RADARSEMARANG.COM – Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Semarang (Unnes) Farid Akhmadi memiliki pengalaman mengajar di berbagai negara. Di antaranya, dia mengajar di Arab Saudi. Bahkan, saat itu Farid pernah dikira sebagai TKI.
Farid Akhmadi memiliki banyak pengalaman menjadi dosen di sejumlah negara. Ia kerap diminta mewakili Unnes untuk pertukaran pelajar maupun pengajar. Di antaranya, Inggris, United Kingdom (UK) Jepang, Australia, Dubai Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi.
Selama mengajar di beberapa negara-negara tersebut, Farid mengaku mendapatkan banyak pengalaman baru. Seperti di Jepang, ia mengaku terkesan dengan tingkat kedisiplinan warga yang sangat tinggi. “Mereka tepat waktu dan tidak menoleransi sebuah keterlambatan,” katanya kepada RADARSEMARANG.COM.
Pengalaman di Inggris dan UK, diakuinya, sistem mengajarnya sangat maju. Di mana mereka lebih menghargai sebuah pendapat meskipun itu salah. Mereka juga mudah memberikan apresiasi.
Warga Desa Kutoharjo, Kecamatan Kaliwungu, Kendal ini juga belajar banyak tentang kurikulum di UK. Salah satunya kurikulum SD di UK, di mana materi yang diajarkan selisih tiga tahun dengan yang ada di Indonesia. Siswa kelas tiga SD di sana baru mulai belajar membaca.
“Sedangkan Indonesia kelas 1 SD sudah belajar membaca. Mereka menilai, kurikulum pendidikan di Indonesia itu terlalu cepat. Hal itu justru bukan baik, lebih pada pemaksaan anak. Karena pada dasarnya anak belajar dengan bermain,” tuturnya.
Pengalaman unik lainnya adalah ketika ia mengajar di Arab Open University (universitas pendidikan) di Jeddah, Arab Saudi. Ia melihat sistem pengajaran hanya monoton. Seorang guru hanya berdiri di podium dan murid mendengarkan.
Saat mengajar, banyak mahasiswa Arab yang tidak menghiraukannya. Bahkan mereka cenderung bermain ponsel masing-masing. “Model pembelajaran di sana seperti orang ceramah dan pidato saja,” tuturnya.
Ia pernah diremehkan oleh para mahasiswa Arab. Hanya gara-gara latar belakangnya yang berasal dari Indonesia. “Mereka meragukan apakah saya bisa mengajar. Karena di pikiran mereka orang Indonesia di Arab itu hanya TKI. Pilihannya dua, sopir atau asisten rumah tangga,” katanya.
Namun ia tidak putus asa. Farid pun menerapkan pembelajaran seperti saat di UK dengan membuat pembelajaran aktif. Ilmu yang didapat saat mengajar di UK ternyata berguna saat diterapkan di Arab Saudi. Ia membentuk kelompok diskusi di setiap pembelajaran.
“Awalnya mereka malas, tapi lama-lama senang dan kagum pada saya. Karena selama mereka belajar tidak pernah ada diskusi dan bertukar pikiran,” paparnya.
Pengalaman tak mengenakkan lainnya saat dirinya pernah dikira sebagai TKI oleh sopir taksi. Kejadiannya di Jeddah. Kebetulan untuk pergi ke kampus Arab Open University, hanya ditempuh dengan naik taksi.
“Saya panggil taksi, saya bilang antar saya ke Arab Open University. Sopir taksi itu bercakap-cakap dan menanyakan asal saya. Saja jawab jika berasal dari Indonesia,” jelasnya.
Mengetahui, Farid dari Indonesia, sopir taksi itu balik bertanya dengan nada sedikit merendahkan.
“Sopir bilang, mau ngapain kamu ke Arab Open University? Saya jawab, jika saya mengajar sebagai dosen. Sopir itu malah tertawa, karena Indonesia di Arab hanya sebagai TKI saja,” ceritanya.
Bahkan, diakuinya, sang sopir itu sampai menungguinya keluar kampus untuk membuktikan dirinya benar-benar seorang dosen. “Sampai sopir itu bertanya kepada salah satu mahasiswa,” akunya.
Diakui, banyaknya pengalaman belajar tentang kurikulum pendidikan di luar negeri membuatnya mengerti banyak model pendidikan yang bisa diterapkan. Bahkan saat ini ia dipercaya sebagai Sekretaris Himpunan Dosen PGSD Indonesia. Ia juga sering dimintai untuk menjadi pembicara dalam seminar-seminar pendidikan. “Banyak guru-guru bertanya tentang model pembelajaran,” katanya. (bud/aro)