damkar kan punya sifat masing-masing, nah itu kami belum kenal betul dengan armada baru,” jelasnya.
Karena masih belum terbiasa, ia menyalakan gas, tapi air tak keluar dari water canon maupun selang. Saat dicoba kembali, water canon di atas badan mobil damkar menyemprot air dan terkena tiang listrik.
Seketika aliran water canon dihentikan dan berpindah mengalir ke selang. Dengan tekanan tinggi, selang mengeras, lalu menyemprotkan air sampai lepas dari genggaman petugas.
Keempat petugas lepas kendali dan terhantam oleh selang air. Semuanya diamankan ke rumah sakit lantaran luka memar. Namun paling parah dialami Agus. Ia harus dioperasi karena kakinya patah tulang. Ia pun perlu sekitar 3 bulan cuti untuk pemulihan dan dapat kembali bekerja.
“Memang pekerjaan ini harus memiliki jiwa korsa dan kemanusiaan yang besar, risikonya saja nggak main-main,” tegasnya.
Untungnya keluarga memahami betul pekerjaan yang dijalani. Sehinga ia tetap dapat kembali di sana meski saat itu masih sebagai pegawai honorer. Empat tahun kemudian, pada 2006 dia diangkat menjadi pegawai tetap atau PNS.
Dengan risiko yang mengancam nyawa, menurutnya, para pegawai layak menerima gaji lebih atau tunjangan lebih dari pegawai kantoran. Namun sejauh ini para pegawai swakelola yang hanya dikontrak per tahun tak menerima tunjangan sama sekali. Peralatan pun masih digunakan secara bergantian.
Agus mengakui kemajuan zaman telah mempermudah pekerjaannya. Tapi ia melihat damkar di Indonesia masih cukup tertinggal dibandingkan negara maju. Semestinya pemerintah mampu menyisihkan anggaran lebih untuk keselamatan warganya. Khusunya untuk sarana proteksi yang memadai.“APD, baju antiapi, dan lainnya itu masih terbatas dan bergantian,” tambahnya.
Dengan peralatan terbatas, menurutnya, mengurangi gerak cepat di lapangan. Karena petugas tidak terjamin fasilitas keamanan sepenuhnya. Dua unit damkar yang memiliki tangga setinggi 32 meter juga tidak dapat dioperasikan karena masalah teknis.
Dalam sehari 65-70 petugas berganti menjadi tiga sif. Pagi, sore, dan malam hari. Sekitar 20 personil stand by di Kantor Damkar Madukoro, lalu sisanya dibagi tujuh tim untuk siaga di di tujuh titik lainnya yang tersebar di Semarang.
Saat ini, pihaknya tak hanya melayani pemadaman kebakaran, tapi juga penyelamatan hewan. Ular, buaya, sarang lebah, dan hewan lainnya yang mengganggu ketenangan warga akan diamankan timnya.
“Kucing kejebak dalam got pun kita juga bantuin,” imbuh lelaki yang kini duduk sebagai komandan tim itu.
Diakui, pekerjaannya selalu berada di lokasi yang berbeda-beda. Situasinya pun tak terduga. Dari akses jalan menuju titik kebakaran, hingga bentuk bangunan dan titik api yang menyebar. Dibutuhkan kemampuan problem solving yang cekatan. Karena petugas damkar berpedoman, pantang pulang sebelum padam. “Pekerjaan kami bukan tugas yang bisa ditunda-tunda,” tandasnya. (taf/aro)